Friday, August 21, 2015

Character File #2: Venndra

Venndra Kanigara



Usia:
18 tahun, 19 after time skip
Pekerjaan:
Staf peneliti Paramayodya
Tinggi:
168 cm

Venndra Kanigara (Venndra) adalah salah satu tokoh utama Variable X.

Venndra bekerja sebagai staf peneliti Paramayodya di bawah pimpinan Willem. Selama proses penelitian dan pengembangan chip berlangsung, Venndra berangsur menolak penelitian itu lantaran mengetahui rahasia gelap hasil penelitian yang didapatkan. Diam-diam dirinya berpaling, mencoba menggagalkan Gama untuk mencapai tujuannya.

Nampak manis dan kekanak-kanakan dari luar, namun untuk kebanyakan pemuda seusianya Venndra tergolong lebih cerdas dan dewasa. Ini dikarenakan ia adalah anak indigo—golongan orang spesial yang memiliki kelebihan tertentu yang tak dimiliki orang biasa, terutama sensitivitas pada lingkungan sekitarnya. Atas kelebihannya inilah, ia menyimpan sebuah kunci penting dalam Homunculus Project, yaitu sampel kode DNA-nya sendiri.

Thursday, August 20, 2015

Case #7

Mentari mulai tenggelam di ufuk barat, seorang pemuda dengan bandana biru yang menahan rambut coklatnya tengah berlari. Sehelai handuk putih disampirkan di lehernya, earphone yang terpasang di telinganya memainkan lagu berirama cepat. Napasnya stabil walau sedikit terengah. Bulir-bulir keringat mengalir pada dahi dan pelipisnya, kaos biru tanpa lengannya basah.
Rico melihat ke smartwatch-nya sembari berlari, layar arloji itu menunjukkan detak jantung serta jarak yang sudah ditempuh olehnya saat jogging sore ini.
“Oke, sudah waktunya,” ia bergumam. Langkahnya sampai pada lobi apartemen sebelum memasuki elevator menuju lantai 14. Ia sapa salah satu tetangganya yang kebetulan berpapasan dan sampailah ia di ruang 313.
“Aku pulang!” ucapnya sembari membuka pintu. Di tengah ruangan, duduklah kakaknya Nico di sofa dengan sepiring penuh donat dan sebuah laptop di atas meja kaca. Sambil mulutnya menggigit donat dengan krim coklat, ia tampak sibuk mengerjakan sesuatu.
“Hei, Ricky,” sapa Nico setelah mengunyah potongan donatnya. Adik yang disapanya itu kemudian duduk di sebelah Nico sambil mengelap keringatnya dengan handuk. “Gimana jogging?” tanyanya basa-basi.
“Ya begitulah. Kak, udah kubilang jangan banyak manis-manis…” Rico menghela napas.
“Ayolah, Ric… Bilang aja kalau kamu juga mau,” Nico menyodorkan piring di hadapan adiknya, “Sesekali!”
“... Terserah, lah. Sisakan satu buatku nanti, kak. Ngomong-ngomong, Ibu masih di luar?” Rico membalas tanya.
Nico menggigit sepotong kecil, menjawab, “Di balkon, menyiram tanaman.”
“Oh? Kukira jadi pergi keluar sebentar sama Bu Linda, tadi.”
“Bu Linda ada urusan mendadak, katanya besok pagi ke sini lagi.”
Nico membuka sebuah file dan menyalakan koneksi nirkabel pada laptopnya. “Ric, tolong nyalakan printernya,” ucapnya.
Rico langsung beranjak, menyalakan alat cetak yang disebut di ruang sebelah. Mesin itu pun mulai menyesuaikan diri sebelum rentetan kertas putih ditumpahi tinta membentuk baris demi baris tulisan, halaman demi halaman.
Setelah selesai, Rico mengambil lembar demi lembar dan membacanya. Terpampang di bagian atas sebuah kop dengan tulisan, “IO Technologies...” gumam Rico. Iseng, ia buka halaman isinya dan menemukan tanda air. Tanda yang sama ia temukan di halaman-halaman berikutnya.
Top Secret.
Dahi Rico mengerenyit.
