Wednesday, April 6, 2016

Status Report #5: About Update and Future Concepts

Halo

Agon di sini.

Okay.

Pertama-tama, aku mohon maaf karena sudah lama tidak ada update sejak chapter 13.1. Penyebabnya karena kelonggaran waktu yang berkurang semenjak rangkaian perayaan Paskah dan agaknya masih akan berlanjut sampai minggu ketiga bulan April ini karena minggu ujian. Begitu juga mbak Fay yang akan menghadapi ujian juga.

Jadi, bisa dibilang blog ini sementara akan hiatus pendek.

Oh ya, sebelum itu kami akan 'membocorkan' sedikit konsep karakter ke depannya. Mohon diterima sebagai bentuk permintaan maaf author dari karena keterlambatan ini :')

Kali ini tirai untuk para 'Virtues Holder' atau boleh kalian sebut "Archangels" akan dibuka! Nah, siapa kira-kira para orang terpilih itu dan dengan siapa mereka akan beroposisi? Apakah itu wujud mereka pada akhirnya?


Wait. What? Are they... really THE Archangels...? [Fay]


Stay tuned!

Over and out.

+ + + + + +
@F_Crosser | @agonps
+ + + + + +


Thursday, February 25, 2016

Case #13.1

Sejuk. Ringan. Segar. Berada dalam sebuah ruang kecil berdinding kaca fiber, Rico menengadahkan kepala, menikmati rintik deras air yang menghujani kepalanya, turun menelusuri tiap senti kulitnya hingga ujung-ujung jemari kaki. Mendadak kenikmatan itu teralihkan.
Bukan soal Rico yang satu sisi merasa lega bisa berada lebih dekat dengan kakaknya. Bukan.
Rico ingat ketika ia datang tiga hari lalu, diantar malam-malam dengan feri bersama Adrian dan beberapa partisipan lain dari pelabuhan di pesisir utara menuju sebuah pulau. Rombongan bus khusus kemudian menjemput dan membawa mereka pada bangunan besar yang nampak luarnya tidak jauh beda dengan pangkalan militer atau penjara kriminal kelas hiu—terlalu berlebihan bagi kakap jika diberikan keamanan super ketat macam tempat ini, ia pikir. Ponsel disita. Entah para petugas berpakaian serba hitam itu menyimpannya di mana, dan Rico teringat bahwa ia belum sempat pamit kepada ayah-ibunya. Ia terlalu sibuk bertanya pada orang-orang di sekitarnya soal kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di depan.
Paling tidak ia cukup terhibur saat bertemu kembali dengan teman-temannya lagi di beberapa jam setelahnya. Namun tetap saja.
Dengar-dengar, sepuluh kilometer di timur tempat ini ada sebuah kota kecil.
Tapi kabur bukan pilihan mendapati seramnya senapan-senapan yang ditenteng oleh para petugas keamanan (orang-orangnya pun nampak menyeramkan) serta deteksi sistem yang Kirana sendiri sebut amat sangat beresiko utuk diretas.
Di sisi yang lain, Rico berpikir jika para penculiknya ini begitu baik... Mungkin terlalu baik?
Kamar tiga kali empat meter. Kamar mandi dalam. Air conditioner. Ranjang yang membuat orang tenggelam dalam kenyamanannya setelah lima detik merebahkan diri di atasnya. Rak buku di salah satu tembok, di sampingnya terdapat meja dengan PC yang tersambung dengan internet (kecuali jejaring sosial yang terblokir. Sudah Rico duga). Dan entah apa yang ada di pikiran mereka, memberi sebuah kolam ikan kecil di sudut ruangan dengan air mancur mini dengan percikan airnya yang menenangkan. Ibu-ibu peneliti dengan senyum ramahnya yang kerap mampir untuk memeriksa selalu mengingatkan agar jangan lupa memberi makan ikan-ikan itu pula dengan pakan yang ditaruh di meja. Jamuan sarapan, makan siang, dan makan malam bersama partisipan lain di sebuah cafetaria seluas ballroom. Jam bebas beraktivitas tiap pukul tujuh sampai sebelas malam.
Ia teringat masih ada Pengukuran Parameter Fisik setengah jam lagi sampai sebelum makan siang nanti.
Mau sampai kapan Rico ada di tempat ini? Dia masih ada kuliah. Sampai ada mata kuliah yang mewajibkannya untuk mengulang, Paramayodya harus bertanggungjawab.
Menyusul deretan pemikiran yang barusan lewat, Rico mendadak mengacak-acak rambutnya sendiri hingga air yang menempel terpercik ke segala arah. “Aaaaagh! Binguuung!” keluhnya, lalu menghela napas lelah.
Mendadak lampu ruangan berkedip-kedip remang. Kemudian samar-samar terdengar suara seseorang berseru sesuatu. Suara benda menghantam permukaan keras—pintu ruangannya, lebih tepatnya—menyusul dan membuat Rico terlonjak kaget. Terdengar lagi seruan-seruan, makin jelas ketika ia sengaja mematikan aliran air.
Ada dua hal berbeda yang Rico pikirkan bersamaan. Pertama; mengingat tebal tembok ruangan dan jarak posisi antara ia berdiri dengan pintu dan sumber suara, menandakan pendengarannya yang makin menajam. Kedua; sesuatu di luar bukan hal baik. Orang-orang itu panik dan mengerang sakit. Ia sudahi mandinya dan cepat-cepat mengeringkan diri.
Saat Rico melangkah keluar dari kamar mandi, kegaduhan itu tak terdengar lagi. Sempat ia sengaja berdiri diam, sebelum memastikan bahwa memang benar-benar sudah berhenti. Ia kenakan setelan serba putih yang baru, seragam harian untuk kelompok orang seperti posisinya sekarang di laboratorium besar ini. Terbesit olehnya untuk melangkah keluar melihat keadaan, namun ia urungkan setelah menyadari sesuatu.
Keheningan yang begitu kental di balik pintu ini.


