Monday, December 14, 2015

Status Report #4: Vices and Virtues

Fay di sini, melapor.

Menyambut story arc baru, mungkin bagian ini yang ditunggu-tunggu...

Pembukaan tirai tokoh utama Variable X !!!

Kiri ke kanan: Gamananda Agastya (Gama), Bramantya Wijaya (Bram), Yudhistira Banyu Pradana (Dana),
Nicolaas Hendriksen (Nico), Willem, Daniel Dimara (Daniel), Prawira Dimas Prakoso (Wira), Rezaditya Garuda (Reza)




Kiri ke kanan: Osvaldo Tanubrata (Aldo), Venndra Kanigara (Venndra), Adrian Adinata Anmar (Adrian),
Rhadeya Ali Surya (Surya), Rico Hendriksen (Rico), Dewika Kirana (Kirana), Theodorus Mahardika (Theo)

Well, then! Sebelumnya, makasih lagi buat Mimin Beruang yang udah ngijinin karakternya jadi aktor (??) di cerita ini!

Case 12 is coming up dalam waktu mungkin kurang lebih dua-tiga minggu ke depan karena author mau sibuk beres-beres kuliah dulu. Final project dan UAS menunggu~

Makasih buat kawan-kawan pembaca yang udah nyimak sampai sejauh ini! Stay tuned for the next update. ;)


+ + + + + + +

@F_Crosser | @agonps

+ + + + + + +

Saturday, December 12, 2015

Character Files #3: Willem

Willem


Usia:
37 tahun
Pekerjaan:
Pimpinan peneliti Paramayodya
Tinggi:
176 cm


Willem adalah salah satu dari tokoh utama Variable X.

Sang pencetus teori penulisan ulang DNA yang menjadi dasar dimulainya Homunculus Project. Seorang peneliti yang mengabdikan diri sepenuhnya pada ilmu pengetahuan, hingga memutuskan untuk tak membangun keluarga. Relasi terdekatnya dengan Gama, teman semasa menempuh pendidikan, juga relasi dengan rekan jeniusnya Venndra.

Seorang jenius yang ingin hidupnya segera terpenuhi tanpa banyak pengorbanan karena baginya, teknologi adalah ciptaan manusia untuk memudahkan hidup. Dengan kecerdasan dan orang-orang terpercaya yang dimilikinya, ia percaya bisa segera mencapainya. Master mind, ia menganggap dirinya sendiri demikian.