“Udah selesai, Ric?” sahut Nico dari ruang tengah. Rico menghampiri kakaknya dan menyerahkan berkas tersebut. “Thanks,” ucap Nico dengan isyarat tangannya. Rico duduk di sebelah saudaranya itu dan akan membuka mulut untuk bertanya, ketika Nico berucap, “Hebat, kan? Baru sebentar bekerja di IO, aku udah diberi tugas untuk membuat sistem distribusi barang.”
Nico terkekeh. Rico menggelengkan kepala, lucu rasanya seakan Nico bisa membaca pikirannya.
“Barang apa yang kakak distribusikan? Smartphone? Multimedia player?”
“Hahaha! Bukan lah, Ricky. Barang ini… spesial, dan amat penting. Sebuah chip.”
“Chip? Keripik kentang?” ucap Rico setengah bercanda.
“Bukan, adikku yang konyol!” Nico menjitak kepala Rico. “Chip medis! Hasil kerjasama IO Tech dengan Paramayodya.”
“Paramayodya… Tunggu, Paramayodya yang itu?”
Nico mengangkat satu alisnya, “Yang itu… apa?”
“Eh, bukan, lupakan.”
Nico mengambil lembar terakhir dari berkas itu dan menunjukkannya pada adiknya, di lembar itu terpampang gambar sebuah benda seperti kapsul dengan pola-pola sirkuit di dalamnya. Di bawah gambar itu tertulis nomor seri dan fungsi, bahkan cara aktivasinya. Mata Rico terbelalak.
Waktu itu di acara wisuda. Rico benar-benar paham sekarang.
Adrian memang tahu.
Eksperimen itu, proyek itu, nyata.
“Kira-kira apa kabar si Adrian, ya? Belum nongol juga batang hidungnya. Katanya sudah punya banyak tawaran? Sementara aku di sini sudah akan mengerjakan sebuah bagian dari satu proyek besar~” Nico berseloroh.
Juga, Nico terlibat di dalamnya.
“Oke, jadi… Chip ini untuk terapi medis. Semacam penyembuhan menggunakan energi alam atau apalah. Seperti yang ada di berita-berita terbaru televisi,” ujar Nico.
“Apa kakak tahu chip ini akan disebarkan ke mana saja?” tanya Rico.
“Iya, lah. Kantor-kantor cabang Paramayodya, instansi kesehatan, militer...”
“Militer? Buat apa?”
“Yaah... paling mungkin pertolongan pertama pada prajurit yang terluka saat perang, kan?” Nico mengangkat bahu. “Err, atau mungkin pertolongan kecelakaan latihan atau apalah. Lagian, sekarang sedang tak ada perang. Oh! Ini bonus katanya—tahu orang yang menghampiriku saat wisuda kemarin? Daniel? Dia memberiku kesempatan untuk mencoba. Tesnya lusa, hari kedua. Besok ini hari pertama, untuk mereka yang membutuhkan lebih dulu. Boleh diambil boleh tidak, sih.”
Jeda sekian detik sebelum Rico menanggapi, “... Jawaban kakak?”
“Aku ambil.”
Rico menatap lurus ke arah lantai, merenung.
“Ya, gimana ya—ayolah, mungkin setelah chip ini terpasang di tubuhku aku tak perlu ragu lagi menikmati cheeseburger favoritku.”
Mendapati sang adik tak merespon, tiba-tiba telapak tangan Nico dikibaskan di depan wajahnya. “Oi, Ric. Jangan melamun,” ujarnya.
“Ah... haha, tidak apa-apa. Aku hanya berpikir.”
“Tentang?”
Sekian detik Rico terdiam, kemudian berkata, “Kakak membiarkan aku melihat isi dari sebuah dokumen yang… sangat rahasia.” Satu helaan napas dan tatapan lurus, “Aku takkan melakukan itu kalau ada di posisi kakak sekarang.”
Nico mengalihkan pandangan, mengedikkan bahu lalu membalas, “Kamu pikir ini tindakan bodoh?” Ia menggeleng dengan senyum lebar merekah di wajahnya. “Haha. Ricky, Ricky. Kupikir kamu berhak tahu. Kamu adikku, kan? Aku percaya padamu. Bukannya kita selalu berbagi rahasia? Selama ini kita juga menjaganya baik-baik. Kenapa aku harus khawatir? Ini hanya diantara kita berdua juga, kan? Aku mengenalmu, Ric. Aku tahu kamu takkan mengambil kesempatan.”
Rico mengangguk pelan, dengan sebuah senyuman yang (sedikit) terpaksa ia mengucapkan, “Selamat ya, kak.”


