Tuesday, September 8, 2015

Case #8

Hitam. Kosong. Tiada apapun.
Perih. Terikat.
Dingin.

. . .
“Di mana... aku?” Gama bergumam, berusaha melihat sekelilingnya. Pergelangan tangan dan kakinya perih, sedetik kemudian ia sadar sedang diikat kencang di kursi, tepat pada tengah-tengah ruang gelap yang kosong.
“Selamat datang, Gamananda Agastya.” Sebuah suara lelaki yang begitu familiar ia dengar, beserta langkah kaki yang mendekat dari depannya. Entah dari mana perlahan cahaya mengisi pandangan walau membuat ruangan itu masih remang.
Gama melihat ke bawah, sepasang kaki melangkah muncul dari bayang-bayang. Perlahan matanya menelusur dari ujung kaki orang itu ke atas. Degup jantungnya berhenti sejenak, setelah sekian lama ia temui kembali sepasang iris keemasan bengis yang tertanam di bola mata hitam pada wajahnya sendiri. Surai keperakan menggantikan tempat helaian gelap yang seharusnya berada di sana. Garis-garis pola retakan bercabang berpendar keemasan menghiasi samping muka, leher, turun sampai lengan. Pakaian yang dikenakan pun serupa, seakan ia sedang bercermin.
“Begitu nyata, bukan?” ucap sosok itu kemudian menyeringai tipis.
“Kau iblis… Terakhir kali aku sedang tidur bersama istriku, dan sekarang—”
Satu alis terangkat bersama dengan sebelah sisi bibirnya melengkung naik. “Iblis? Kau yakin mengatai dirimu sendiri demikian?” balas lawan bicaranya. ‘Gama’ tertawa kecil sambil berjalan memutari kursi di mana Gama ditahan. “Tenang. Nana masih di tempat yang sama. Kau juga tidak ke mana-mana, tidak tubuhmu. Hanya pikiranmu yang pergi.”
“Katakan, siapa kau sebenarnya.”
“Aku?” ‘Iblis’ itu berbisik pada telinga Gama, “Aku adalah kau.”
“Jangan bercanda.”
Segera, menjadi dirimu,” desisnya.
Gama meronta berusaha membebaskan tangannya dari ikatan, ingin rasanya ia menghantamkan kepalan tangannya pada sang iblis. Namun daya tubuhnya lari tak tahu di mana. Rasa dingin menusuk mungkin yang membawanya pergi.
“Percuma saja Gama, untuk melawan bawah sadarmu.”
“Bawah sadar…?”
“Benar. Aku adalah manifestasi dari sisi pikiranmu yang lain. Dark side of the moon? Bagian yang tak terlihat dari gunung es?” ucap pria bermata emas itu sambil menyeringai. “Tak apa, kau tak harus mengerti sekarang. Aku membawamu ke sini hanya untuk memberitahu sesuatu.”
“Apa?”
Jemari ‘Gama’ yang lain menyentuh pelipis Gama dan sebuah sensasi dingin, beku mengalir dari pelipis ke seluruh tubuhnya. Telapak tangannya lalu memegangi sisi-sisi kepala Gama.
Keringat dingin mengalir turun, Gama menajamkan sorot mata kelabu bajanya. “A-apa yang akan kau lakukan, brengsek...”
“Ini adalah langkah terakhir dari usahamu menemukan kebenaran yang sudah tepat di depan mata. Tenanglah, ini akan begitu menyenangkan,” bisik sosok itu.
Sekian detik kemudian seluruh tubuh Gama seolah membeku, kaku, tak bisa bergerak. Lidahnya pun kelu, tak bisa berucap kata lagi. Jantungnya berdetak perlahan seakan hawa dingin itu segera membungkusnya menuju tidur panjang. Pembuluh darahnya seakan tak mengalirkan darah lagi, berganti menjadi nitrogen cair.
“Kita mulai saja.”
Tiba-tiba hawa dingin itu berganti menjadi sengatan listrik dengan kekuatan ribuan volt, sengatan yang begitu menyakitkan menusuk setiap inci tubuhnya hingga mungkin tak mampu dibayangkan oleh manusia. Gama berteriak kesakitan, tubuhnya bergetar hebat.
.
“Ini demi dirimu juga, Gama.”
“Kau, tidak—Kita, akan menjadi sesuatu, seseorang yang lebih tinggi dari manusia. Sesuai impianmu.”
.
Gama mengerang dan berteriak semakin keras. Iblis itu tertawa semakin keras sejalan dengan semakin menguatnya setruman yang mengalir dari tangannya ke tubuh Gama. Percikan-percikan listrik menerangi ruangan itu.
.
“Umat manusia akan berevolusi! Dan itu harus dimulai dari kau.”
.
Gama memejamkan mata rapat-rapat, berharap mimpi buruk ini segera berakhir. Giginya bergemeletuk menahan sakit. Ion-ion bermuatan yang tak terhitung itu sudah begitu menyiksa setiap sel tubuhnya. Satu teriakan keras dan tawa puas dari si iblis.