Tuesday, December 8, 2015

Case #11

Sepatu bot lelaki bersurai kelabu itu mengetuk-ketuk lantai dengan ajek. Gelisah. Duduk di kursi panjang dari logam, ia tampak ragu. Satu per satu orang di sebelahnya bergeser, yang ada di ujung satunya berdiri dan masuk ke ruangan begitu namanya disebut.
“Kalau saja si brengsek itu ada di sini,” gumam Arya sambil mengepalkan tangannya.
“Siapa? Dana?” Suara berat yang familiar terdengar mendekat. Pria kecil itu menoleh dan didapatinya si partner yang berjalan dengan seringai. Penampilannya sedikit berbeda dengan biasanya mengingat ini adalah pakaian tugas. Jaket kulit yang biasa ia pakai digantikan dengan rompi hitam, tak lagi mengenakan kaos di dalam melainkan baju putih berkerah tinggi yang lengan panjangnya sengaja ia gulung sampai siku. Bawahannya berupa setelan celana panjang berwarna senada serta sepasang sepatu bot tentara hitam yang membungkus kaki hingga betis.
“Hai, keparat. Nampaknya kau sedang senang,” Arya berkomentar melihat Wira bersandar di tembok dengan ekspresi sumringah. Tidak biasanya bocah temperamental ini menyunggingkan senyum lebar di bibirnya. Hanya ada dua hal yang bisa membawa ekspresi itu terpasang pada wajah Wira: saat sedang menghajar lawan yang menarik atau ada kabar bagus dari gurunya, Dana.
“Coba tebak, cebol.”
“Tidak perlu, langsung tepat sasaran. Dana meminta pada Pak Gama untuk menginjeksi kita dengan chip yang sama, yang kau dan Dana miliki.”
“Hampir tepat, kurcaci.”
Arya menghela napas. “Kesenangan yang meluap-luap karena kita akan segera menghajar Pesisir Utara?”
“Heh. Tumben cerdas.” Wira tertawa sambil memukul kepala Arya dengan telapak tangannya. Beberapa kali, hingga akhirnya Arya mendorong partnernya sedikit menjauh. Wira lalu bergumam, “Plus, para Veteran akan ikut serta.”
“Tidak kusangka, bos proyek ini benar-benar menepati janjinya pada Dana.” gumam Arya. Sebenarnya dirinya sendiri masih ragu, apakah kelompok mereka benar-benar diberikan kekuatan ini secara cuma-cuma, atau mereka hanya akan berakhir menjadi tikus percobaan dan monster tak berakal. Arya juga menduga, Dana pasti juga bercerita mengenai rencananya untuk berperang melawan kelompok Pesisir Utara. Karena tanpa alasan kuat itu, tidak mungkin para anggota Laut Selatan diperbolehkan memiliki chip yang diproduksi hanya untuk mereka.
“Pak Gama benar-benar murah hati,” Wira memulai. “Bahkan ia bersedia membuatkan kita chip pengembangan khusus yang kekuatannya didasarkan pada kekuatanku dan Dana.” Arya menoleh ke Wira, asap tipis terlihat mengepul dari sudut bibirnya. “Heh, menarik. Kira-kira mereka akan memilih yang mana ya...” Wira menatap ke arah rekan-rekannya yang nampak antusias menunggu di antrian.
Arya mengikuti arah pandang Wira. “Chip dengan kode pengembangan EXT616, huh? Well, aku tidak berharap banyak terhadap kondisi mental mereka nantinya,” ia bergumam.
“Hei, makanya ingat cita-citamu kalau tidak ingin berakhir jadi mereka yang ada di bawah sana.”
“Cita-cita apaan. Kemarahan, untuk kasusmu. Omong-omong gimana tugasmu hari ini, brengsek? Sudah menghajar satu atau dua monster itu?” Kekehan pelan muncul dari pria iris kuning itu.
“Ck. Dua truk sudah kupenuhi dan masih ada tiga lagi. Yang lain sedang berjaga, beberapa minta diinjeksi sekarang, makanya aku sekalian mampir ke sini. Oh ya, kau giliran terakhir omong-omong.”
“Aku tahu, bodoh.” Arya menunduk menatap lantai. Ia teringat saudara kembar perempuannya. Loyalitasnya lebih penting, akan dipertanyakan jika tangan kanan seorang Setan Merah justru menolak rencana ini. Demi pekerjaan, apa boleh buat?
“Kenapa kusut begitu? Santai. Khusus buatmu, kau akan memperoleh dua tipe sekaligus. Milikku dan Dana.”
“A-apa?”
Pintu ruang medis terbuka dan sorakan diteriakkan oleh anak buah Arya, ternyata Trio Arab Bersaudara itu baru saja menyelesaikan tahapan injeksi mereka. Mereka disambut meriah layaknya bintang ternama.
“Bagaimana sensasinya, Fahri? Menyenangkan? Perawatnya cantik?” tanya seorang kepada pemuda ramping berhoodie tersebut.
“Dasar bodoh.” Ia memutar bola matanya. “Tentu saja perawatnya cantik!” Sontak sorakan riuh rendah dilontarkan. “Yah, walau sedikit pegal,” ia mengedikkan lehernya.
“Apa hubungannya, dasar cecunguk,” cibir Wira pelan.
“Raihan, apa komentarmu? Katakan pada mereka dengan jelas,” sambung Fahri sambil menarik turun kefiyeh kota-kotak saudara tuanya itu. Audiens tertawa terbahak melihat ulah si anak tengah.
Buru-buru Raihan membenarkan penutup wajahnya, “B-brengsek!” umpatnya pada si hoodie yang kemudian menghindar dari sabetan tangan kakaknya.
“E-ehm, di dalam tadi, tidak menyakitkan. Sungguh. Kecuali saat pembiusan dan penanaman chip.”
“Itu berarti prosesnya sakit semua, bodoh.” Si kupluk, yang paling muda, kini angkat bicara. “Lagipula setelah diberi anastesi, kalian tidak akan kesakitan. Raihan saja yang penakut.”
Bibir Raihan terbuka hendak mengeluarkan makian balasan, sayang harus tertahan ketika nama terakhir dalam antrian pun disebutkan.
“Arya Egisetya?”
Ia menelan ludah.
“Ayo.” Satu tamparan ringan pada punggung Arya dari Wira sedikit membantu pria kecil itu untuk memberanikan diri.
Hanya satu kata saja yang ia pegang: Setia.
Satu helaan napas, Arya berjalan masuk ke dalam ruangan, diiringi dengan tatapan anak buahnya yang lain.
Begitu masuk, ia disambut oleh beberapa petugas medis dan staf Paramayodya yang lalu mengkonfirmasi identitas Arya dengan daftar dari basis data organisasi. Setelah Arya berganti pakaian dengan pakaian untuk operasi, ia dipersilahkan untuk berbaring telungkup di sebuah tempat tidur medis. Dekat tempat tidur tersebut terdapat mesin bedah robotik, seorang staf mengoperasikan di baliknya.
Kedua kaki dan tangan pria kecil itu lalu diikat dengan sabuk karet. Telinganya mendengar mesin bedah yang mulai dijalankan. Ia menarik napas dalam-dalam.
Ini dia, ucapnya dalam hati.
Rentetan pemindaian ia lewati, memastikan Arya berada pada kondisi prima. Matanya sengaja ia tutup, cukup dengan telinganya ia mengikuti prosedur demi prosedur.
“Tubuh bioplasma stabil, subjek siap. Inisiasi implan chip kode EXT616-09.”
.
Minta maaflah kepada Rengganis setelah ini.
.

