Sebuah ruangan oktagonal dicahayai lampu putih terang di langit-langit dan lantainya. Kaca satu arah terdapat di salah satu sisi ruangan tersebut. Gama menyisir isi ruangan lewat kaca dari luar, ia perhatikan dua orang tertentu berjas lab—yang satu berambut coklat kelimis, yang satu beriris toska dengan surai ikal berwarna sama—serta tiga orang lain sedang mempersiapkan alat-alat untuk eksperimen. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah tempat tidur medis dengan sebuah mesin bedah robotik di sampingnya. Mesin itu memiliki delapan lengan mekanik dengan satu buah alat injeksi yang cukup besar di tengahnya.
“Chip sudah siap, Venn?” ucap lelaki berambut cokelat tersebut, Willem rupanya.
“Sudah, Willem. Sebaiknya kita panggil subjek pertama.” Manik mata itu merunut daftar yang terpampang pada layar tablet yang ia genggam.
Proyek sudah berjalan sejauh ini ya, batin pria muda bermanik kelabu itu sembari mengelus dagunya, masih memperhatikan dari luar dengan seksama.
“Subjek pertama, eksperimen tahap dua—” Entah kenapa saat nama subjek eksperimen itu disebutkan, dengungan memenuhi telinga Gama.
Pintu otomatis lalu terbuka, seseorang memasuki ruangan tersebut. Venndra mempersilakan orang tersebut berbaring telungkup pada tempat tidur medis. Masing-masing kaki dan pergelangannya kemudian diikat sabuk karet hitam kuat yang terpasang pada ranjang. Namun ketika Gama hendak melihat orang itu, ia rasakan fokus matanya hilang sejenak. Willem yang berada di bagian operator mesin bedah, mengawasi seorang ahli bedah yang mulai mengoperasikan alatnya.
“Pemindaian kondisi tubuh… Baik. Kadar hormon serta detak jantung pada taraf normal,” ucap ahli bedah tersebut.
Willem mengangguk, “Lanjutkan.” Sebuah pancaran sinar muncul dari salah satu lengan robot, memindai dari kepala hingga kaki. Lelaki yang menjadi subjek tetap diam pada posisinya.
“Berikan anastesi lokal.” Sebuah lengan robot lain bergerak mendekati tengkuk lelaki itu. Ujungnya berupa alat suntik dengan tabung bening. Jarum ditusukkan dan cairan tersebut disuntikkan.
Jari salah satu personel di situ kemudian menyentuh-nyentuh beberapa titik di sekitar area tadi. “Saya menekankan jari saya di sini. Apakah terasa sesuatu?”
Subjek lalu menjawab pelan, “Tidak.”
Gama mengedipkan matanya sekali, setengah sadar jari tangannya menyentuh bibirnya sendiri. Sekedar perasaan atau memang suara orang—pria itu mirip sekali dengannya?
“Pemindaian tubuh bioplasma… Stabil. Subjek siap.”
“Inisiasi implan chip. Venndra, masukkan kode aktivasi.”
Lelaki berambut toska itu mengangguk sebelum mengetikkan serial angka pada komputer di sebelah bagian operator mesin. Gama mendengar mesin itu mendengung, alat injeksi itu bergerak ke arah tengkuk subjek eksperimen. Silindernya bergerak turun sedikit mendekati permukaan kulit subjek, kemudian sebuah pipa logam kecil berujung runcing, kira-kira berdiameter setengah milimeter keluar dari alat tersebut.
Gama sedikit berjengit melihat pipa kecil itu, tengkuknya terasa kaku. Sorot mata operator seakan mengisyaratkan meminta ijin pada Willem, Willem mengangguk.
Pipa tersebut ditancapkan dengan cepat ke tengkuk subjek, seketika Gama merasakan nyeri pada tengkuknya. Kemudian terdengar suara seperti cairan dialirkan dengan tekanan gas yang tinggi dari alat injeksi tersebut. Subjek terlihat diam tak bergerak.
“Chip berhasil dimasukkan, Pak. Kondisi subjek masih stabil, tidak ada tanda-tanda perubahan yang membahayakan.”
“Bagus. Venndra?”
“Chip aktif, identifikasi sekuens DNA subjek… Uh… Willem, chip menginisialisasi prosedur penulisan ulang DNA dalam hitungan milidetik dan kini proses sudah mencapai delapan puluh lima persen.”
“Apa...?”
Tiba-tiba lampu dalam ruangan tersebut berkedip cepat, salah satu lampu di langit-langit bersinar terang hingga pecah. Suara seperti dengungan listrik terdengar ke seluruh ruangan. Si Subjek masih diam di sana, namun keanehan terlihat pada tubuhnya.
Kulit lelaki itu seakan robek, muncul retakan-retakan bercabang layaknya pada tanah kering dan berpendar kuning. Kemudian tubuh subjek itu bergetar hebat, bahkan sabuk karet yang mengikat pergelangan tangan dan kakinya mulai sobek.
Mendadak Gama merasakan dirinya seperti ditekan kuat oleh entah apa secara paksa ke bawah. Detak jantungnya meningkat, atmosfer sekelilingnya telah berubah: panas, berat—sangat berat dan menyesakkan. Dengan mudah ia telusuri arah datangnya tekanan tadi yang berasal dari ruang eksperimen tepat di hadapannya. Kaki menggiringnya melangkah mundur hingga punggung menyentuh tembok, sesaat kemudian jendela kaca tadi pecah berkeping-keping. Untung Gama masih sempat melindungi diri.
“Pak! Energi bioplasma subjek melebihi batas!” ucap operator mesin tersebut.
“Peningkatan energi hingga 200 persen!”
“Detak jantung dan kadar hormon melebihi batas! Kita harus memberikan penenang!”
Ketika lengan robot tersebut hendak menyuntikkan obat penenang pada subjek, tangan kanan lelaki itu bebas dari ikatannya kemudian menggenggam alat penyuntik pada lengan robot tersebut. Dengan mudahnya alat tersebut diremukkan. Tangan kanannya dengan cepat melepaskan ikatan di lengan satunya sebelum bertumpu pada kedua tangannya. Kompak para operator di ruangan itu melangkah mundur, terpojok pada tembok.
Gama terhenyak ketika melihat jelas warna rambut cepak lelaki itu berubah menjadi helaian kelabu keperakan. Tiba-tiba wajah lelaki itu berpaling menghadapnya dan ia temukan di sana wajahnya sendiri dengan tatapan bengis, iris berwarna kuning menyala dan sklera hitam sepekat dasar jurang.
Dia menyeringai. “Seperti yang kau harapkan… bukan?”