Ia terbangun.
Pukul tiga pagi, angka-angka itu berkedip di jam digital yang terletak di atas duvet kecil samping tempat tidurnya. Sekujur tubuh Gama bersimbah keringat, dingin. Pening ia rasakan dalam kepalanya. Jari tangannya bergerak menuju tengkuk, menyentuh titik bekas injeksi yang kembali terasa nyeri walau sudah dua bulan sejak hari itu berselang.
“Aku harus memeriksakannya hari ini,” gumamnya kemudian beranjak dari tempat tidur. Sejenak ia merasa lega melihat istrinya yang masih terlelap. Ia tidak boleh tahu soal ini, pikir Gama.
Langkahnya meniti lemas, perlahan menuju wastafel dan cermin di kamar mandi. Kedua tangannya bertumpu pada pinggiran keramik putih itu. Menunduk, pikirannya masih tidak fokus—nyatanya sentuhan tangan sosok itu, atmosfer sedingin daratan Siberia pada musim dingin, sengatan yang luar biasa merangsang saraf nyerinya pada mimpi yang tak lagi bisa disebut semu.
Lucu rasanya dirinya masih hidup.
Ia menggeleng, menyentuhkan tangan pada keran otomatis. Air mengalir ia tadahi dengan kedua telapak tangan sebelum ia cipratkan pada muka. Dua tiga kali kemudian, ia angkat wajahnya pada cermin.
Ada yang berbeda.
Warna kelabu irisnya berubah emas, noda hitam nyaris membungkus bagian putih matanya. Beberapa percik putih mengisi pangkal rambut kepala. Gama terhenyak, melangkah mundur hingga punggung membentur tembok.
“Tidak, tidak, tidak. Ini tidak nyata. Aku pasti masih bermimpi,” ucapnya meyakinkan diri sendiri sembari memejamkan mata, napas tak beraturan. Jemarinya menggaruk tembok, kakinya terasa lemas. Ia tundukkan kepalanya, tak ingin melihat ke cermin.
Ketika kembali membuka kelopak matanya, ia masih di tempat yang sama. Perlahan ia angkat wajahnya, tak lagi ia temukan iris emas dan noda hitam yang mengelilinginya. Semua kembali normal. Tangan perlahan menggosok lengannya yang merinding, ia menghela napas.
“Mas? Mas nggak apa-apa?” suara lembut dengan nada khawatir terdengar dari ruang sebelah.
Tentu saja tidak! Batinnya berteriak. Gama justru menyahut dengan tawa kecil, “Enggak! Cuma mimpi buruk… lagi. Beberapa hari ini aku memang kurang istirahat, Dik.”
Gama perhatikan istrinya yang melangkah mendekati bingkai pintu kamar mandi yang terbuka. Keduanya saling berpandangan sampai paras Nana menunjukkan kecemasan. “Mas… Kamu kira aku nggak tahu udah beberapa kali ini terjadi?” Nana bertanya retoris.
Pria bersurai gelap itu menelan ludah, lidahnya kaku. Nana melangkah masuk, berhenti tepat selangkah di depan suaminya. Ia meminta jawaban.
“A-aku…”
Kedua telapak tangan Nana yang lembut menyentuh masing-masing pipi Gama. Manik cokelat kayu itu menatap dalam-dalam manik kelabunya. Dalam hati Gama berharap, warna emas itu tak merubah irisnya lagi.
“Ceritakan padaku, Mas,” Nana meminta pelan.
Tidak, ia takkan bercerita. Karena Gama yakin, ‘hadiah’ yang disebutkan di beberapa laporan hasil eksperimen nampaknya telah mulai muncul pula padanya. Nana tidak boleh tahu jika dirinya sengaja terdaftar sebagai salah satu dari ratusan kelinci percobaan dalam proyeknya.
“Nggak apa-apa, Mas. Aku akan mendengar semuanya.”
Gama menghela napas, mata dipejamkan lalu berkata, “Tidak.”
Dapat Gama rasakan jelas getaran yang sepersekian detik mengalir ke telapak Nana, disusul istrinya yang tiba-tiba memekik dan menarik tangannya cepat-cepat. Jarak sepasang kekasih itu pun kembali melebar. Reflek, Gama hendak meraih istrinya kembali namun tertahan saat diketahui Nana kini tengah memeluk tubuhnya sendiri, gemetar, menatap kaget suaminya… dan takut.
“Aa-a-aku lagi nggak ngimpi juga, kan… Mas?”
“... Hah?”
“B-barusan… a-a-aku… ke-kesetrum?”

Ini buruk. Satu senyuman canggung merekah pada bibir Gama, ia lalu berkata pada istrinya, “Ayo tidur lagi. Mimpinya hampir selesai.”