= = =

Variable X

Case 11: Recall

= = =

Saturday, November 21, 2015

Case #10

Alunan blues yang familiar mengisi bar dari pengeras suara di tiap pojok ruangan. Ramai dan tenang seperti biasa, pelayan berlalu-lalang mengantarkan minuman kepada pelangannya yang berkumpul di mejanya masing-masing atau mereka yang menyendiri, merapat di sisi ruangan. Atraksi lincah tangan-tangan para bartender di balik konter menjadi penghibur di akhir hari yang melelahkan.
B&D’s Star. Saya sampai rela pulang kerja duluan demi minuman yang satu ini,” ucap salah satu pelanggan yang duduk pada kursi konter.
Hari ini berbeda. Yang terlihat di tempat Rengganis biasanya, kini ada satu lagi bartender baru—tidak baru juga karena ia hanya muncul tiap dua minggu sekali, menyajikan menu khas dari racikan tangannya sendiri. Seorang wanita berusia sekitar dua puluh tiga tahunan, berparas anggun dengan surai cokelat kepirangan panjang yang diikat ekor kuda, pada masing-masing telinganya digantungi anting gelang dari perak. Kalung mutiara melingkari kerah kemeja putih dibawah rompi hitam beludrunya. Sepasang iris biru pucat berkilat layaknya baja.
Tentunya boleh untuk sesekali seorang manajer terjun ke lapangan menikmati asyiknya mengocok cocktail.
“Menu spesial dua mingguan. Seperti biasa.” Seulas senyum tipis mengembang di bibir pria lain dengan surai gelap berjas kelabu panjang yang menghampiri konter, cahaya lampu menampakkan kilatan biru pada tiap helaiannya. Wanita itu mengalihkan pandangannya pada tamu yang ia tunggu, dua pasang piringan biru baja kembar bertemu.
“Naharis,” sebut Dania. Tangannya kemudian dengan cekatan menuangkan cocktail ke gelas kemudian menghidangkannya di hadapan pria tersebut. “Kukira kamu akan lupa,” ucap Dania.
“Tidak, tidak. Aku tidak akan melewatkan kesempatan seperti ini,” balas Naharis yang kemudian mengambil gelas cocktail spesialnya. “Cheers.”
Dania tertawa kecil. Pria ini tak banyak berubah, pikirnya.
Apakah rasa yang terbersit di hati pria ini juga masih sama seperti dulu?
Dania menggelengkan kepalanya. Naharis yang baru meminum setengah dari gelasnya kemudian mengangkat satu alisnya saat sekejap menangkap gelagat tak biasa dari Dania.
“Apa? Mengangkat alismu seperti itu... Apa ada yang aneh?” Dania melipat kedua tangannya di atas meja konter tepat di hadapan Naharis.
“Tidak. Kamu...” Naharis melihat kiri dan kanan dengan canggung lalu berbisik, “Kamu tampak luar biasa. Tak banyak berubah.” Di bibir wanita itu kemudian terselip tawa pelan, sementara Naharis berusaha menahan senyum canggungnya.
“Nahar, apa di kantormu tidak ada wanita cantik lain yang bisa kamu goda?” balas Dania.
“M-menggoda? A-aku memujimu tahu, bukan menggoda. Bukan,” ungkap Naharis kaku sebelum menyisip minumannya lagi. “Lagipula, departemenku gersang. Tahu maksudku, kan? Aku masih normal.”
Kembali tawa pendek terselip. “Aku tahu, aku tahu. Maka dari itu kamu ke sini kan? Untuk mencari wanita-wanita itu?”
Alis tebal Naharis terangkat sebelah. “Sembarangan, kamu membuatku terdengar seperti pria hidung belang. Enak saja.”
“Lalu? Apa kamu ingin kukenalkan dengan bartenderku?” Kini Dania menopang dagu, semakin dekat jarak wajahnya dengan Naharis.
“Tidak, terima kasih. Cukup lah, bertemu dengan bartender istimewa yang ada di hadapanku ini. Aku sudah senang.”