Penasaran, Rico berjinjit sedikit untuk melihat lewat jendela kecil yang terletak agak sedikit tinggi di pintu. Ia menyesalinya. Spontan ia membalik badan, punggung menempel erat pada permukaan pintu berat itu. Lututnya mendadak lemas. Mata menatap lebar ke tanah, pupil mengecil.
Lantai merah. Darah di mana-mana. Meski sekilas, Rico melihat tubuh seorang staf tergeletak kaku di lantai, mata membelalak namun buta. Jas dan kemeja putihnya membuat rembesan tinta merah dari luka sayatan yang menganga tercetak sangat jelas.
Apa yang terjadi? Ke mana suara alarm?!
Ruangan ini aman. Ruangan ini aman. Rico merapal kalimat itu dalam hati bersamaan dengan tubuhnya yang merosot turun, terduduk ke lantai. Pintu ini hanya dapat dibuka dengan password tertentu dan biometrik pemilik ruangan atau kode khusus yang dimiliki oleh staf yang berwenang. Bahan penyusun pintu pun turut meyakinkan dirinya bahwa ruang pribadi ini dapat melindunginya.
Benaknya bertengkar. Rico berharap ketika ia melongok keluar lagi, seorang petugas keamanan telah datang dan membereskan kekacauan ini segera. Perasaan lain mengatakan, lebih baik jangan. Naiklah ke ranjang. Selimuti tubuhmu. Tidur!
Setelah satu helaan napas, Rico kembali berjinjit. Penyesalannya berlipat sekarang.
Panjang, merah jambu semu warna kulit, elastis seperti cacing. Sisi bawahnya terdapat lekukan ke dalam, beruas-ruas yang tepiannya mengeluarkan deretan tulang berujung tajam, mirip susunan gigi karnivora. Dua-tiga ‘Sesuatu’ itu melilit tubuh staf yang terbujur kaku tadi, diseret pelan, meninggalkan jejak darah di lantai keramik putih.
Alarm berbunyi nyaring sesaat kemudian. Lorong diselimuti pendaran cahaya merah. Telat! Rico panik. Tiba-tiba kakinya kembali mendapatkan kekuatan untuk mendorong tubuhnya naik ke ranjang. Ia tarik selimutnya, matanya terpejam erat.
Semua kenikmatan di tempat ini bohong. Ruangan ini palsu. Ada makhluk aneh di balik pintu sedang memangsa manusia. Ayahnya selalu bilang, monster itu tidak ada. Semua ini hanyalah ilusi, mimpi buruk. Ia harap ketika membuka mata, ia sudah kembali ke kamarnya di rumah. Ia gigit bibirnya sendiri. Sakit. Tempat ini penjara—bukan. Neraka. Wajahnya makin ia benamkan pada bantal, barisan harapan bertabrakan dengan keputusasaan, pikiran logisnya bertarung dengan konspirasi dan irasionalitas.
Keheningan itu pecah ketika Rico mendengar suara dua orang tengah bercakap-cakap di koridor. Syukurlah.
“PAK! AWAS!” Kemudian suara bedebak, disusul suara seperti logam ringan yang memantul-mantul bising di lantai.
Satu orang baru bersuara. Pola suara orang ini terdengar familiar. Orang itu kemudian terbahak. Kemudian kegaduhan. Seseorang terlempar ke tembok. Satu lagi berteriak menantang.
Rico membuka selimutnya sedikit. Ia merasa lega petugas keamanan datang. Namun rasa penasaran itu tetap di sana, keberaniannya pun pulih. Berjalan pelan mendekati jendela pintu, kemudian terhenti ketika lampu ruangannya kembali berkedip-kedip—lebih tajam dari sebelumnya. Kemudian ia mendengar dengungan, disusul oleh cahaya terang yang berkilat-kilat. Seseorang berteriak kesakitan. Pendar nyala-mati ruangan kini tak berhenti. Rico kembali mengintip, kini jelas siapa pemilik ‘cacing’ tadi yang kini tengah bertarung dengan seorang pria yang tidak tampak seperti petugas keamanan.
Tenggorokan Rico tercekat, mencegahnya untuk menyebut nama orang itu.


