Saturday, November 21, 2015

Case #10

Alunan blues yang familiar mengisi bar dari pengeras suara di tiap pojok ruangan. Ramai dan tenang seperti biasa, pelayan berlalu-lalang mengantarkan minuman kepada pelangannya yang berkumpul di mejanya masing-masing atau mereka yang menyendiri, merapat di sisi ruangan. Atraksi lincah tangan-tangan para bartender di balik konter menjadi penghibur di akhir hari yang melelahkan.
B&D’s Star. Saya sampai rela pulang kerja duluan demi minuman yang satu ini,” ucap salah satu pelanggan yang duduk pada kursi konter.
Hari ini berbeda. Yang terlihat di tempat Rengganis biasanya, kini ada satu lagi bartender baru—tidak baru juga karena ia hanya muncul tiap dua minggu sekali, menyajikan menu khas dari racikan tangannya sendiri. Seorang wanita berusia sekitar dua puluh tiga tahunan, berparas anggun dengan surai cokelat kepirangan panjang yang diikat ekor kuda, pada masing-masing telinganya digantungi anting gelang dari perak. Kalung mutiara melingkari kerah kemeja putih dibawah rompi hitam beludrunya. Sepasang iris biru pucat berkilat layaknya baja.
Tentunya boleh untuk sesekali seorang manajer terjun ke lapangan menikmati asyiknya mengocok cocktail.
“Menu spesial dua mingguan. Seperti biasa.” Seulas senyum tipis mengembang di bibir pria lain dengan surai gelap berjas kelabu panjang yang menghampiri konter, cahaya lampu menampakkan kilatan biru pada tiap helaiannya. Wanita itu mengalihkan pandangannya pada tamu yang ia tunggu, dua pasang piringan biru baja kembar bertemu.
“Naharis,” sebut Dania. Tangannya kemudian dengan cekatan menuangkan cocktail ke gelas kemudian menghidangkannya di hadapan pria tersebut. “Kukira kamu akan lupa,” ucap Dania.
“Tidak, tidak. Aku tidak akan melewatkan kesempatan seperti ini,” balas Naharis yang kemudian mengambil gelas cocktail spesialnya. “Cheers.”
Dania tertawa kecil. Pria ini tak banyak berubah, pikirnya.
Apakah rasa yang terbersit di hati pria ini juga masih sama seperti dulu?
Dania menggelengkan kepalanya. Naharis yang baru meminum setengah dari gelasnya kemudian mengangkat satu alisnya saat sekejap menangkap gelagat tak biasa dari Dania.
“Apa? Mengangkat alismu seperti itu... Apa ada yang aneh?” Dania melipat kedua tangannya di atas meja konter tepat di hadapan Naharis.
“Tidak. Kamu...” Naharis melihat kiri dan kanan dengan canggung lalu berbisik, “Kamu tampak luar biasa. Tak banyak berubah.” Di bibir wanita itu kemudian terselip tawa pelan, sementara Naharis berusaha menahan senyum canggungnya.
“Nahar, apa di kantormu tidak ada wanita cantik lain yang bisa kamu goda?” balas Dania.
“M-menggoda? A-aku memujimu tahu, bukan menggoda. Bukan,” ungkap Naharis kaku sebelum menyisip minumannya lagi. “Lagipula, departemenku gersang. Tahu maksudku, kan? Aku masih normal.”
Kembali tawa pendek terselip. “Aku tahu, aku tahu. Maka dari itu kamu ke sini kan? Untuk mencari wanita-wanita itu?”
Alis tebal Naharis terangkat sebelah. “Sembarangan, kamu membuatku terdengar seperti pria hidung belang. Enak saja.”
“Lalu? Apa kamu ingin kukenalkan dengan bartenderku?” Kini Dania menopang dagu, semakin dekat jarak wajahnya dengan Naharis.
“Tidak, terima kasih. Cukup lah, bertemu dengan bartender istimewa yang ada di hadapanku ini. Aku sudah senang.”
Dania mengalihkan pandangan, senyum getir terbentuk di bibirnya. Satu pelanggan lagi meminta menu yang sama darinya, maka ia tinggalkan Naharis sejenak untuk mempersiapkan pesanan sambil membatin kalimat yang barusan ia dengar.
Di pojok pandangannya, ia lihat Naharis sedang melepas jaketnya, memperlihatkan kemeja putih lengan panjang yang kemudian ditekuk hingga di atas siku. Dania baru menyadari ada sesuatu yang berbeda.
Selesai dengan pesanannya, ia kembali menghampiri Naharis. “Jadi… ini alasanmu menghilang beberapa minggu ini?” tanya Dania hati-hati, pandangan mengarah pada lengan kiri Naharis yang tak lagi tersusun atas tulang berbalut daging dibawah lapisan kulit. Lengan artifisial, berkulit putih keras dari logam ringan dengan sendi-sendi mekanikal.
“Begitulah, kecelakaan kerja,” ucap Naharis yang kemudian menepuk lengan bionik-nya(1). “Tapi rasanya tak jauh berbeda dengan lengan sebenarnya, kok.” Pria itu tertawa kecil.
“Kenapa kamu tidak bercerita padaku?” ucap Dania sembari perlahan menyentuh punggung tangan logam milik Naharis. Seakan ingin menggenggam namun ragu.
“Uh… belum… sempat? Entahlah. Selesai fase penyesuaian aku langsung diminta mengerjakan proyek lagi.”
Dania mengangguk pelan, tidak menyangka Naharis sampai begini karena pekerjaannya. Bongkar-pasang, merancang, membuat ini dan itu untuk kemudahan orang banyak di bawah bendera IO Technologies. Ia genggam tangan kiri pria itu. Dingin. Namun tidak sedingin sepasang piringan biru yang kini kembali beradu dengan iris peraknya.
“Bram apa kabar?” Naharis memulai.
“Kamu bukannya sering bertemu dengannya di kantor?”
“Kata siapa? Terakhir ketemu dua bulan lalu, dua hari setelah lenganku ini tersiram air keras.”
Sekali detakan keras menyesakkan dada Dania. “Bram… Demikianlah,” ucapnya.