Dania mengalihkan pandangan, senyum getir terbentuk di bibirnya. Satu pelanggan lagi meminta menu yang sama darinya, maka ia tinggalkan Naharis sejenak untuk mempersiapkan pesanan sambil membatin kalimat yang barusan ia dengar.
Di pojok pandangannya, ia lihat Naharis sedang melepas jaketnya, memperlihatkan kemeja putih lengan panjang yang kemudian ditekuk hingga di atas siku. Dania baru menyadari ada sesuatu yang berbeda.
Selesai dengan pesanannya, ia kembali menghampiri Naharis. “Jadi… ini alasanmu menghilang beberapa minggu ini?” tanya Dania hati-hati, pandangan mengarah pada lengan kiri Naharis yang tak lagi tersusun atas tulang berbalut daging dibawah lapisan kulit. Lengan artifisial, berkulit putih keras dari logam ringan dengan sendi-sendi mekanikal.
“Begitulah, kecelakaan kerja,” ucap Naharis yang kemudian menepuk lengan bionik-nya(1). “Tapi rasanya tak jauh berbeda dengan lengan sebenarnya, kok.” Pria itu tertawa kecil.
“Kenapa kamu tidak bercerita padaku?” ucap Dania sembari perlahan menyentuh punggung tangan logam milik Naharis. Seakan ingin menggenggam namun ragu.
“Uh… belum… sempat? Entahlah. Selesai fase penyesuaian aku langsung diminta mengerjakan proyek lagi.”
Dania mengangguk pelan, tidak menyangka Naharis sampai begini karena pekerjaannya. Bongkar-pasang, merancang, membuat ini dan itu untuk kemudahan orang banyak di bawah bendera IO Technologies. Ia genggam tangan kiri pria itu. Dingin. Namun tidak sedingin sepasang piringan biru yang kini kembali beradu dengan iris peraknya.
“Bram apa kabar?” Naharis memulai.
“Kamu bukannya sering bertemu dengannya di kantor?”
“Kata siapa? Terakhir ketemu dua bulan lalu, dua hari setelah lenganku ini tersiram air keras.”
Sekali detakan keras menyesakkan dada Dania. “Bram… Demikianlah,” ucapnya.

= = =

Variable X

Case 10: The Curse

= = =



Sunday, November 8, 2015

Case #9.2

Jemari pemuda berambut pirang itu menari di atas keyboard laptopnya. Terkadang ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kata demi kata ia rangkai dan ketikkan. Jendela tampilan pada layar berganti-ganti, ia sedang menulis laporan mengenai program sistem distribusi yang dia bersama beberapa rekan timnya kerjakan. Sembari serangkai jemari satu tangan sibuk dengan aktivitasnya, tangan lainnya sesekali meraih segelas besar softdrink keempatnya di sore ini.
Tunggu.
Yang keempat.

Ia menatap gelas besar yang kini tinggal terisi seperlimanya. Sepasang manik keperakan itu lalu melirik ke sisi meja yang lain, ditiga gelas styrofoam kosong dan lima bungkus cheeseburger yang sudah habis ia lahap. Aneh, tiada rasa puas. Tak ada kenaikan berat badan pula. Mendadak nyeri sekilas pada tengkuk itu kembali muncul, seperti yang sudah-sudah.
Tiga hari Nico mengalaminya. Seharusnya ini tidak normal… kan?
Tiba-tiba perutnya berbunyi lagi. Baru saja setengah jam lalu ia menghabiskan makanan kesukaannya. Ia mengelus perutnya dan beranjak ke dapur, pikiran teralihkan dari pekerjaannya. Pintu kulkas dibukanya sedikit tak sabar. Meski sudah menyisakan banyak ruang kosong, itu tak mencegah Nico untuk mengambil sisa makanan kecil yang tersisa.
Setengah sadar, ia jilat bibirnya sendiri. Tak mungkin menyelesaikan pekerjaan dalam kondisi perut kosong.
Benar-benar kosong, seolah apapun yang dimakannya justru jatuh ke dalam lubang tak berdasar.