= = =

Variable X

Case 13.1: Awakening (Heads)

= = =

Monday, February 22, 2016

Character Files #5: Dana

Yudhistira Banyu Pradana



Usia:
22 tahun, 23 after time skip
Pekerjaan:
Pimpinan divisi Keamanan Project Homunculus ; Pemimpin Mafia Senjata Ilegal Klan "Laut Selatan"
Tinggi:
177 cm


Yudhistira Banyu Pradana (Dana) adalah salah satu tokoh utama Variable X.

Dana mudah dikenali dengan rambutnya yang merah menyala dan luka menyilang di dahinya, jarang terlihat tersenyum (kalaupun senyum, itupun seringai). Posturnya cukup tinggi dan berperawakan atletis. Sebuah belati perak pemberian mendiang ibunya selalu dibawa di balik pinggang.

Ia memiliki ketertarikan yang nyaris tidak sehat pada Adrian.

Dana dipercaya Gama dalam urusan keamanan fisik Proyek Homunculus, bahkan ia diberi kesempatan untuk ikut serta dalam eksperimen. Sifatnya yang haus akan kekuatan, memanfaatkan eksperimen ini sebagai cara untuk mencapai tujuannya.

Penampilan Dana di luar aktivitasnya sebagai bos mafia.
Rambutnya diatur lebih rapi dan berkacamata
.

Salah satu lulusan terbaik dari universitas ternama di Ayodya ini ternyata memiliki sisi gelap yang berkebalikan dengan yang ia perlihatkan pada orang-orang. Dana "terpaksa" menjalani kesehariannya di dunia perdagangan senjata ilegal yang secara tidak langsung adalah warisan dari sang ayah.

Kejadian tragis di masa mudanya membuat pribadinya berubah drastis... termasuk kebiasaan mempermainkan wanita (kadang, lelaki pula).

Dana menjadi seorang yang dingin dan tanpa ampun di hadapan orang-orang yang berusaha menghalangi jalannya, namun ia pemimpin tegas dan penggerak handal di mata anak buah dan rekan-rekannya. Julukanya adalah "Setan Merah" (karena rambut dan matanya)... yang sepertinya tak lagi sekedar julukan.


. . .


Level 4: Red Flash


Setelah diinjeksi, dalam kurun waktu yang terbilang cepat, Dana berhasil mengendalikan energi bioplasmanya sehingga membangkitkan kekuatan homunculusnya yang memberikan kepekaan lingkungan luar biasa serta reflek dan kegesitan secepat kilat. Ketahanan fisik dan regenerasinya turut meningkat jauh. Terbukti saat dirinya ditembak tepat mengenai jantung, meski sempat tumbang beberapa saat, ia kembali bangkit dengan kekuatan berlipat.

