Monday, December 14, 2015

Status Report #4: Vices and Virtues

Fay di sini, melapor.

Menyambut story arc baru, mungkin bagian ini yang ditunggu-tunggu...

Pembukaan tirai tokoh utama Variable X !!!

Kiri ke kanan: Gamananda Agastya (Gama), Bramantya Wijaya (Bram), Yudhistira Banyu Pradana (Dana),
Nicolaas Hendriksen (Nico), Willem, Daniel Dimara (Daniel), Prawira Dimas Prakoso (Wira), Rezaditya Garuda (Reza)




Kiri ke kanan: Osvaldo Tanubrata (Aldo), Venndra Kanigara (Venndra), Adrian Adinata Anmar (Adrian),
Rhadeya Ali Surya (Surya), Rico Hendriksen (Rico), Dewika Kirana (Kirana), Theodorus Mahardika (Theo)

Well, then! Sebelumnya, makasih lagi buat Mimin Beruang yang udah ngijinin karakternya jadi aktor (??) di cerita ini!

Case 12 is coming up dalam waktu mungkin kurang lebih dua-tiga minggu ke depan karena author mau sibuk beres-beres kuliah dulu. Final project dan UAS menunggu~

Makasih buat kawan-kawan pembaca yang udah nyimak sampai sejauh ini! Stay tuned for the next update. ;)


+ + + + + + +

@F_Crosser | @agonps

+ + + + + + +

Saturday, December 12, 2015

Character Files #3: Willem

Willem


Usia:
37 tahun
Pekerjaan:
Pimpinan peneliti Paramayodya
Tinggi:
176 cm


Willem adalah salah satu dari tokoh utama Variable X.

Sang pencetus teori penulisan ulang DNA yang menjadi dasar dimulainya Homunculus Project. Seorang peneliti yang mengabdikan diri sepenuhnya pada ilmu pengetahuan, hingga memutuskan untuk tak membangun keluarga. Relasi terdekatnya dengan Gama, teman semasa menempuh pendidikan, juga relasi dengan rekan jeniusnya Venndra.

Seorang jenius yang ingin hidupnya segera terpenuhi tanpa banyak pengorbanan karena baginya, teknologi adalah ciptaan manusia untuk memudahkan hidup. Dengan kecerdasan dan orang-orang terpercaya yang dimilikinya, ia percaya bisa segera mencapainya. Master mind, ia menganggap dirinya sendiri demikian.