= = =

Variable X

Case 9.2: Vices II

= = =

Wednesday, October 14, 2015

Case #9.1

Balok-balok es berdenting menyentuh tepian gelas kecil, mengapung pada cairan bening keemasan tipis. Tegukan terakhir, Arya menaruh gelasnya yang dingin dan basah, ia mendecakkan bibir.
“Masih kurang?” si gadis bartender bersurai kelabu berkata, tangannya hendak mengambilkan botol lain untuk dituangkan.
Isyarat satu tangan dari Arya. “Nggak, udah cukup,” ucap pria kecil berjaket kulit itu kemudian menaruh kepalanya di tepi meja bar. Musik blues mengalun pelan memasuki telinganya.
“Kenapa? Masalah kerjaan?” Rengganis mengambil gelas kosong dan mengelapnya.
“Uhh… Yang masalah bukan kerjaannya sih.”
“Kamu berantem lagi sama… Siapa? Bocah dekil berambut gelap itu?”
“Wira.”
“Nah, iya?”
“Nggak. Aku malah khawatir sama dia.”
Rengganis mengangkat satu alisnya, tangannya selesai mengelap satu gelas dan segera mengambil yang lainnya. “Kamu khawatir kenapa?”
Arya mengangkat kepalanya, menatap ke wajah saudari kembarnya kemudian menaruh lagi dagunya di meja.
“Wira sama Dana aneh akhir-akhir ini. Si Wira sering bicara sendiri, kadang ngelempar barang ke tembok padahal nggak ada apa-apa. Yah… walau dia emang indigo, tetap lah… Selama ini Wira nggak pernah sampai segitunya.”
“Terus? Kalau si bos?”
“Dana… Ehm, dia...” Arya menjilat bibirnya, menegakkan punggung dengan canggung. Matanya melirik sana-sini mencoba mencari kata-kata yang mungkin sedikit lebih nyaman untuk diperdengarkan.
“Jangan-jangan… Main cewek, ya?” tebak Rengganis, satu alisnya naik menyelidik.
Arya mengibaskan tangan. “Ah, udah dari dulu. Tapi kali ini… yang dia bayangkan... beda.”
“Hah?”
Arya menelan ludah, nada bicaranya bergetar, “C-c-ce-cewek mana coba, yang punya nama… A-A-Adrian?!”
Rengganis spontan melayangkan tangan menutupi bibirnya, lekuk pipi jelas menunjukkan dirinya menahan tawa yang berusaha meledak. “K-kamu nguping?! J-jadi selama ini—” kekehnya.
“L-l-lupakan, lupakan!” Arya mengibas-ibaskan kedua tangan sebelum ia sembunyikan muka pada telapaknya. Ia bergidik, geli rasanya. Teringat ketika ia tak sengaja mendengar suara-suara aneh dari dalam kantor si rambut merah saat akan menuju gudang. Iseng, ia dekati pintu dan menempelkan kupingnya ke sana. Nama tertentu itu seolah mengalir tanpa hambatan.
Yang jelas-jelas bukan nama seorang wanita, batin Arya. Manik matanya melihat Rengganis yang matanya mulai berair dan wajahnya memerah, masih menahan tawa.
“Ooohh, diamlah! S-semua orang pernah nggak sengaja nguping, kan?!” gerutu Arya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Hampir seluruh pasang mata di ruangan itu mengarah pada Rengganis yang akhirnya tertawa lepas, geli akan wajah saudaranya yang begitu canggung. Juga, ia geli mendengar cerita Arya yang secara tidak langsung mengatakan bahwa bosnya, Dana si Setan Merah, adalah seorang yang orientasinya berseberangan dengan orang biasa.
Kekehan Rengganis dengan sabar Arya tunggu hingga selesai, sambil menunggu ia meletakkan kepalanya kembali ke meja.
“Udah?”
“Hehe... U-udah.” Rengganis terbatuk sebentar sambil mengelap air mata yang menggenang di sudut matanya karena terlalu banyak tertawa.
“Kemudian, Wira ini...”
“Pacarmu?”
PARTNER. Ehm, dia semakin sering marah-marah. Well, sekarang Raihan udah jadi salah satu korban amukannya.”
Rengganis kemudian mengangguk-angguk, terbayang kemampuan pemuda berkulit sawo matang itu membanting orang dengan begitu mudahnya. Gadis itu melihat sendiri, seberapa destruktif kekuatan rekan Arya saat dua orang itu berkelahi di tempat kerjanya.
“Bocah itu makin merusak saja akhir-akhir ini,” Arya menghela napas lelah. “Pernah dia sampai menjebol dermaga yang di dekat gudang. Pasti efek chip itu udah muncul...”
“Chip—oh… Terapi kesehatan Paramayodya yang sering disiarkan itu,” sahut Rengganis sambil mengelap gelas.
“Itu bukan alat terapi kesehatan,” balas Arya lirih.
Jeda sekian detik. “Bukan?”
Saudara lelakinya menatap lurus Rengganis, sorot yang menyiratkan kecemasan menemani kalimat setelah itu yang hanya bisa didengar keduanya saja. “Chip itu merubah orang, Nis. Permanen. Luar-dalam.”
Gadis itu terdiam, ia letakkan hati-hati gelas besar yang dipegangnya pada meja bar. “Luar-dalam maksudnya? Kamu bercanda,” ucapnya.
Arya hanya diam, tak melepas fokus matanya sekecil apapun.
“Kamu serius.”
Sepasang manik keemasan dari si pria kecil menatap ke arah lain, ia bergumam, “Dan nggak akan lama lagi… giliranku dan yang lain-lain.”
Dengusan pelan terselip dari celah bibir Rengganis. Kesal, ia mencondongkan badan di depan saudaranya, kedua lengan yang dilipat menopang tubuhnya di konter bar. “Kamu tahu, Arya?” ia memulai, “Sepulang nanti kita bakal diskusi. Panjang.”