Wednesday, January 27, 2016

Case #12

“Mas?”
Gama yang hendak menyeruput tehnya, berhenti sejenak untuk menatap istrinya. “Iya?”
“Aku sedikit heran.”
“Kenapa, Dik?”
“Kamu masih bisa juga tenang meski kemarin ribut-ribut. Yakin, Mas nggak apa-apa?”
Tawa kecil terselip. “Nana, tentu aku nggak mau diriku sendiri berantakan gara-gara kejadian seperti kemarin, kan?” Gama membalas dan melanjutkan apa yang terhenti tadi.
Jam digital di dinding tengah menunjukkan pukul tujuh, sayang matahari harus sedikit terhalangi cahaya hangatnya oleh gumpalan kapas di langit. Sepiring telur dadar telah habis di hadapan kedua sejoli itu, menyisakan sedikit sisa minyak tipis dan sepasang alat makan di atas piringnya. Kini secangkir teh hangat yang menemani percakapan mereka. Keduanya sama-sama telah berpakaian rapi, siap menjalani rutinitas sehari-hari.
“Mas?” Nana kembali memulai.
“Hm?”
Nana melirik ke arah lain sekilas, sedikit menarik napas dalam sebelum bertanya, “Kabar yang kolaps kemarin gimana, Mas?”
Gama menghela napas. “Mereka sudah ditangani kok, sudah dibawa ke Lab Besar. Banyak yang sudah mulai baikan, tapi ada juga yang masih sama. Kuharap bisa selesai sebelum jadwalnya untuk chip ini dirilis… Mau bagaimana juga, apapun bisa terjadi.”
“Begitu, ya… Lalu, gimana dengan dirimu sendiri, Mas?”
Gama mengulas senyum tipis, jemari melingkari bulatan emas pada tongkat yang bersandar di sisi meja. “Aku baik, kok... kondisiku semakin stabil. Mungkin sebentar lagi aku nggak perlu menyetrum orang lain tiap mau jabat tangan. Kita jadi bisa bergandengan tangan seperti dulu lagi, kan?”
Nana menghela napas lega dan menggenggam tangan lain suaminya, “Coba waktu itu aku nggak tanya barang yang dikasih Mas Naharis itu apa. Pasti sampai sekarang kamu nggak cerita sama aku, Mas.”
Gama tertawa menanggapi istrinya, jempol tangan balas mengelus telapak dan jemari lembut Nana sebelum kembali mengangkat cangkir, menyeruput teh yang tersisa seperempatnya. Ia justru mengira Nana akan menolak keras. Beruntung apa yang terjadi adalah sebaliknya, meski ia harus lebih dulu melihat satu dua momen di mana Nana belum utuh menerima.
“Aku dari awal bukan orang yang percaya sama hal-hal ‘begituan’, Mas. Aku bahkan kadang masih nggak bisa menyangka chipnya bisa melakukan hal seperti itu,” Nana bercerita. Kemudian dengan senyum lembut, menatap ke arah lantai, ia berkata, “Ternyata banyak sekali hal di dunia ini yang kita nggak tahu, ya? Aku merasa kecil…”
Kecil.
Satu kata sederhana itu seperti menyenggol sesuatu di dalam diri Gama.
“Aku juga nggak kepikiran jika justru kamu Mas, yang menggali harta tadi dan membagikannya ke semua orang. Kamu juga berani merelakan diri sendiri untuk dipasangi, dengan segala resikonya. Lihat berapa banyak orang yang tertolong.”
Aku tahu.
“Aku cuma berharap, ke depan nanti nggak ada lagi yang sampai punya ‘bonus’ seperti Mas. Hahaha...”
Apa?
Gama menaikkan alis. “Kenapa?”
Piringan cokelat susu hangat itu menatapnya cemas. “Bagaimana jika ada orang lain yang mendapatkan itu bukan orang yang seperti kamu?”
“Maksudmu?”
“Y-ya… Aku sering mendengarnya. Orang-orang spesial yang lebih dulu ‘bangkit’. Katanya… mereka melakukan hal-hal yang mengerikan,” jelas Nana. “Tapi kalau itu kamu Mas, aku percaya kamu takkan melakukan hal-hal itu.”
Layaknya menemukan ladang uranium, mengetahui keberadaan energi bioplasma dan segala potensinya itu. Gama mengangguk pelan, paham betul apa yang dimaksud Nana. Cerita-cerita klasik yang kerap istrinya dengar memang erat dengan hal yang ditelitinya ini, yang tentu suatu saat tirainya akan ia sibak.
Satu hal yang Gama sadari soal uranium—benda itu bersifat abu-abu.
Segalanya di dunia ini sendiri adalah abu-abu.
“Begini, Dik… Itu kembali ke orangnya asing-masing, kan? Entah dia mau memilih untuk mengolahnya menjadi sumber kehidupan atau alat penumpah darah.” ungkap Gama, meletakkan cangkir teh kosongnya pada tatakan. “Bahkan orang-orang yang belum ‘bangkit’ sudah mampu melakukannya dengan keterbatasan mereka saja pada saat itu. Misal kita menemukan bambu—setelahnya mau kita apakan? Menyusunnya menjadi tempat berteduh atau kita runcingkan untuk menghilangkan nyawa orang lain? Proyek ini menyadarkanku tentang sesuatu... apa yang membuat kita, manusia, spesial. Kebebasan untuk memilih. Digabung dengan akal dan nurani… Lihat yang kita sudah perbuat, kan? Manusia adalah makhluk paling luar biasa yang ada di dunia ini.”
Lembutnya sepasang piringan kelabu logam itu terasa berbeda, setidaknya ini baru apa yang Nana dapatkan ketika bertatapan dengannya.
Intens, mata lelaki itu seolah menayangkan penjabaran semua yang telah dilihatnya.
“Cukup dengan membayangkan, mengulang apa yang kita mau dan pilih di benak kita, tubuh seolah digerakkan hingga meraihnya. Dengan cara apapun, tak peduli jarak yang harus ditempuh. Tapi manusia tidak hidup sendiri kan, Nana? Tiap orang punya urusan dan tujuannya masing-masing. Saat kita dengan cara apapun berusaha menyelesaikan urusannya sendiri-sendiri, tahu apa yang terjadi? Kekacauan.
“Maka dari itu muncullah batasan. Batasan-batasan itu yang sering kita sebut dengan hukum, agama, atau apa saja yang serupa. Batas-batas inilah yang membuat manusia dan lingkungan sekitarnya dapat hidup berdampingan. Sayang tidak semua orang paham—haha—atau bahkan, sengaja tidak mau paham mengenai batas-batas itu di mana secara bersamaan mereka pun sadar akan akibatnya pula, kan?”
Aliran kalimat suaminya merangkul dan merasuk, Nana tak mampu berkomentar sepatah kata.
Nadia Setyaningrum mungkin termasuk dari satu banding sekian wanita beruntung. Perlukah Nana sebutkan sudah berapa kali suasana seperti ini terulang di antara keduanya di beberapa kesempatan terakhir? Kecemasan Nana sanggup dihanyutkan sedikit demi sedikit oleh Gama, mengembalikan rasa hangat dan senyumnya lagi dengan kalimat-kalimat mutiara terbalut oleh suara yang menenangkan.
“Aku selalu percaya jika tidak ada ‘kebetulan’ dalam sebuah peristiwa. Selalu saja ada hal di balik itu semua yang takkan mungkin kudapatkan jika aku mengalami peristiwa yang berbeda. Jadi apa yang kumiliki ini, Nana…” Gama mengalihkan pandangan pada satu telapak tangannya, tersenyum lembut. “Kamu menyebut ini efek samping. Bagiku berbeda. Ini anugrah. Berkah. Artinya, aku akan bertemu dengan peristiwa yang memberikanku maksud dan alasan memiliki ini tidak lama lagi.”
.
Tidak perlu menunggu.
.
“Dik, kamu takut jika ada orang lain yang dikaruniai kelebihan serupa justru melangkahi batas dan melakukan hal yang mengerikan, kan?”
Wajah Nana terangkat, menghadap sisi samping wajah suaminya yang tengah menatap keluar jendela. Sedikit terbata, Nana menjawab, “I-iya, Mas. Kenapa?”
“Boleh aku berjanji membuatkan ‘tempat itu’ untuk kita?”
Wanita bersurai gelap sebahu itu sedikit mengerenyitkan dahi, bingung. “Tempat apa…?” gumamnya.
“Tempat di mana harapan senantiasa hadir, tiada ketakutan, semua bersinergi. Harmonis.” Kemudian Gama menoleh, senyumnya yang hangat dengan tulus mengucapkan, “Di sana, kita akan hidup bahagia—sampai ajal memisahkan kemudian mempersatukan kita kembali.”