= = =

Variable X

Case 8: Dreams

= = =



Sebuah jam analog klasik yang berdiri di atas tiang pada tepi persimpangan jalan raya menunjukkan pukul sembilan pagi. Entah sudah sejak kapan jam itu di sana, Adrian selalu melihatnya setiap kedua orang tuanya mengajak pergi keluar rumah melewati jalan ini di masa kecil. Mungkin sudah menjadi ikon kota setelah Alun-Alun Raya di kilometer nol, pikirnya. Namun tak bisa ia berlama-lama memandangi, lampu rambu pejalan kaki telah berubah hijau. Ia hendak membenarkan posisi kacamatanya dan barulah dirinya sadar ketika jarinya tidak merasakan penyangga lensa bantu melihat yang biasa dipakainya.
Adrian lupa jika sudah satu bulan terakhir dirinya tak lagi memakai itu. Nampaknya butuh waktu sedikit lebih lama lagi untuk mematikan fungsi otomatis tangannya yang sudah biasa melakukan gerakan demikian sejak di sekolah menengah.
Menghela napas, ia menyeberang jalan. Setelah mengikuti ‘terapi kesehatan’ Paramayodya itu, Adrian benar-benar merasakan beberapa perubahan pada fisiknya. Miopi yang dideritanya berkurang, bahkan sembuh. Penglihatannya menjadi makin tajam, bahkan ketika malam hari. Entah, apakah itu sesuatu yang baik atau buruk.
Oh, ada satu hal lain yang mengganggunya. Walaupun dibilang mengganggu juga tidak, lebih tepat, menggodanya.
Beberapa kali terlintas dalam pikirnya memori dirinya bersama Dana di gang sempit itu, tiga hari sebelum tes kesehatan di Paramayodya dimulai. Ketika tubuhnya dihimpit di tembok, Adrian masih ingat hangat napas lelaki bersurai merah itu mengenai kulit wajahnya. Masih menggelitik batinnya seringai tipis dari bibir Dana. Tak lupa manik rubi yang merahnya seakan membakar sesuatu di dalam diri Adrian.
Adrian menampar pipinya sendiri, menyadarkan diri dari imaji yang ia rasa mulai kelewatan. Adrian tidak mengerti, terakhir dirinya menyukai seorang gadis dan itupun sudah entah beberapa tahun berlalu. Bulu kuduk berdiri, ia mendesis risih. Menyeramkan rasanya jika ketika dirinya akhir-akhir ini justru sedang tidak merasakan rasa ketertarikan pada siapapun, mendadak otaknya memutar memori yang jika diteruskan nampaknya sangat tidak baik untuk kesehatan mentalnya. Sudah berapa kali terjadi, Adrian merasa lebih nyaman jika itu dirinya buang jauh-jauh.
Ini salah. Terlarang. Dia dan Dana hanya berteman, sialan. Dana memang tak paham—mungkin juga tidak mau paham—apa itu jarak privasi dan itu sudah biasa.
Berhubung tepat dengan jadwal check up di lab, Adrian akan mencoba menanyakan ini pada dokter.
Pemandangan hijau teras depan Paramayodya pun menyambutnya. Kemudian ia naiki tangga, melangkah masuk menuju lobi dan mengantre pada meja resepsionis. Tiga giliran lagi. Iseng, ia amati sekelilingnya sebelum pandangannya berhenti pada seorang pria mengenakan trenchcoat hitam beraksen emas yang berada di posisi paling depan.
Adrian merasa sedikit bersalah mendapati telinganya yang entah mengapa lebih sensitif dari sebelumnya. Karenanya dapat ia dengar dua resepsionis di balik meja itu berbicara akrab dengan pria yang menarik perhatian Adrian. Namun dari cara mereka menyapanya, lelaki tinggi itu nampaknya bukan orang sembarangan. Beberapa saat kemudian, lelaki itu meninggalkan meja resepsionis dan berjalan ke arah ruang tunggu. Sempat Adrian perhatikan pula ciri lainnya—alis kanannya naik skeptis, bingung akan alasan pria muda itu mengenakan sarung tangan kulit di ruangan yang tak begitu dingin begini.
Seselesainya Adrian melakukan check in, segera ia menuju ruang yang sama. Ia lihat pria itu lagi sedang duduk di salah satu kursi dan mengatupkan tangan, kedua matanya menatap pada meja di depannya. Sekilas menunjukkan rasa gelisah. Adrian berjalan mendekat ke meja pria itu, perlahan.
“Permisi?” Adrian menyapa, pria berambut pendek itu menoleh. “Boleh saya ikut duduk di sini?”
“Ah, tentu. Silahkan, silahkan.” Pria itu pun menyilakan satu kursi kosong di sebelahnya, Adrian menuruti dengan duduk di tempat yang diisyaratkan. “Check-up juga, Mas?” tanyanya.
“Iya. Oh, ngomong-ngomong, saya Adrian,” ucap Adrian sambil menyodorkan tangan. Tangan itu disambut oleh lawan bicaranya.
“Gama,” pria muda itu membalas dengan senyum ramah. “Mas Adrian ini mahasiswa, ya?”
“Ah, saya sudah lulus dua bulan lalu, eh… Pak?”
“Panggil ‘Mas’ saja tidak apa-apa. Saya masih dua puluh delapan tahun.”
