Wednesday, January 27, 2016

Case #12

“Mas?”
Gama yang hendak menyeruput tehnya, berhenti sejenak untuk menatap istrinya. “Iya?”
“Aku sedikit heran.”
“Kenapa, Dik?”
“Kamu masih bisa juga tenang meski kemarin ribut-ribut. Yakin, Mas nggak apa-apa?”
Tawa kecil terselip. “Nana, tentu aku nggak mau diriku sendiri berantakan gara-gara kejadian seperti kemarin, kan?” Gama membalas dan melanjutkan apa yang terhenti tadi.
Jam digital di dinding tengah menunjukkan pukul tujuh, sayang matahari harus sedikit terhalangi cahaya hangatnya oleh gumpalan kapas di langit. Sepiring telur dadar telah habis di hadapan kedua sejoli itu, menyisakan sedikit sisa minyak tipis dan sepasang alat makan di atas piringnya. Kini secangkir teh hangat yang menemani percakapan mereka. Keduanya sama-sama telah berpakaian rapi, siap menjalani rutinitas sehari-hari.
“Mas?” Nana kembali memulai.
“Hm?”
Nana melirik ke arah lain sekilas, sedikit menarik napas dalam sebelum bertanya, “Kabar yang kolaps kemarin gimana, Mas?”
Gama menghela napas. “Mereka sudah ditangani kok, sudah dibawa ke Lab Besar. Banyak yang sudah mulai baikan, tapi ada juga yang masih sama. Kuharap bisa selesai sebelum jadwalnya untuk chip ini dirilis… Mau bagaimana juga, apapun bisa terjadi.”
“Begitu, ya… Lalu, gimana dengan dirimu sendiri, Mas?”
Gama mengulas senyum tipis, jemari melingkari bulatan emas pada tongkat yang bersandar di sisi meja. “Aku baik, kok... kondisiku semakin stabil. Mungkin sebentar lagi aku nggak perlu menyetrum orang lain tiap mau jabat tangan. Kita jadi bisa bergandengan tangan seperti dulu lagi, kan?”
Nana menghela napas lega dan menggenggam tangan lain suaminya, “Coba waktu itu aku nggak tanya barang yang dikasih Mas Naharis itu apa. Pasti sampai sekarang kamu nggak cerita sama aku, Mas.”
Gama tertawa menanggapi istrinya, jempol tangan balas mengelus telapak dan jemari lembut Nana sebelum kembali mengangkat cangkir, menyeruput teh yang tersisa seperempatnya. Ia justru mengira Nana akan menolak keras. Beruntung apa yang terjadi adalah sebaliknya, meski ia harus lebih dulu melihat satu dua momen di mana Nana belum utuh menerima.
“Aku dari awal bukan orang yang percaya sama hal-hal ‘begituan’, Mas. Aku bahkan kadang masih nggak bisa menyangka chipnya bisa melakukan hal seperti itu,” Nana bercerita. Kemudian dengan senyum lembut, menatap ke arah lantai, ia berkata, “Ternyata banyak sekali hal di dunia ini yang kita nggak tahu, ya? Aku merasa kecil…”
Kecil.
Satu kata sederhana itu seperti menyenggol sesuatu di dalam diri Gama.
“Aku juga nggak kepikiran jika justru kamu Mas, yang menggali harta tadi dan membagikannya ke semua orang. Kamu juga berani merelakan diri sendiri untuk dipasangi, dengan segala resikonya. Lihat berapa banyak orang yang tertolong.”
Aku tahu.
“Aku cuma berharap, ke depan nanti nggak ada lagi yang sampai punya ‘bonus’ seperti Mas. Hahaha...”
Apa?
Gama menaikkan alis. “Kenapa?”
Piringan cokelat susu hangat itu menatapnya cemas. “Bagaimana jika ada orang lain yang mendapatkan itu bukan orang yang seperti kamu?”
“Maksudmu?”
“Y-ya… Aku sering mendengarnya. Orang-orang spesial yang lebih dulu ‘bangkit’. Katanya… mereka melakukan hal-hal yang mengerikan,” jelas Nana. “Tapi kalau itu kamu Mas, aku percaya kamu takkan melakukan hal-hal itu.”
Layaknya menemukan ladang uranium, mengetahui keberadaan energi bioplasma dan segala potensinya itu. Gama mengangguk pelan, paham betul apa yang dimaksud Nana. Cerita-cerita klasik yang kerap istrinya dengar memang erat dengan hal yang ditelitinya ini, yang tentu suatu saat tirainya akan ia sibak.
Satu hal yang Gama sadari soal uranium—benda itu bersifat abu-abu.
Segalanya di dunia ini sendiri adalah abu-abu.
“Begini, Dik… Itu kembali ke orangnya asing-masing, kan? Entah dia mau memilih untuk mengolahnya menjadi sumber kehidupan atau alat penumpah darah.” ungkap Gama, meletakkan cangkir teh kosongnya pada tatakan. “Bahkan orang-orang yang belum ‘bangkit’ sudah mampu melakukannya dengan keterbatasan mereka saja pada saat itu. Misal kita menemukan bambu—setelahnya mau kita apakan? Menyusunnya menjadi tempat berteduh atau kita runcingkan untuk menghilangkan nyawa orang lain? Proyek ini menyadarkanku tentang sesuatu... apa yang membuat kita, manusia, spesial. Kebebasan untuk memilih. Digabung dengan akal dan nurani… Lihat yang kita sudah perbuat, kan? Manusia adalah makhluk paling luar biasa yang ada di dunia ini.”
Lembutnya sepasang piringan kelabu logam itu terasa berbeda, setidaknya ini baru apa yang Nana dapatkan ketika bertatapan dengannya.
Intens, mata lelaki itu seolah menayangkan penjabaran semua yang telah dilihatnya.
“Cukup dengan membayangkan, mengulang apa yang kita mau dan pilih di benak kita, tubuh seolah digerakkan hingga meraihnya. Dengan cara apapun, tak peduli jarak yang harus ditempuh. Tapi manusia tidak hidup sendiri kan, Nana? Tiap orang punya urusan dan tujuannya masing-masing. Saat kita dengan cara apapun berusaha menyelesaikan urusannya sendiri-sendiri, tahu apa yang terjadi? Kekacauan.
“Maka dari itu muncullah batasan. Batasan-batasan itu yang sering kita sebut dengan hukum, agama, atau apa saja yang serupa. Batas-batas inilah yang membuat manusia dan lingkungan sekitarnya dapat hidup berdampingan. Sayang tidak semua orang paham—haha—atau bahkan, sengaja tidak mau paham mengenai batas-batas itu di mana secara bersamaan mereka pun sadar akan akibatnya pula, kan?”
Aliran kalimat suaminya merangkul dan merasuk, Nana tak mampu berkomentar sepatah kata.
Nadia Setyaningrum mungkin termasuk dari satu banding sekian wanita beruntung. Perlukah Nana sebutkan sudah berapa kali suasana seperti ini terulang di antara keduanya di beberapa kesempatan terakhir? Kecemasan Nana sanggup dihanyutkan sedikit demi sedikit oleh Gama, mengembalikan rasa hangat dan senyumnya lagi dengan kalimat-kalimat mutiara terbalut oleh suara yang menenangkan.
“Aku selalu percaya jika tidak ada ‘kebetulan’ dalam sebuah peristiwa. Selalu saja ada hal di balik itu semua yang takkan mungkin kudapatkan jika aku mengalami peristiwa yang berbeda. Jadi apa yang kumiliki ini, Nana…” Gama mengalihkan pandangan pada satu telapak tangannya, tersenyum lembut. “Kamu menyebut ini efek samping. Bagiku berbeda. Ini anugrah. Berkah. Artinya, aku akan bertemu dengan peristiwa yang memberikanku maksud dan alasan memiliki ini tidak lama lagi.”
.
Tidak perlu menunggu.
.
“Dik, kamu takut jika ada orang lain yang dikaruniai kelebihan serupa justru melangkahi batas dan melakukan hal yang mengerikan, kan?”
Wajah Nana terangkat, menghadap sisi samping wajah suaminya yang tengah menatap keluar jendela. Sedikit terbata, Nana menjawab, “I-iya, Mas. Kenapa?”
“Boleh aku berjanji membuatkan ‘tempat itu’ untuk kita?”
Wanita bersurai gelap sebahu itu sedikit mengerenyitkan dahi, bingung. “Tempat apa…?” gumamnya.
“Tempat di mana harapan senantiasa hadir, tiada ketakutan, semua bersinergi. Harmonis.” Kemudian Gama menoleh, senyumnya yang hangat dengan tulus mengucapkan, “Di sana, kita akan hidup bahagia—sampai ajal memisahkan kemudian mempersatukan kita kembali.”