= = =

Variable X

Case 12: Conspiracy


= = =



Sunday, January 3, 2016

Character Files #4: Rico

Rico Hendriksen



Usia:
19 tahun, 20 after time skip
Pekerjaan:
Mahasiswa, atlet
Tinggi:
174 cm

Rico Hendriksen (Rico) adalah salah satu tokoh utama Variable X.

Mahasiswa ini adalah ace dari tim basket universitasnya. Semangat dan percaya diri, membawakan kehangatan bagi orang-orang di sekitarnya. Rico berdarah campuran, memiliki seorang kakak tiri bernama Nico (beda ibu, satu ayah). Bersahabat dekat dengan Theo yang juga sesama pecinta olahraga sekaligus anggota andalan tim basket universitas. Kini ia dikabarkan sedang dekat dengan seorang gadis dari fakultas IT.

Pada awalnya, Rico nampak netral dengan desas-desus eksperimentasi manusia yang dilakukan Paramayodya. Namun seiring dengan perkembangan berita yang beredar di kalangan kawan-kawan satu lingkarannya, ia mulai terbawa arus. Rico memantapkan hati untuk ikut terjun ke dalam misi setelah melihat kakaknya sendiri yang mengikuti eksperimentasi itu, terlebih setelah Nico mengalami anomali.