Adrian merespon dengan anggukan. Jeda beberapa saat sebelum ia buka lagi dengan, “Kerja di mana, Mas Gama?”
Pandangan Gama sekilas pergi ke arah lain lalu menjawab, “Dokter saraf. Saya praktek di rumah sakit pusat.”
“Ooh… Mas ikut terapi ini karena…?”
“Saya ada penelitian tentang perkembangan saraf manusia, Mas. Yah, saya rasa tidak mungkin meminta teman bahkan orang lain untuk menjadi objek penelitian… Maka saya sendiri yang maju.”
Adrian mengangkat alisnya, “Perkembangan saraf...? Apakah ada kaitannya dengan injeksi saat tes?”
“Mas Adrian, saya mendapat informasi dari orang dalam, alat mereka ini… memperbarui manusia. Mengubahnya.”
Energi bioplasma, penulisan ulang DNA, Adrian ingat kata-kata Surya. “Ah… Begitu ya, seperti rumor yang saya dengar dari beberapa orang, Mas.”
Gama tersenyum tipis, “Maka dari itu, rumor ini yang saya coba buktikan. Perkembangan dari diri saya sendiri yang saya observasi.”
Adrian mengangguk mengiyakan, “Saya juga ingin tahu sebenarnya terapi ini mengarah ke mana, Mas.”
“Mengarah ke mana, maksudnya?”
“Apa Mas sudah mulai merasakan perubahan yang signifikan?”
Gama menatap ke meja, mencoba terlihat seperti berpikir sebentar “Belum, belum ada.”
Adrian melirik sekilas ke arah tangan Gama yang memakai sarung tangan. “Oh begitu, Mas. Heran, sebulan setelah terapi ini, miopi saya sembuh. Benar-benar mujarab ya,” Adrian tertawa kecil.
“Miopimu sembuh? Apakah dibarengi dengan perubahan lain? Pendengaran yang bertambah tajam, misalnya?” Gama memajukan sedikit badannya.
“Sepertinya. Bagaimana Anda tahu? Bahkan saya belum menyebutkan tadi.”
“Yah, beberapa pasien saya kebetulan mengikuti terapi ini juga. Ada yang memiliki kasus sepertimu, miopinya sembuh. Ada juga yang bercerita pendengaran mereka membaik bahkan bertambah tajam.”
“Padahal Anda dokter saraf?”
Gama terdiam sejenak lalu tertawa kecil, “Ah, maksud saya pasien dari rekan-rekan saya. Saya memiliki rekan dokter mata dan THT.”
Adrian menyelipkan sebuah tawa kecil pula. Diatas kakinya yang disilangkan, Adrian mengetuk-ngetukkan ujung jemari kedua tangannya satu sama lain. Ya, orang ini bukan orang biasa, pikir Adrian. Iseng, dirinya bertanya, “Boleh saya tahu kenapa Mas Gama memakai sarung tangan?”
Gama mengalihkan pandangan pada tangannya, senyuman yang terasa sedikit canggung pun merekah. “Oh... dua hari lalu tergores kawat. Percayalah, kau tak mau melihatnya,” ucapnya.
“Bukankah cukup dengan sarung tangan kain? Atau... ada sesuatu pada tangan Mas yang dapat mempengaruhi seseorang ketika Mas menyentuh mereka?”
Tanpa menoleh wajah sesentipun, piringan kelabu Gama lalu menghadap pada Adrian. Sebuah senyum sederhana menjadi jawaban.
“Ah, eh… Lupakan. Itu tadi tidak mungkin, kan? Hehehe…”
Kemudian dengan lirih kalimat ini luput dari bibir Gama, “Pantas saja Dana menyukaimu.”
“Eh? Siapa? Dana?”
Gama sekilas menampakkan raut ketegangan.
“... Yudhistira Banyu Pradana?” Adrian menyelidik.
“Mungkin…?”
“Umm… Merah?”
“Y-ya… Tapi Dana yang saya kenal… dia memiliki usaha kurir,” Gama membalas. “Saya sering menggunakan jasanya untuk mengirim paket ke keluarga di luar kota. Ya.”
“Jadi itu pekerjaan sampingannya selama ini. Pantas dia sibuk,” Adrian bergumam.
“Sejauh apa kau mengenalnya, Adrian?”
“Dulu teman kuliah seangkatan. Cukup dekat.” Adrian sedikit melirik ke arah lain.
“Kau tampak tertarik saat kita membahas tentangnya. Ada sesuatu kah?”
Adrian menelan ludah. Kembali terlintas dalam kepalanya senyum Dana yang misterius, surai merahnya yang berkilat, serta piringan rubi yang terbalut kelopak matanya yang tajam. Setengah sadar, ia jilat bibirnya yang mendadak mengering. Sekejap, Adrian seakan mendengar hela napas Dana di telinganya, memanggil.