= = =

Variable X

Case 9.1: Vices

= = =

Friday, October 2, 2015

Status Report #3: About Update and Rating Change

Okay, so, ehm.

Agon here reporting.

First, apologize to our dear readers :')

Update Variable X untuk sementara bakal ditunda. Karena, kesibukan kuliah saya (yang mendekati UTS) serta saya dan Mbak Fay juga mempersiapkan untuk event Mangafest.

DON'T WORRY,
Case 9 is in progress.

Oh ya, case ini bakal dibagi jadi 2 bagian. Jadi, mohon menunggu dengan sabar :')

Second, we've decided to change our rating from R15 to 17+.

Kenapa 17+? Kedepannya, setelah kami brainstorming plot bersama, plot diprediksi akan semakin berat dan berbelit. Selain itu, ada beberapa detail yang nampaknya kurang pas untuk konsumsi pembaca mulai usia 15 tahun. Pembaca harus ekstra berpikir untuk mencerna cerita ini.

Ya, pembaca harus lebih kritis :p

Sementara itu yang bisa aku kabarkan ke kalian.

We'll catch up soon! /o/

Agon, dismiss.


+ + + + + +

@F_Crosser | @agonps

+ + + + + +

Tuesday, September 8, 2015

Case #8

Hitam. Kosong. Tiada apapun.
Perih. Terikat.
Dingin.