Tuesday, December 8, 2015

Case #11

Sepatu bot lelaki bersurai kelabu itu mengetuk-ketuk lantai dengan ajek. Gelisah. Duduk di kursi panjang dari logam, ia tampak ragu. Satu per satu orang di sebelahnya bergeser, yang ada di ujung satunya berdiri dan masuk ke ruangan begitu namanya disebut.
“Kalau saja si brengsek itu ada di sini,” gumam Arya sambil mengepalkan tangannya.
“Siapa? Dana?” Suara berat yang familiar terdengar mendekat. Pria kecil itu menoleh dan didapatinya si partner yang berjalan dengan seringai. Penampilannya sedikit berbeda dengan biasanya mengingat ini adalah pakaian tugas. Jaket kulit yang biasa ia pakai digantikan dengan rompi hitam, tak lagi mengenakan kaos di dalam melainkan baju putih berkerah tinggi yang lengan panjangnya sengaja ia gulung sampai siku. Bawahannya berupa setelan celana panjang berwarna senada serta sepasang sepatu bot tentara hitam yang membungkus kaki hingga betis.
“Hai, keparat. Nampaknya kau sedang senang,” Arya berkomentar melihat Wira bersandar di tembok dengan ekspresi sumringah. Tidak biasanya bocah temperamental ini menyunggingkan senyum lebar di bibirnya. Hanya ada dua hal yang bisa membawa ekspresi itu terpasang pada wajah Wira: saat sedang menghajar lawan yang menarik atau ada kabar bagus dari gurunya, Dana.
“Coba tebak, cebol.”
“Tidak perlu, langsung tepat sasaran. Dana meminta pada Pak Gama untuk menginjeksi kita dengan chip yang sama, yang kau dan Dana miliki.”
“Hampir tepat, kurcaci.”
Arya menghela napas. “Kesenangan yang meluap-luap karena kita akan segera menghajar Pesisir Utara?”
“Heh. Tumben cerdas.” Wira tertawa sambil memukul kepala Arya dengan telapak tangannya. Beberapa kali, hingga akhirnya Arya mendorong partnernya sedikit menjauh. Wira lalu bergumam, “Plus, para Veteran akan ikut serta.”
“Tidak kusangka, bos proyek ini benar-benar menepati janjinya pada Dana.” gumam Arya. Sebenarnya dirinya sendiri masih ragu, apakah kelompok mereka benar-benar diberikan kekuatan ini secara cuma-cuma, atau mereka hanya akan berakhir menjadi tikus percobaan dan monster tak berakal. Arya juga menduga, Dana pasti juga bercerita mengenai rencananya untuk berperang melawan kelompok Pesisir Utara. Karena tanpa alasan kuat itu, tidak mungkin para anggota Laut Selatan diperbolehkan memiliki chip yang diproduksi hanya untuk mereka.
“Pak Gama benar-benar murah hati,” Wira memulai. “Bahkan ia bersedia membuatkan kita chip pengembangan khusus yang kekuatannya didasarkan pada kekuatanku dan Dana.” Arya menoleh ke Wira, asap tipis terlihat mengepul dari sudut bibirnya. “Heh, menarik. Kira-kira mereka akan memilih yang mana ya...” Wira menatap ke arah rekan-rekannya yang nampak antusias menunggu di antrian.
Arya mengikuti arah pandang Wira. “Chip dengan kode pengembangan EXT616, huh? Well, aku tidak berharap banyak terhadap kondisi mental mereka nantinya,” ia bergumam.
“Hei, makanya ingat cita-citamu kalau tidak ingin berakhir jadi mereka yang ada di bawah sana.”
“Cita-cita apaan. Kemarahan, untuk kasusmu. Omong-omong gimana tugasmu hari ini, brengsek? Sudah menghajar satu atau dua monster itu?” Kekehan pelan muncul dari pria iris kuning itu.
“Ck. Dua truk sudah kupenuhi dan masih ada tiga lagi. Yang lain sedang berjaga, beberapa minta diinjeksi sekarang, makanya aku sekalian mampir ke sini. Oh ya, kau giliran terakhir omong-omong.”
“Aku tahu, bodoh.” Arya menunduk menatap lantai. Ia teringat saudara kembar perempuannya. Loyalitasnya lebih penting, akan dipertanyakan jika tangan kanan seorang Setan Merah justru menolak rencana ini. Demi pekerjaan, apa boleh buat?
“Kenapa kusut begitu? Santai. Khusus buatmu, kau akan memperoleh dua tipe sekaligus. Milikku dan Dana.”
“A-apa?”
Pintu ruang medis terbuka dan sorakan diteriakkan oleh anak buah Arya, ternyata Trio Arab Bersaudara itu baru saja menyelesaikan tahapan injeksi mereka. Mereka disambut meriah layaknya bintang ternama.
“Bagaimana sensasinya, Fahri? Menyenangkan? Perawatnya cantik?” tanya seorang kepada pemuda ramping berhoodie tersebut.
“Dasar bodoh.” Ia memutar bola matanya. “Tentu saja perawatnya cantik!” Sontak sorakan riuh rendah dilontarkan. “Yah, walau sedikit pegal,” ia mengedikkan lehernya.
“Apa hubungannya, dasar cecunguk,” cibir Wira pelan.
“Raihan, apa komentarmu? Katakan pada mereka dengan jelas,” sambung Fahri sambil menarik turun kefiyeh kota-kotak saudara tuanya itu. Audiens tertawa terbahak melihat ulah si anak tengah.
Buru-buru Raihan membenarkan penutup wajahnya, “B-brengsek!” umpatnya pada si hoodie yang kemudian menghindar dari sabetan tangan kakaknya.
“E-ehm, di dalam tadi, tidak menyakitkan. Sungguh. Kecuali saat pembiusan dan penanaman chip.”
“Itu berarti prosesnya sakit semua, bodoh.” Si kupluk, yang paling muda, kini angkat bicara. “Lagipula setelah diberi anastesi, kalian tidak akan kesakitan. Raihan saja yang penakut.”
Bibir Raihan terbuka hendak mengeluarkan makian balasan, sayang harus tertahan ketika nama terakhir dalam antrian pun disebutkan.
“Arya Egisetya?”
Ia menelan ludah.
“Ayo.” Satu tamparan ringan pada punggung Arya dari Wira sedikit membantu pria kecil itu untuk memberanikan diri.
Hanya satu kata saja yang ia pegang: Setia.
Satu helaan napas, Arya berjalan masuk ke dalam ruangan, diiringi dengan tatapan anak buahnya yang lain.
Begitu masuk, ia disambut oleh beberapa petugas medis dan staf Paramayodya yang lalu mengkonfirmasi identitas Arya dengan daftar dari basis data organisasi. Setelah Arya berganti pakaian dengan pakaian untuk operasi, ia dipersilahkan untuk berbaring telungkup di sebuah tempat tidur medis. Dekat tempat tidur tersebut terdapat mesin bedah robotik, seorang staf mengoperasikan di baliknya.
Kedua kaki dan tangan pria kecil itu lalu diikat dengan sabuk karet. Telinganya mendengar mesin bedah yang mulai dijalankan. Ia menarik napas dalam-dalam.
Ini dia, ucapnya dalam hati.
Rentetan pemindaian ia lewati, memastikan Arya berada pada kondisi prima. Matanya sengaja ia tutup, cukup dengan telinganya ia mengikuti prosedur demi prosedur.
“Tubuh bioplasma stabil, subjek siap. Inisiasi implan chip kode EXT616-09.”
.
Minta maaflah kepada Rengganis setelah ini.
.

= = =

Variable X

Case 11: Recall

= = =