“Satu hal yang saya perhatikan dari Dana, dia ini menyukai kejutan. Pernah sekali waktu dia bilang, kalau mengantar barang ke pulau seberang utara sana butuh dua hari… Tahu-tahu sepuluh jam kemudian ada kabar barangnya sampai dengan selamat. Saya tanyakan beberapa hal, ada sesuatu yang enggan dia jawab dan selalu membalasnya dengan seringainya yang khas, hahahaha,” Gama bercerita. “Yah, paling tidak sepupu saya di sana senang dengan kirimannya. Bagaimana menurutmu, Adrian? Memang benar ya, Dana seperti itu? Kau yang sehari-hari sering bertemu dengannya, kan? … Uh, maaf? Wajahmu... memerah.”
Degup jantung Adrian membentur rusuknya keras, ditendangnya keras-keras lintasan pikiran sesatnya barusan. “Y-y-ya, begitulah. Dana di kampus bukan orang yang banyak bicara, Mas,” ungkapnya canggung.
Adrian memijit pangkal hidungnya, pening. Ia benar-benar harus memeriksakan ini sebelum dirinya dibuat gila oleh si rambut merah itu. Atau imajinasinya sendiri.
===
Sinar mentari senja di ujung barat, bintang merah itu seakan tenggelam ke laut di ujung cakrawala. Manik emas itu menyusur ujung rambut hingga jemari wanita anggun yang ada di hadapannya. Sejenak kemudian ia menggelengkan kepala pelan tanda kagum.
Sebuah tawa pendek terdengar dari wanita berambut pirang kecoklatan tersebut, “Kenapa?”
“Rasanya, seperti pertama bertemu.”
Senyum terulas pada paras pria lawan bicaranya. Sepasang piringan emas itu masih tak bisa melepas pandangannya dari wajah istrinya. Bagai melihat seorang malaikat yang jatuh dari langit.
“Kapan terakhir kali kita makan malam romantis begini, Dania?”
Angin laut yang berhembus, meniup surai gelap Bram. Debur ombak yang terdengar, seakan seperti degup jantung yang membuat Bram ingat saat pertama ia bertemu dengan belahan jiwanya.
“Entahlah,” Dania memandang jauh ke kaki langit yang memerah. “Namun kesempatan kali ini benar-benar membuatku senang, Bram.” Senyum manis ia berikan pada kekasihnya, sementara jemari wanita itu perlahan bergerak menuju tangan lawan bicaranya.
Bram berdeham, perlahan mengkaitkan jari telunjuknya dengan milik Dania. Manik mata mereka bertemu, saling menatap dalam diam. Cahaya di langit makin meredup, digantikan oleh kerlipan bintang di atas sapuan warna ungu di horizon yang gelap. Hanya nyala lilin di tengah-tengah meja yang menerangi mereka.
Bram menoleh pada sekelilingnya. Sejuk, sepi, damai, menikmati suasana alami pinggir pantai di atas balkon sebuah restoran kelas atas. Tak seorangpun mengisi meja-meja kosong di sekelilingnya, hanya dirinya dan Dania serta satu dua pelayan yang nampak mondar-mandir di bagian dalam restoran. Dunia serasa milik berdua. Sempurna.
Hanya untuk Dania, ia rela mengeruk kantongnya sedalam apapun. Toh isinya takkan pernah habis.
“Permisi. Wine Anda, Tuan,” kata seorang pelayan, meletakkan dua gelas tinggi di hadapan sepasang kekasih itu serta menuangkan isi botol minuman beralkohol itu pada masing-masing gelas.
“Terima kasih,” Bram mengangguk, menyilakan pelayan itu kembali ke dalam. Ia angkat gelasnya, Dania mengikuti. “Bersulang?”
Tepi tiap gelas itu kemudian bersentuhan. “Aku berharap kau bisa kembali lagi,” ucap Dania, masih dengan senyum.
Apa itu tadi?
Sensasi nyeri lewat begitu saja pada tengkuk Bram. Pemandangan senja berubah menjadi langit-langit plafon. Suara pengering rambut terdengar dari meja rias Dania, sudah pagi rupanya.
Bram meregangkan badan, dengan mata yang masih berat ia perlahan bangun, “Pagi, Dania.”
Ucapan itu hanya dibalas oleh gumaman pelan dari istrinya yang sudah bersiap-siap untuk beraktivitas. Dania sendiri kemudian diam, tak bertanya atau berucap sepatah kata pun. Kini ia sedang mengoleskan gincu pada bibirnya.
Lelaki itu mengulas senyum kecut. Realita memang tak seindah mimpi. Sejenak ia diam, melirik ke arah jendela yang gordennya sudah ditembusi cahaya. “Acara ke mana hari ini?” Bram bertanya basa-basi.
“Biasa,” Dania menjawab singkat, datar, tidak sedikitpun menoleh dari cermin. Selesai mengucir surai panjangnya, diambilnya sebotol parfum yang kemudian ia semprotkan pada beberapa bagian. Wangi mewah segar menusuk hidung Bram, dihirupnya pelan dan membiarkan aroma itu merelaksasi pikirnya meski hanya sejenak.