= = =

Variable X

Case 12: Conspiracy


= = =



Sunday, January 3, 2016

Character Files #4: Rico

Rico Hendriksen



Usia:
19 tahun, 20 after time skip
Pekerjaan:
Mahasiswa, atlet
Tinggi:
174 cm

Rico Hendriksen (Rico) adalah salah satu tokoh utama Variable X.

Mahasiswa ini adalah ace dari tim basket universitasnya. Semangat dan percaya diri, membawakan kehangatan bagi orang-orang di sekitarnya. Rico berdarah campuran, memiliki seorang kakak tiri bernama Nico (beda ibu, satu ayah). Bersahabat dekat dengan Theo yang juga sesama pecinta olahraga sekaligus anggota andalan tim basket universitas. Kini ia dikabarkan sedang dekat dengan seorang gadis dari fakultas IT.

Pada awalnya, Rico nampak netral dengan desas-desus eksperimentasi manusia yang dilakukan Paramayodya. Namun seiring dengan perkembangan berita yang beredar di kalangan kawan-kawan satu lingkarannya, ia mulai terbawa arus. Rico memantapkan hati untuk ikut terjun ke dalam misi setelah melihat kakaknya sendiri yang mengikuti eksperimentasi itu, terlebih setelah Nico mengalami anomali.