. . .
“Di mana... aku?” Gama bergumam, berusaha melihat sekelilingnya. Pergelangan tangan dan kakinya perih, sedetik kemudian ia sadar sedang diikat kencang di kursi, tepat pada tengah-tengah ruang gelap yang kosong.
“Selamat datang, Gamananda Agastya.” Sebuah suara lelaki yang begitu familiar ia dengar, beserta langkah kaki yang mendekat dari depannya. Entah dari mana perlahan cahaya mengisi pandangan walau membuat ruangan itu masih remang.
Gama melihat ke bawah, sepasang kaki melangkah muncul dari bayang-bayang. Perlahan matanya menelusur dari ujung kaki orang itu ke atas. Degup jantungnya berhenti sejenak, setelah sekian lama ia temui kembali sepasang iris keemasan bengis yang tertanam di bola mata hitam pada wajahnya sendiri. Surai keperakan menggantikan tempat helaian gelap yang seharusnya berada di sana. Garis-garis pola retakan bercabang berpendar keemasan menghiasi samping muka, leher, turun sampai lengan. Pakaian yang dikenakan pun serupa, seakan ia sedang bercermin.
“Begitu nyata, bukan?” ucap sosok itu kemudian menyeringai tipis.
“Kau iblis… Terakhir kali aku sedang tidur bersama istriku, dan sekarang—”
Satu alis terangkat bersama dengan sebelah sisi bibirnya melengkung naik. “Iblis? Kau yakin mengatai dirimu sendiri demikian?” balas lawan bicaranya. ‘Gama’ tertawa kecil sambil berjalan memutari kursi di mana Gama ditahan. “Tenang. Nana masih di tempat yang sama. Kau juga tidak ke mana-mana, tidak tubuhmu. Hanya pikiranmu yang pergi.”
“Katakan, siapa kau sebenarnya.”
“Aku?” ‘Iblis’ itu berbisik pada telinga Gama, “Aku adalah kau.”
“Jangan bercanda.”
Segera, menjadi dirimu,” desisnya.
Gama meronta berusaha membebaskan tangannya dari ikatan, ingin rasanya ia menghantamkan kepalan tangannya pada sang iblis. Namun daya tubuhnya lari tak tahu di mana. Rasa dingin menusuk mungkin yang membawanya pergi.
“Percuma saja Gama, untuk melawan bawah sadarmu.”
“Bawah sadar…?”
“Benar. Aku adalah manifestasi dari sisi pikiranmu yang lain. Dark side of the moon? Bagian yang tak terlihat dari gunung es?” ucap pria bermata emas itu sambil menyeringai. “Tak apa, kau tak harus mengerti sekarang. Aku membawamu ke sini hanya untuk memberitahu sesuatu.”
“Apa?”
Jemari ‘Gama’ yang lain menyentuh pelipis Gama dan sebuah sensasi dingin, beku mengalir dari pelipis ke seluruh tubuhnya. Telapak tangannya lalu memegangi sisi-sisi kepala Gama.
Keringat dingin mengalir turun, Gama menajamkan sorot mata kelabu bajanya. “A-apa yang akan kau lakukan, brengsek...”
“Ini adalah langkah terakhir dari usahamu menemukan kebenaran yang sudah tepat di depan mata. Tenanglah, ini akan begitu menyenangkan,” bisik sosok itu.
Sekian detik kemudian seluruh tubuh Gama seolah membeku, kaku, tak bisa bergerak. Lidahnya pun kelu, tak bisa berucap kata lagi. Jantungnya berdetak perlahan seakan hawa dingin itu segera membungkusnya menuju tidur panjang. Pembuluh darahnya seakan tak mengalirkan darah lagi, berganti menjadi nitrogen cair.
“Kita mulai saja.”
Tiba-tiba hawa dingin itu berganti menjadi sengatan listrik dengan kekuatan ribuan volt, sengatan yang begitu menyakitkan menusuk setiap inci tubuhnya hingga mungkin tak mampu dibayangkan oleh manusia. Gama berteriak kesakitan, tubuhnya bergetar hebat.
.
“Ini demi dirimu juga, Gama.”
“Kau, tidak—Kita, akan menjadi sesuatu, seseorang yang lebih tinggi dari manusia. Sesuai impianmu.”
.
Gama mengerang dan berteriak semakin keras. Iblis itu tertawa semakin keras sejalan dengan semakin menguatnya setruman yang mengalir dari tangannya ke tubuh Gama. Percikan-percikan listrik menerangi ruangan itu.
.
“Umat manusia akan berevolusi! Dan itu harus dimulai dari kau.”
.
Gama memejamkan mata rapat-rapat, berharap mimpi buruk ini segera berakhir. Giginya bergemeletuk menahan sakit. Ion-ion bermuatan yang tak terhitung itu sudah begitu menyiksa setiap sel tubuhnya. Satu teriakan keras dan tawa puas dari si iblis.