“Oke... Pagi ini aku juga ada perlu,” kata Bram, menapak turun dari ranjang dan berjalan keluar ruangan. Dania sekali lagi tak merespon dan Bram hanya mengedikkan bahunya lesu seperti hari-hari biasanya.
.
“... Kemudian titik bekas injeksi ini terasa berdenyut,” ucap Bram kepada dokter yang memeriksanya, menunjuk ke arah tengkuk. Bram tengah berbaring di atas tempat tidur medis, jas hitamnya disampirkan pada ujung rangka ranjang. Tepat di sampingnya duduklah seorang dokter, di sebelah dokter tersebut, seorang pemuda bersurai hijau toska ikut mengamati dan mencatat dengan tablet di genggamannya.
“Apakah ada keluhan lain, Pak Bram?”
“Sejauh ini, secara fisik tidak, dok. Umm, boleh saya berbicara empat mata dengan Venndra?”
Venndra yang namanya disebut mengangkat wajahnya dari tablet. Ia menangkap sorot kegundahan pada iris keemasan itu.
“Ah, tentu saja. Silahkan.”
Sejenak setelah dokter tersebut meninggalkan ruangan, Bram bangkit, memutar posisi tubuhnya sehingga ia duduk tepi ranjang, tepat di hadapan Venndra. Badannya sedikit dicondongkan ke depan dan ditopang oleh kedua lengan yang berbaring di atas pangkuannya.
“Jadi... Bagaimana, Pak?”  Venndra memulai.
“Katakan Venndra, apakah chip ini memicu perubahan mental juga? Lewat tanda-tanda tertentu seperti halusinasi atau… mimpi?” tanya Bram.
“Uh, dari data yang kami peroleh saat alpha-testing, juga saat check-up dari beta-testing, rata-rata mengalami mimpi yang khas atau teringat akan memori tertentu.”
“Apa kaitannya dengan… hasrat?”
“Hasrat atau keinginan ini biasanya tersimpan dalam alam bawah sadar manusia, Pak. Chip ini rupanya menguatkan impuls-impuls otak dan membuat bawah sadar seseorang lebih aktif bahkan ketika dalam kondisi sadar. Semakin aktif, semakin kuat pula hasrat itu dibawa. Kami semakin yakin, hasrat adalah faktor X dalam eksperimen ini.”
“Lalu bagaimana menurutmu jika kau bermimpi sedang bersama istrimu di tepi pantai, makan malam bersama dan kemudian kau terbangun begitu saja?”
“I-itu...” Venndra menatap arah lain sejenak. “Tergantung Anda mengartikannya, Pak... Apakah mimpi itu sebuah memori dari masa lalu atau hasrat yang belum tersampaikan.”
“Yah, tentu di satu sisi, saya ingin membahagiakan istri saya.” Bram berpikir sejenak, kedua telapak tangannya saling mengaitkan diri. “Tapi sepertinya bukan itu intinya.”
“Mungkin ada detail tertentu dalam mimpi yang merupakan perwujudan hasrat diri sendiri?”
Bram mengalihkan pandangan, dengan lirih ia berkata, “Dengan bentuk kalimat apapun di latar mimpi yang berbeda… Istri saya selalu bilang untuk meminta saya kembali. Berulang, mimpi satu dengan mimpi lain di mana ada Dania di sana.”
Venndra hanya bisa mengangguk, membiarkan Bram melanjutkan kisahnya.
“Kembali bagaimana? Ke mana? Sampai sekarang saya tidak tahu maksudnya, mana mimpi-mimpi itu selalu berhenti setelah Dania berkata demikian.”
“Uh…”
Tawa ringan menyelip lewat bibir Bram. “Saya pikir orang sepertimu mengerti. Kau tahu maksudku.”
“P-pak, untuk soal yang, maaf, sedikit pribadi ini saya tidak bisa memberikan solusi. Hanya mampu membantu menalar untuk mencari jawaban.” Venndra memberikan senyum canggung.
Bram menghela napas, “Apakah mungkin, ia memintaku kembali menjadi yang dulu? Sebelum pekerjaan menyita waktuku dengannya?”
Venndra hanya mampu membalas dengan diam. Ia sendiri belum pernah mengalami relasi yang mendalam dengan seseorang, tak dapat dirinya memberikan jawaban jelas.
Seulas senyum getir merekah di wajah Bram, ia bergumam, “Rasanya jawaban itu harus kucari sendiri, huh?”
“Maaf,” hanya itu yang Venndra mampu katakan sekali lagi.
“Tapi, kau tahu, Venndra?” Bram kembali memulai setelah tenang sekian detik, jari-jemarinya membuka dan mengatup secara ajek. “Posisi saya sekarang… sudah susah untuk dilepaskan. Seluruh kerja keras, frustrasi, senang, apapun... Saya benar-benar tidak menyangka itu akan membawa saya sampai di titik ini. Saya mau tanya lagi: pernah belum, sekali waktu kau menginginkan titik puncak dari tujuan hidupmu?”
Si peneliti muda itu diam mendengarkan sebelum memberi satu anggukan kecil.