= = =

Variable X

Case 10: The Curse

= = =



Sunday, November 8, 2015

Case #9.2

Jemari pemuda berambut pirang itu menari di atas keyboard laptopnya. Terkadang ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kata demi kata ia rangkai dan ketikkan. Jendela tampilan pada layar berganti-ganti, ia sedang menulis laporan mengenai program sistem distribusi yang dia bersama beberapa rekan timnya kerjakan. Sembari serangkai jemari satu tangan sibuk dengan aktivitasnya, tangan lainnya sesekali meraih segelas besar softdrink keempatnya di sore ini.
Tunggu.
Yang keempat.

Ia menatap gelas besar yang kini tinggal terisi seperlimanya. Sepasang manik keperakan itu lalu melirik ke sisi meja yang lain, ditiga gelas styrofoam kosong dan lima bungkus cheeseburger yang sudah habis ia lahap. Aneh, tiada rasa puas. Tak ada kenaikan berat badan pula. Mendadak nyeri sekilas pada tengkuk itu kembali muncul, seperti yang sudah-sudah.
Tiga hari Nico mengalaminya. Seharusnya ini tidak normal… kan?
Tiba-tiba perutnya berbunyi lagi. Baru saja setengah jam lalu ia menghabiskan makanan kesukaannya. Ia mengelus perutnya dan beranjak ke dapur, pikiran teralihkan dari pekerjaannya. Pintu kulkas dibukanya sedikit tak sabar. Meski sudah menyisakan banyak ruang kosong, itu tak mencegah Nico untuk mengambil sisa makanan kecil yang tersisa.
Setengah sadar, ia jilat bibirnya sendiri. Tak mungkin menyelesaikan pekerjaan dalam kondisi perut kosong.
Benar-benar kosong, seolah apapun yang dimakannya justru jatuh ke dalam lubang tak berdasar.


= = =

Variable X

Case 9.2: Vices II

= = =