Ia terbangun.
Pukul tiga pagi, angka-angka itu berkedip di jam digital yang terletak di atas duvet kecil samping tempat tidurnya. Sekujur tubuh Gama bersimbah keringat, dingin. Pening ia rasakan dalam kepalanya. Jari tangannya bergerak menuju tengkuk, menyentuh titik bekas injeksi yang kembali terasa nyeri walau sudah dua bulan sejak hari itu berselang.
“Aku harus memeriksakannya hari ini,” gumamnya kemudian beranjak dari tempat tidur. Sejenak ia merasa lega melihat istrinya yang masih terlelap. Ia tidak boleh tahu soal ini, pikir Gama.
Langkahnya meniti lemas, perlahan menuju wastafel dan cermin di kamar mandi. Kedua tangannya bertumpu pada pinggiran keramik putih itu. Menunduk, pikirannya masih tidak fokus—nyatanya sentuhan tangan sosok itu, atmosfer sedingin daratan Siberia pada musim dingin, sengatan yang luar biasa merangsang saraf nyerinya pada mimpi yang tak lagi bisa disebut semu.
Lucu rasanya dirinya masih hidup.
Ia menggeleng, menyentuhkan tangan pada keran otomatis. Air mengalir ia tadahi dengan kedua telapak tangan sebelum ia cipratkan pada muka. Dua tiga kali kemudian, ia angkat wajahnya pada cermin.
Ada yang berbeda.
Warna kelabu irisnya berubah emas, noda hitam nyaris membungkus bagian putih matanya. Beberapa percik putih mengisi pangkal rambut kepala. Gama terhenyak, melangkah mundur hingga punggung membentur tembok.
“Tidak, tidak, tidak. Ini tidak nyata. Aku pasti masih bermimpi,” ucapnya meyakinkan diri sendiri sembari memejamkan mata, napas tak beraturan. Jemarinya menggaruk tembok, kakinya terasa lemas. Ia tundukkan kepalanya, tak ingin melihat ke cermin.
Ketika kembali membuka kelopak matanya, ia masih di tempat yang sama. Perlahan ia angkat wajahnya, tak lagi ia temukan iris emas dan noda hitam yang mengelilinginya. Semua kembali normal. Tangan perlahan menggosok lengannya yang merinding, ia menghela napas.
“Mas? Mas nggak apa-apa?” suara lembut dengan nada khawatir terdengar dari ruang sebelah.
Tentu saja tidak! Batinnya berteriak. Gama justru menyahut dengan tawa kecil, “Enggak! Cuma mimpi buruk… lagi. Beberapa hari ini aku memang kurang istirahat, Dik.”
Gama perhatikan istrinya yang melangkah mendekati bingkai pintu kamar mandi yang terbuka. Keduanya saling berpandangan sampai paras Nana menunjukkan kecemasan. “Mas… Kamu kira aku nggak tahu udah beberapa kali ini terjadi?” Nana bertanya retoris.
Pria bersurai gelap itu menelan ludah, lidahnya kaku. Nana melangkah masuk, berhenti tepat selangkah di depan suaminya. Ia meminta jawaban.
“A-aku…”
Kedua telapak tangan Nana yang lembut menyentuh masing-masing pipi Gama. Manik cokelat kayu itu menatap dalam-dalam manik kelabunya. Dalam hati Gama berharap, warna emas itu tak merubah irisnya lagi.
“Ceritakan padaku, Mas,” Nana meminta pelan.
Tidak, ia takkan bercerita. Karena Gama yakin, ‘hadiah’ yang disebutkan di beberapa laporan hasil eksperimen nampaknya telah mulai muncul pula padanya. Nana tidak boleh tahu jika dirinya sengaja terdaftar sebagai salah satu dari ratusan kelinci percobaan dalam proyeknya.
“Nggak apa-apa, Mas. Aku akan mendengar semuanya.”
Gama menghela napas, mata dipejamkan lalu berkata, “Tidak.”
Dapat Gama rasakan jelas getaran yang sepersekian detik mengalir ke telapak Nana, disusul istrinya yang tiba-tiba memekik dan menarik tangannya cepat-cepat. Jarak sepasang kekasih itu pun kembali melebar. Reflek, Gama hendak meraih istrinya kembali namun tertahan saat diketahui Nana kini tengah memeluk tubuhnya sendiri, gemetar, menatap kaget suaminya… dan takut.
“Aa-a-aku lagi nggak ngimpi juga, kan… Mas?”
“... Hah?”
“B-barusan… a-a-aku… ke-kesetrum?”

Ini buruk. Satu senyuman canggung merekah pada bibir Gama, ia lalu berkata pada istrinya, “Ayo tidur lagi. Mimpinya hampir selesai.”

= = =

Variable X

Case 8: Dreams

= = =