“Kira-kira apa yang akan kau lakukan jika kau diminta untuk melepas itu semua?”
“Tentunya… merelakannya? Jika itu diminta oleh orang terdekat kita, tentu ia tahu apa yang terbaik untuk kita.”
Hela napas pelan terselip diantara bibir Bram, ia mengangguk-angguk ringan. “Tapi di sisi lain, kau mempertimbangkan kalau kau tidak bisa hidup tanpa itu. Bagaimana?”
“Menyimpan seluruh jerih payah kita sendiri? Sebagai jaminan ke depan…?” Venndra mencari-cari jawaban selogis mungkin. Sebenarnya ia tak begitu paham ke mana kata-kata Bram mengarah.
“Nah,” ungkap Bram, menatap Venndra lurus. “Jika itu yang Dania mau, saya tak habis pikir kenapa saya harus kembali lagi ke titik nol. Di sini saya sudah mendapatkan apa yang selama ini saya dan sewajarnya pula Dania inginkan… bahkan lebih dari itu. Bukankah kalau ada hal yang lebih bagus, itu akan lebih baik? Iya, kan?”
Bram tertawa kecil. Tak apa lah peneliti muda ini tak merespon apapun yang berarti, meski dari fokus mata toska yang tak pernah lepas itu, ia tahu Venndra telah memberi perhatian penuh.
“Ah, maaf. Tapi, terima kasih sudah mendengarkan. Lihat sisi baiknya, lah—siapa tahu apa yang saya ceritakan barusan malah bisa jadi bahan pertimbangan penelitian nanti. Jadi... apa kita sudah selesai?” tanya Bram, mengakhiri gilirannya.
Venndra tersenyum, meletakkan tabletnya di atas meja dan mengangguk. “Ya, sudah selesai. Terima kasih banyak, Pak Bram. Check-up berikutnya minggu depan ya, Pak,” sebutnya. Setelah berpamitan, ketika langkah kaki Bram sudah mendekati pintu, Venndra cepat-cepat mengucap, “P-Pak… Anda dan Nyonya Dania… saya do’akan akan baik-baik saja.”
Ungkapan terima kasih singkat oleh Bram diucapkan sebelum pria berjas lengkap itu keluar ruangan.
===
Musik mengalun dari headphone pemuda berambut hijau itu, jemarinya mengetuk meja mengikuti irama yang dimainkan. Sejenak kemudian ketukannya berpindah ke keyboard, mengetikkan barisan-barisan kode dari program yang sedang ia buat.
“Sedikit lagi...” gumamnya pada diri sendiri. Manik cokelat kayunya terpaku pada layar, merunut baris demi baris yang ia ketikkan, hingga ia menghentikan jarinya dan memicingkan mata.
“Tunggu… bagian ini, bentar, aku lupa.” Ia memejamkan mata berusaha mengingat-ingat. Otaknya berpikir keras mencari jawaban. Jemarinya kembali mengetuk meja, musik yang dimainkan ia biarkan memasuki telinga tanpa ia nikmati. Ia melirik ke smartphone-nya yang tergeletak di meja kerjanya.
“Tanya siapa, coba… Kirana?” tanyanya pada diri sendiri.
Ia akui Kirana tidak kalah cerdas dibandingkan Reza, walau lebih sering gadis itu mengunggulinya dalam hal akademis. Reza mendecakkan bibir, “Enggak, enggak. Aku punya mentor jenius di sini. Ngapain tanya sama gadis sombong itu?”
Sebagai salah satu cara berbasa-basi mungkin? Pikirannya sendiri seolah berbicara pada Reza. Reza menggigit bibir bawahnya, apa-apaan barusan?
Dirinya dan Kirana sudah bersahabat, bahkan rival sejak lama. Tak jarang mereka bersaing dalam hal apapun. Tidak membuat mereka menjadi renggang, justru semakin mendekatkan. Canda, tawa, suka, duka mereka alami. Ya, Reza menemukan kenyamanan dalam relasinya dengan Kirana. Tak ada yang salah bukan, memiliki sahabat seorang gadis tanpa melibatkan perasaan yang lebih?
Hingga beberapa bulan lalu, Kirana mulai bercerita mengenai Rico.
Rico, ace tim basket universitas yang kerap kali diperbincangkan oleh gadis-gadis dan begitu populer, ternyata menjatuhkan hatinya pada Kirana, seorang gadis yang dianggap oleh yang lain ‘biasa-biasa saja’. Jelas sekali di mata Reza jika sampai setahun sudah lamanya Rico mencoba mendekati gadis itu, meyakinkan Kirana untuk bersamanya. Kirana pun sebenarnya memendam rasa, namun ia tak ingin tergesa-gesa melangkah ke seberang ‘garis’ pertemanan, menjadi lebih dari itu.
Reza masih ingat akan cerita Kirana, saat Kirana menonton Rico bertanding. Kirana dengan hiperbolik menceritakan seakan setiap lesatan bola yang menuju ke ring, setiap skor yang Rico cetak, merupakan hadiah untuk dirinya. Tentu saat itu Reza membalas dengan tawa mengejek dan mencibir setengah bercanda dan dibalas dengan tamparan keras pada lengannya. Namun, samar ia rasakan perasaan yang sesak dalam dadanya setiap kali gadis itu menyebut nama Rico Hendriksen.
