Mentari mulai tenggelam di ufuk barat, seorang pemuda dengan bandana biru yang menahan rambut coklatnya tengah berlari. Sehelai handuk putih disampirkan di lehernya, earphone yang terpasang di telinganya memainkan lagu berirama cepat. Napasnya stabil walau sedikit terengah. Bulir-bulir keringat mengalir pada dahi dan pelipisnya, kaos biru tanpa lengannya basah.
Rico melihat ke smartwatch-nya sembari berlari, layar arloji itu menunjukkan detak jantung serta jarak yang sudah ditempuh olehnya saat jogging sore ini.
“Oke, sudah waktunya,” ia bergumam. Langkahnya sampai pada lobi apartemen sebelum memasuki elevator menuju lantai 14. Ia sapa salah satu tetangganya yang kebetulan berpapasan dan sampailah ia di ruang 313.
“Aku pulang!” ucapnya sembari membuka pintu. Di tengah ruangan, duduklah kakaknya Nico di sofa dengan sepiring penuh donat dan sebuah laptop di atas meja kaca. Sambil mulutnya menggigit donat dengan krim coklat, ia tampak sibuk mengerjakan sesuatu.
“Hei, Ricky,” sapa Nico setelah mengunyah potongan donatnya. Adik yang disapanya itu kemudian duduk di sebelah Nico sambil mengelap keringatnya dengan handuk. “Gimana jogging?” tanyanya basa-basi.
“Ya begitulah. Kak, udah kubilang jangan banyak manis-manis…” Rico menghela napas.
“Ayolah, Ric… Bilang aja kalau kamu juga mau,” Nico menyodorkan piring di hadapan adiknya, “Sesekali!”
“... Terserah, lah. Sisakan satu buatku nanti, kak. Ngomong-ngomong, Ibu masih di luar?” Rico membalas tanya.
Nico menggigit sepotong kecil, menjawab, “Di balkon, menyiram tanaman.”
“Oh? Kukira jadi pergi keluar sebentar sama Bu Linda, tadi.”
“Bu Linda ada urusan mendadak, katanya besok pagi ke sini lagi.”
Nico membuka sebuah file dan menyalakan koneksi nirkabel pada laptopnya. “Ric, tolong nyalakan printernya,” ucapnya.
Rico langsung beranjak, menyalakan alat cetak yang disebut di ruang sebelah. Mesin itu pun mulai menyesuaikan diri sebelum rentetan kertas putih ditumpahi tinta membentuk baris demi baris tulisan, halaman demi halaman.
Setelah selesai, Rico mengambil lembar demi lembar dan membacanya. Terpampang di bagian atas sebuah kop dengan tulisan, “IO Technologies...” gumam Rico. Iseng, ia buka halaman isinya dan menemukan tanda air. Tanda yang sama ia temukan di halaman-halaman berikutnya.
Top Secret.
Dahi Rico mengerenyit.
“Udah selesai, Ric?” sahut Nico dari ruang tengah. Rico menghampiri kakaknya dan menyerahkan berkas tersebut. “Thanks,” ucap Nico dengan isyarat tangannya. Rico duduk di sebelah saudaranya itu dan akan membuka mulut untuk bertanya, ketika Nico berucap, “Hebat, kan? Baru sebentar bekerja di IO, aku udah diberi tugas untuk membuat sistem distribusi barang.”
Nico terkekeh. Rico menggelengkan kepala, lucu rasanya seakan Nico bisa membaca pikirannya.
“Barang apa yang kakak distribusikan? Smartphone? Multimedia player?”
“Hahaha! Bukan lah, Ricky. Barang ini… spesial, dan amat penting. Sebuah chip.”
“Chip? Keripik kentang?” ucap Rico setengah bercanda.
“Bukan, adikku yang konyol!” Nico menjitak kepala Rico. “Chip medis! Hasil kerjasama IO Tech dengan Paramayodya.”
“Paramayodya… Tunggu, Paramayodya yang itu?”
Nico mengangkat satu alisnya, “Yang itu… apa?”
“Eh, bukan, lupakan.”
Nico mengambil lembar terakhir dari berkas itu dan menunjukkannya pada adiknya, di lembar itu terpampang gambar sebuah benda seperti kapsul dengan pola-pola sirkuit di dalamnya. Di bawah gambar itu tertulis nomor seri dan fungsi, bahkan cara aktivasinya. Mata Rico terbelalak.
Waktu itu di acara wisuda. Rico benar-benar paham sekarang.
Adrian memang tahu.
Eksperimen itu, proyek itu, nyata.
“Kira-kira apa kabar si Adrian, ya? Belum nongol juga batang hidungnya. Katanya sudah punya banyak tawaran? Sementara aku di sini sudah akan mengerjakan sebuah bagian dari satu proyek besar~” Nico berseloroh.
Juga, Nico terlibat di dalamnya.
“Oke, jadi… Chip ini untuk terapi medis. Semacam penyembuhan menggunakan energi alam atau apalah. Seperti yang ada di berita-berita terbaru televisi,” ujar Nico.
“Apa kakak tahu chip ini akan disebarkan ke mana saja?” tanya Rico.
“Iya, lah. Kantor-kantor cabang Paramayodya, instansi kesehatan, militer...”
“Militer? Buat apa?”
“Yaah... paling mungkin pertolongan pertama pada prajurit yang terluka saat perang, kan?” Nico mengangkat bahu. “Err, atau mungkin pertolongan kecelakaan latihan atau apalah. Lagian, sekarang sedang tak ada perang. Oh! Ini bonus katanya—tahu orang yang menghampiriku saat wisuda kemarin? Daniel? Dia memberiku kesempatan untuk mencoba. Tesnya lusa, hari kedua. Besok ini hari pertama, untuk mereka yang membutuhkan lebih dulu. Boleh diambil boleh tidak, sih.”
Jeda sekian detik sebelum Rico menanggapi, “... Jawaban kakak?”
“Aku ambil.”
Rico menatap lurus ke arah lantai, merenung.
“Ya, gimana ya—ayolah, mungkin setelah chip ini terpasang di tubuhku aku tak perlu ragu lagi menikmati cheeseburger favoritku.”
Mendapati sang adik tak merespon, tiba-tiba telapak tangan Nico dikibaskan di depan wajahnya. “Oi, Ric. Jangan melamun,” ujarnya.
“Ah... haha, tidak apa-apa. Aku hanya berpikir.”
“Tentang?”
Sekian detik Rico terdiam, kemudian berkata, “Kakak membiarkan aku melihat isi dari sebuah dokumen yang… sangat rahasia.” Satu helaan napas dan tatapan lurus, “Aku takkan melakukan itu kalau ada di posisi kakak sekarang.”
Nico mengalihkan pandangan, mengedikkan bahu lalu membalas, “Kamu pikir ini tindakan bodoh?” Ia menggeleng dengan senyum lebar merekah di wajahnya. “Haha. Ricky, Ricky. Kupikir kamu berhak tahu. Kamu adikku, kan? Aku percaya padamu. Bukannya kita selalu berbagi rahasia? Selama ini kita juga menjaganya baik-baik. Kenapa aku harus khawatir? Ini hanya diantara kita berdua juga, kan? Aku mengenalmu, Ric. Aku tahu kamu takkan mengambil kesempatan.”
Rico mengangguk pelan, dengan sebuah senyuman yang (sedikit) terpaksa ia mengucapkan, “Selamat ya, kak.”
= = =
Variable X
Case 7: Minutes
= = =