= = =

Variable X

Case 7: Minutes


= = =



Monday, August 3, 2015

Case #6




Angin sepoi bertiup, taman yang teduh dengan sebuah pohon rindang yang besar di salah satu sisinya. Matahari bersinar di sela gulungan kapas putih di langit, rumput hijau yang dipangkas rapi seakan lembut ketika kau menginjaknya dengan bertelanjang kaki.

“... Sayangnya tak dapat kunikmati berjalan dengan kaki saya sendiri. Iya kan... suster?”

Ibu perawat itu hanya tersenyum kemudian mendorong kursi roda yang diduduki oleh seorang pria muda ke dekat kolam koi yang ada di tengah-tengah taman. Surai pirang kecokelatannya yang disisir ke belakang mulai berantakan diterpa angin.

Manik zamrud lelaki itu melihat ke kiri dan kanan, pagi itu taman rumah sakit agak sepi. Dua orang pasien dengan infus tampak bercakap-cakap di salah satu bangku. Wajah mereka nampak senang, mungkin mereka segera diperbolehkan pulang. Sebuah senyum kecil terkembang, turut senang meski dirinya sendiri masih dalam kondisi yang sama sejak dua bulan lalu.

Ia kira dirinya kelelahan pada awalnya, membantu mengurus usaha perkebunan keluarga disambi meniti gelar Master-nya di bidang pertanian. Saat itu ia sedang berjalan menyusuri kebun kopi milik sang ayah ketika merasakan kakinya kesemutan yang berangsur menjadi sensasi tusukan-tusukan jarum. Mata mulai tak mampu melihat jernih, sesekali bayangan benda mengganda. Hari demi hari berlalu, sensasi itu datang dan pergi hingga pada suatu hari ia nyaris tak dapat merasakan jari tangan yang tengah memijat kaki kanannya sendiri.

Semua akan baik-baik saja, terus dan terus ia berkata demikian dalam hati. Kemudian tiba di mana ia membuka matanya di pagi hari mendapati dirinya begitu susah untuk bergerak, panik yang menjadi pun merasukinya. Lalu ketika telapak kaki hendak menapak, rasa sakit menusuk kuat sebelum tubuhnya terkulai mencium lantai.

