Tuesday, September 8, 2015

Case #8

Hitam. Kosong. Tiada apapun.
Perih. Terikat.
Dingin.

. . .
“Di mana... aku?” Gama bergumam, berusaha melihat sekelilingnya. Pergelangan tangan dan kakinya perih, sedetik kemudian ia sadar sedang diikat kencang di kursi, tepat pada tengah-tengah ruang gelap yang kosong.
“Selamat datang, Gamananda Agastya.” Sebuah suara lelaki yang begitu familiar ia dengar, beserta langkah kaki yang mendekat dari depannya. Entah dari mana perlahan cahaya mengisi pandangan walau membuat ruangan itu masih remang.
Gama melihat ke bawah, sepasang kaki melangkah muncul dari bayang-bayang. Perlahan matanya menelusur dari ujung kaki orang itu ke atas. Degup jantungnya berhenti sejenak, setelah sekian lama ia temui kembali sepasang iris keemasan bengis yang tertanam di bola mata hitam pada wajahnya sendiri. Surai keperakan menggantikan tempat helaian gelap yang seharusnya berada di sana. Garis-garis pola retakan bercabang berpendar keemasan menghiasi samping muka, leher, turun sampai lengan. Pakaian yang dikenakan pun serupa, seakan ia sedang bercermin.
“Begitu nyata, bukan?” ucap sosok itu kemudian menyeringai tipis.
“Kau iblis… Terakhir kali aku sedang tidur bersama istriku, dan sekarang—”
Satu alis terangkat bersama dengan sebelah sisi bibirnya melengkung naik. “Iblis? Kau yakin mengatai dirimu sendiri demikian?” balas lawan bicaranya. ‘Gama’ tertawa kecil sambil berjalan memutari kursi di mana Gama ditahan. “Tenang. Nana masih di tempat yang sama. Kau juga tidak ke mana-mana, tidak tubuhmu. Hanya pikiranmu yang pergi.”
“Katakan, siapa kau sebenarnya.”
“Aku?” ‘Iblis’ itu berbisik pada telinga Gama, “Aku adalah kau.”
“Jangan bercanda.”
Segera, menjadi dirimu,” desisnya.
Gama meronta berusaha membebaskan tangannya dari ikatan, ingin rasanya ia menghantamkan kepalan tangannya pada sang iblis. Namun daya tubuhnya lari tak tahu di mana. Rasa dingin menusuk mungkin yang membawanya pergi.
“Percuma saja Gama, untuk melawan bawah sadarmu.”
“Bawah sadar…?”
“Benar. Aku adalah manifestasi dari sisi pikiranmu yang lain. Dark side of the moon? Bagian yang tak terlihat dari gunung es?” ucap pria bermata emas itu sambil menyeringai. “Tak apa, kau tak harus mengerti sekarang. Aku membawamu ke sini hanya untuk memberitahu sesuatu.”
“Apa?”
Jemari ‘Gama’ yang lain menyentuh pelipis Gama dan sebuah sensasi dingin, beku mengalir dari pelipis ke seluruh tubuhnya. Telapak tangannya lalu memegangi sisi-sisi kepala Gama.
Keringat dingin mengalir turun, Gama menajamkan sorot mata kelabu bajanya. “A-apa yang akan kau lakukan, brengsek...”
“Ini adalah langkah terakhir dari usahamu menemukan kebenaran yang sudah tepat di depan mata. Tenanglah, ini akan begitu menyenangkan,” bisik sosok itu.
Sekian detik kemudian seluruh tubuh Gama seolah membeku, kaku, tak bisa bergerak. Lidahnya pun kelu, tak bisa berucap kata lagi. Jantungnya berdetak perlahan seakan hawa dingin itu segera membungkusnya menuju tidur panjang. Pembuluh darahnya seakan tak mengalirkan darah lagi, berganti menjadi nitrogen cair.
“Kita mulai saja.”
Tiba-tiba hawa dingin itu berganti menjadi sengatan listrik dengan kekuatan ribuan volt, sengatan yang begitu menyakitkan menusuk setiap inci tubuhnya hingga mungkin tak mampu dibayangkan oleh manusia. Gama berteriak kesakitan, tubuhnya bergetar hebat.
.
“Ini demi dirimu juga, Gama.”
“Kau, tidak—Kita, akan menjadi sesuatu, seseorang yang lebih tinggi dari manusia. Sesuai impianmu.”
.
Gama mengerang dan berteriak semakin keras. Iblis itu tertawa semakin keras sejalan dengan semakin menguatnya setruman yang mengalir dari tangannya ke tubuh Gama. Percikan-percikan listrik menerangi ruangan itu.
.
“Umat manusia akan berevolusi! Dan itu harus dimulai dari kau.”
.
Gama memejamkan mata rapat-rapat, berharap mimpi buruk ini segera berakhir. Giginya bergemeletuk menahan sakit. Ion-ion bermuatan yang tak terhitung itu sudah begitu menyiksa setiap sel tubuhnya. Satu teriakan keras dan tawa puas dari si iblis.
