Wednesday, October 14, 2015

Case #9.1

Balok-balok es berdenting menyentuh tepian gelas kecil, mengapung pada cairan bening keemasan tipis. Tegukan terakhir, Arya menaruh gelasnya yang dingin dan basah, ia mendecakkan bibir.
“Masih kurang?” si gadis bartender bersurai kelabu berkata, tangannya hendak mengambilkan botol lain untuk dituangkan.
Isyarat satu tangan dari Arya. “Nggak, udah cukup,” ucap pria kecil berjaket kulit itu kemudian menaruh kepalanya di tepi meja bar. Musik blues mengalun pelan memasuki telinganya.
“Kenapa? Masalah kerjaan?” Rengganis mengambil gelas kosong dan mengelapnya.
“Uhh… Yang masalah bukan kerjaannya sih.”
“Kamu berantem lagi sama… Siapa? Bocah dekil berambut gelap itu?”
“Wira.”
“Nah, iya?”
“Nggak. Aku malah khawatir sama dia.”
Rengganis mengangkat satu alisnya, tangannya selesai mengelap satu gelas dan segera mengambil yang lainnya. “Kamu khawatir kenapa?”
Arya mengangkat kepalanya, menatap ke wajah saudari kembarnya kemudian menaruh lagi dagunya di meja.
“Wira sama Dana aneh akhir-akhir ini. Si Wira sering bicara sendiri, kadang ngelempar barang ke tembok padahal nggak ada apa-apa. Yah… walau dia emang indigo, tetap lah… Selama ini Wira nggak pernah sampai segitunya.”
“Terus? Kalau si bos?”
“Dana… Ehm, dia...” Arya menjilat bibirnya, menegakkan punggung dengan canggung. Matanya melirik sana-sini mencoba mencari kata-kata yang mungkin sedikit lebih nyaman untuk diperdengarkan.
“Jangan-jangan… Main cewek, ya?” tebak Rengganis, satu alisnya naik menyelidik.
Arya mengibaskan tangan. “Ah, udah dari dulu. Tapi kali ini… yang dia bayangkan... beda.”
“Hah?”
Arya menelan ludah, nada bicaranya bergetar, “C-c-ce-cewek mana coba, yang punya nama… A-A-Adrian?!”
Rengganis spontan melayangkan tangan menutupi bibirnya, lekuk pipi jelas menunjukkan dirinya menahan tawa yang berusaha meledak. “K-kamu nguping?! J-jadi selama ini—” kekehnya.
“L-l-lupakan, lupakan!” Arya mengibas-ibaskan kedua tangan sebelum ia sembunyikan muka pada telapaknya. Ia bergidik, geli rasanya. Teringat ketika ia tak sengaja mendengar suara-suara aneh dari dalam kantor si rambut merah saat akan menuju gudang. Iseng, ia dekati pintu dan menempelkan kupingnya ke sana. Nama tertentu itu seolah mengalir tanpa hambatan.
Yang jelas-jelas bukan nama seorang wanita, batin Arya. Manik matanya melihat Rengganis yang matanya mulai berair dan wajahnya memerah, masih menahan tawa.
“Ooohh, diamlah! S-semua orang pernah nggak sengaja nguping, kan?!” gerutu Arya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Hampir seluruh pasang mata di ruangan itu mengarah pada Rengganis yang akhirnya tertawa lepas, geli akan wajah saudaranya yang begitu canggung. Juga, ia geli mendengar cerita Arya yang secara tidak langsung mengatakan bahwa bosnya, Dana si Setan Merah, adalah seorang yang orientasinya berseberangan dengan orang biasa.
Kekehan Rengganis dengan sabar Arya tunggu hingga selesai, sambil menunggu ia meletakkan kepalanya kembali ke meja.
“Udah?”
“Hehe... U-udah.” Rengganis terbatuk sebentar sambil mengelap air mata yang menggenang di sudut matanya karena terlalu banyak tertawa.
“Kemudian, Wira ini...”
“Pacarmu?”
PARTNER. Ehm, dia semakin sering marah-marah. Well, sekarang Raihan udah jadi salah satu korban amukannya.”
Rengganis kemudian mengangguk-angguk, terbayang kemampuan pemuda berkulit sawo matang itu membanting orang dengan begitu mudahnya. Gadis itu melihat sendiri, seberapa destruktif kekuatan rekan Arya saat dua orang itu berkelahi di tempat kerjanya.
“Bocah itu makin merusak saja akhir-akhir ini,” Arya menghela napas lelah. “Pernah dia sampai menjebol dermaga yang di dekat gudang. Pasti efek chip itu udah muncul...”
“Chip—oh… Terapi kesehatan Paramayodya yang sering disiarkan itu,” sahut Rengganis sambil mengelap gelas.
“Itu bukan alat terapi kesehatan,” balas Arya lirih.
Jeda sekian detik. “Bukan?”
Saudara lelakinya menatap lurus Rengganis, sorot yang menyiratkan kecemasan menemani kalimat setelah itu yang hanya bisa didengar keduanya saja. “Chip itu merubah orang, Nis. Permanen. Luar-dalam.”
Gadis itu terdiam, ia letakkan hati-hati gelas besar yang dipegangnya pada meja bar. “Luar-dalam maksudnya? Kamu bercanda,” ucapnya.
Arya hanya diam, tak melepas fokus matanya sekecil apapun.
“Kamu serius.”
Sepasang manik keemasan dari si pria kecil menatap ke arah lain, ia bergumam, “Dan nggak akan lama lagi… giliranku dan yang lain-lain.”
Dengusan pelan terselip dari celah bibir Rengganis. Kesal, ia mencondongkan badan di depan saudaranya, kedua lengan yang dilipat menopang tubuhnya di konter bar. “Kamu tahu, Arya?” ia memulai, “Sepulang nanti kita bakal diskusi. Panjang.”


= = =

Variable X

Case 9.1: Vices

= = =

Friday, October 2, 2015

Status Report #3: About Update and Rating Change

Okay, so, ehm.

Agon here reporting.

First, apologize to our dear readers :')

Update Variable X untuk sementara bakal ditunda. Karena, kesibukan kuliah saya (yang mendekati UTS) serta saya dan Mbak Fay juga mempersiapkan untuk event Mangafest.

DON'T WORRY,
Case 9 is in progress.

Oh ya, case ini bakal dibagi jadi 2 bagian. Jadi, mohon menunggu dengan sabar :')

Second, we've decided to change our rating from R15 to 17+.

Kenapa 17+? Kedepannya, setelah kami brainstorming plot bersama, plot diprediksi akan semakin berat dan berbelit. Selain itu, ada beberapa detail yang nampaknya kurang pas untuk konsumsi pembaca mulai usia 15 tahun. Pembaca harus ekstra berpikir untuk mencerna cerita ini.

Ya, pembaca harus lebih kritis :p

Sementara itu yang bisa aku kabarkan ke kalian.

We'll catch up soon! /o/

Agon, dismiss.


+ + + + + +

@F_Crosser | @agonps

+ + + + + +