Tubuh muda yang dulunya tinggi tegap itu telah kehilangan nikmatnya. Tak dapat ia rasakan keberadaan pinggang sampai ujung kakinya lagi. Sampai saat ini.
“Anda berbeda ya, Darien.”
Lelaki di kursi roda itu sedikit menolehkan kepalanya pada si perawat. “Bagaimana?”
“Anda tampak… tenang. Santai. Banyak pasien lain tidak demikian.”
Darien tertawa pelan dan kembali memperhatikan koi-koi besar yang berenang di bawah air kolam yang jernih. “Kau tidak tahu bagaimana saat saya mengalami gejala besarnya, Suster. Terlebih lagi… setelah tahu kalau… penyakit saya ini... langka(1)… yang sampai detik ini pun… belum berhasil ditemukan obatnya. Jadi, saya tidak merasa berbeda dengan mereka itu,” ungkapnya.
“Ah, m-maksud saya…”
“Ah, iya… Berada di taman membuat saya merasa damai.”
Sorotnya tenang, mengikuti pergerakan-pergerakan koi yang berkumpul di sisi kolam yang dekat dengan posisi Darien sekarang. Senyum tipis pria muda itu tak pernah lepas dan hanya inilah yang bisa diperhatikan si perawat yang kehabisan kata-kata.
“Saya hanya berharap, suatu saat nanti akan ada obat atau metode penyembuhannya. Walau mungkin pada saat itu saya sudah… yah, lebih dahulu berpulang.”
Bukan sebuah kata-kata pemanis; Darien sungguh berharap demikian.
Darien tak menghitung detik maupun menit yang berlalu, hanya ia nikmati saja waktunya dengan mendengarkan gemericik air yang berjatuhan dari pancuran di tengah-tengah kolam. Matahari berangsur kian terik, menjadi pengingat untuk kembali ke ruangannya. Tepat saat kursi roda sudah sekian senti di depan pintu, Darien berseri melihat sepasang sosok orang terkasih yang datang menjenguk putranya.
Sebuah vas putih berisikan tulip kuning di atas kabinet menyambut Darien yang tengah dibantu untuk membaringkan tubuhnya kembali di tempat tidur. Ia sapa ayah ibunya dengan senyum lebar dan ucapan-ucapan sederhana seolah semua baik-baik saja.
“Permisi,” seseorang berucap memohon izin untuk memasuki kamar. Ayah Darien menyambutnya, seorang pria berjas putih berusia lima puluh tahunan dengan uban yang hampir menggantikan rambut kepalanya. Ia sapa Darien sambil tersenyum.
“Siang, Dokter Erwin,” balas Darien.
“Bagaimana keadaanmu hari ini?”
“Yah, masih demikian ini, dok. Paling tidak belum muncul nyeri berat lagi.”
Dokter Erwin mengangguk-angguk, senyumnya kian mengembang. “Bagus, bagus. Syukurlah,” ucapnya.
Darien menyadari satu hal tak biasa yang sedang terjadi, maka bertanyalah ia, “Uhm, sebelumnya, bukan apa-apa, dok, tapi… Waktu check-up saya kan masih satu jam lagi?”
“Iya, saya tahu itu, Darien. Jadi, saya kemari untuk menyampaikan kabar baik untukmu. Ada kesempatan bagimu untuk sembuh.”
Sunyi.
“... Sembuh bagaimana, dok?” Ibu Darien bertanya, bingung. “B-bukankah… penyembuhnya—”
“Itu dia, tapi kami… sungguh tak mengiranya. Penelitian untuk cara ini sebenarnya sudah berlangsung lama. Memang belum sempat dipublikasikan, tapi telah ditemukan cara terapi baru. Beberapa waktu lalu ada pasien yang kami rekomendasikan untuk mengikuti terapi itu—dia mengidap distrofi(2) otot—dan dalam waktu kurang dari tujuh bulan kelainan itu hilang secara bertahap. Dari keberhasilan itu, kami merekomendasikan beberapa pasien lain yang memiliki penyakit kronis untuk menjalani terapi yang sama,” terang Dokter Erwin yang kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan singkat cara kerja terapinya.
“Lalu… resiko apa yang mungkin terjadi? Tidak mungkin ini tidak ada resikonya kan, dokter?” kali ini giliran ayah Darien yang bertanya.
Dokter Erwin menjawab setelah menghela nafas, raut mukanya menunjukkan sedikit ketidaknyamanan nampak dari senyuman yang sedikit dipaksakan, “Resiko… Mungkin Darien harus menjalani rehabilitasi. T-tapi saya pikir hal itu takkan terjadi. Darien sudah siap sembuh, kan?”
Lelaki muda lumpuh itu belum merespon apapun sejak dokternya memberinya kabar selain melempar sorot mata mengikuti suara sahut-sahutan percakapan yang ia dengarkan.
Darien hanya ingat dirinya berharap penyembuh itu ada setelah ia tiada. Bukankah seharusnya ia sudah tak berada di sini lagi sejak waktu yang telah lalu dan kemudian baru terwujudlah harapan?
Darien, apa-apaan pikiranmu.
Harapanmu tepat di depan mata.
Tidakkah kau sangat menginginkan dapat kembali menapak lembutnya hamparan rumput hijau dan pelukan lumpur dengan telapak kakimu?
“Darien?” ia dengar ibunya memanggil pelan, terpadu sedikit kekhawatiran di sana.
Tawa singkat menyelip keluar, Darien angkat wajahnya menghadap Dokter Erwin dan berkata, “Tuhan kadang memang suka bertindak secara misterius, ya…”
= = =

Variable X

Case 6: Fate
= = =