Ia terbangun.
Pukul tiga pagi, angka-angka itu berkedip di jam digital yang terletak di atas duvet kecil samping tempat tidurnya. Sekujur tubuh Gama bersimbah keringat, dingin. Pening ia rasakan dalam kepalanya. Jari tangannya bergerak menuju tengkuk, menyentuh titik bekas injeksi yang kembali terasa nyeri walau sudah dua bulan sejak hari itu berselang.
“Aku harus memeriksakannya hari ini,” gumamnya kemudian beranjak dari tempat tidur. Sejenak ia merasa lega melihat istrinya yang masih terlelap. Ia tidak boleh tahu soal ini, pikir Gama.
Langkahnya meniti lemas, perlahan menuju wastafel dan cermin di kamar mandi. Kedua tangannya bertumpu pada pinggiran keramik putih itu. Menunduk, pikirannya masih tidak fokus—nyatanya sentuhan tangan sosok itu, atmosfer sedingin daratan Siberia pada musim dingin, sengatan yang luar biasa merangsang saraf nyerinya pada mimpi yang tak lagi bisa disebut semu.
Lucu rasanya dirinya masih hidup.
Ia menggeleng, menyentuhkan tangan pada keran otomatis. Air mengalir ia tadahi dengan kedua telapak tangan sebelum ia cipratkan pada muka. Dua tiga kali kemudian, ia angkat wajahnya pada cermin.
Ada yang berbeda.
Warna kelabu irisnya berubah emas, noda hitam nyaris membungkus bagian putih matanya. Beberapa percik putih mengisi pangkal rambut kepala. Gama terhenyak, melangkah mundur hingga punggung membentur tembok.
“Tidak, tidak, tidak. Ini tidak nyata. Aku pasti masih bermimpi,” ucapnya meyakinkan diri sendiri sembari memejamkan mata, napas tak beraturan. Jemarinya menggaruk tembok, kakinya terasa lemas. Ia tundukkan kepalanya, tak ingin melihat ke cermin.
Ketika kembali membuka kelopak matanya, ia masih di tempat yang sama. Perlahan ia angkat wajahnya, tak lagi ia temukan iris emas dan noda hitam yang mengelilinginya. Semua kembali normal. Tangan perlahan menggosok lengannya yang merinding, ia menghela napas.
“Mas? Mas nggak apa-apa?” suara lembut dengan nada khawatir terdengar dari ruang sebelah.
Tentu saja tidak! Batinnya berteriak. Gama justru menyahut dengan tawa kecil, “Enggak! Cuma mimpi buruk… lagi. Beberapa hari ini aku memang kurang istirahat, Dik.”
Gama perhatikan istrinya yang melangkah mendekati bingkai pintu kamar mandi yang terbuka. Keduanya saling berpandangan sampai paras Nana menunjukkan kecemasan. “Mas… Kamu kira aku nggak tahu udah beberapa kali ini terjadi?” Nana bertanya retoris.
Pria bersurai gelap itu menelan ludah, lidahnya kaku. Nana melangkah masuk, berhenti tepat selangkah di depan suaminya. Ia meminta jawaban.
“A-aku…”
Kedua telapak tangan Nana yang lembut menyentuh masing-masing pipi Gama. Manik cokelat kayu itu menatap dalam-dalam manik kelabunya. Dalam hati Gama berharap, warna emas itu tak merubah irisnya lagi.
“Ceritakan padaku, Mas,” Nana meminta pelan.
Tidak, ia takkan bercerita. Karena Gama yakin, ‘hadiah’ yang disebutkan di beberapa laporan hasil eksperimen nampaknya telah mulai muncul pula padanya. Nana tidak boleh tahu jika dirinya sengaja terdaftar sebagai salah satu dari ratusan kelinci percobaan dalam proyeknya.
“Nggak apa-apa, Mas. Aku akan mendengar semuanya.”
Gama menghela napas, mata dipejamkan lalu berkata, “Tidak.”
Dapat Gama rasakan jelas getaran yang sepersekian detik mengalir ke telapak Nana, disusul istrinya yang tiba-tiba memekik dan menarik tangannya cepat-cepat. Jarak sepasang kekasih itu pun kembali melebar. Reflek, Gama hendak meraih istrinya kembali namun tertahan saat diketahui Nana kini tengah memeluk tubuhnya sendiri, gemetar, menatap kaget suaminya… dan takut.
“Aa-a-aku lagi nggak ngimpi juga, kan… Mas?”
“... Hah?”
“B-barusan… a-a-aku… ke-kesetrum?”

Ini buruk. Satu senyuman canggung merekah pada bibir Gama, ia lalu berkata pada istrinya, “Ayo tidur lagi. Mimpinya hampir selesai.”

= = =

Variable X

Case 8: Dreams

= = =