Reza menggelengkan kepala. Tidak, perasaan ini bukan cemburu, kan? Pikirnya meyakinkan diri sendiri. Buat apa ia cemburu kepada gebetan sahabatnya?
Karena kau sejak lama menyukai gadis itu, Za. Sebuah suara yang kembali terlintas dalam pikirnya, seakan menyuarakan isi hatinya yang paling dalam.
Setiap hal yang dari dirinya yang ia tunjukkan pada Kirana, keahlian, bahkan dengan ia berkompetisi dengan gadis itu dalam segala hal, secara tak langsung menyiratkan bahwa Reza ingin terlihat lebih baik di mata Kirana.
Lebih baik dari seorang Rico.
Reza ingin mendapat perhatian gadis itu, dengan apapun caranya. Terkadang ia iri dengan Rico yang secara penampilan dan personalnya ternyata lebih disukai oleh Kirana. Terkadang, ia ingin menjadi seperti Rico, orang yang dicemburuinya.
Tapi itu tak mungkin, kan?
Reza menghela napas. Pipinya menghangat melihat fotonya berdua dengan Kirana di smartphone-nya, foto lama sebelum Reza direkrut untuk bekerja di Paramayodya. Senyum lebar dan pipi merona gadis itu nampak di sana. Di sebelahnya, dirinya sendiri memasang ekspresi sok ganteng yang biasa ia lakukan saat bercanda. Ia ingat, setelah melihat foto itu, Kirana tertawa dan menampar lengan Reza, seperti biasa. Reza tertawa getir dan menghela napas.
“Bisa-bisanya aku jatuh pada sahabatku sendiri.”
Ia menaruh smartphone-nya di meja dan kembali fokus ke laptopnya. Sudah cukup melankolisnya, dia harus segera menyelesaikan bagian akhir yang membingungkan ini secepatnya. Kembali mengutak-atik logika, mencoba ini dan itu, berakhir dengan kedua tangan frustrasi mengacak-acak rambutnya.
“Kuharap Kak Ganes pas lagi nggak sibuk,” gumam Reza lelah. Ia beranjak dari kursi dan menenteng laptop. Berjalan di koridor menuju ruang kerja mentornya, Aldino Ganesha, yang nama itu terpampang pada pintu masuk.
Reza baru saja akan mengetuk ketika mendengar percakapan Ganes dengan seseorang.
"Iya, jadi... yah, dia beda dari sebelum-sebelumnya, Git."
Reza mendekatkan kupingnya ke pintu. Samar-samar ia dengar balasan lawan bicara Ganes.
"Dia kawanku sejak lama, mana mungkin aku nggak nyadar perubahan pribadinya? Waras, dia masih waras. Makan masih teratur, baik-baik sama anak buah, diajak bicara basa-basi masih nyambung… cuma… agak... sedikit..."
Reza mengangkat alis, Ganes tengah bercerita tentang seseorang rupanya.
"Entahlah, aku mungkin bakal kasih tahu dia, entah kapan. Omong-omong, ehm, akhir minggu ini kamu sibuk nggak?" Terdengar nada gugup dari ucapan Ganes.
Sayup-sayup Reza mendengar balasan dari penelepon Ganes. Video call?
"Oooh… err, sore di kafe depan kantorku gimana?" Terdengar Ganes berucap sambil mengetukkan sesuatu pada mejanya. Kedengarannya sang mentor sedang… gelisah?
"Bisa? Oke, nanti aku pesen di sana. Makasih ya, Git. ‘Met ngapain aja." Perbincangan mereka telah selesai, baru akan mengetuk, Reza mendengar gumaman lirih dari Ganes yang terdengar seperti, "I love you".
Reza hampir saja menyemburkan tawa dari mulutnya, namun ia tahan dengan terkikik pelan. Tiba-tiba pintu dibuka dari dalam dan terlihat wajah lelaki berkacamata dan berjambul pirang itu memasang ekspresi 'sok' dingin.
"Kenapa, Za?" Tanyanya singkat, manik zamrudnya menatap lurus ke wajah Reza yang merah karena menahan tawa.
"K-k-k-Kak Ganes—N-nggak, nggak papa… pfft."
“Apa? Jangan kira aku nggak tahu. Kamu lupa di depan pintuku ini ada CCTV?”
"Cie, video call sama Kak Gita," ucap Reza menggoda dengan alis diangkat-angkat.
Spontan wajah Ganes memerah, ia segera menarik Reza yang terkikik ke dalam ruangannya dan menutup pintunya dengan sedikit kasar.
"Hahahahaha! Bener kan, Kak? Tuh, merah mukanya."
"D-d-diam kamu." Ganes memalingkan wajah ke arah lain.
Reza melirik ke laptop milik Ganes, terlihat tampilan wallpaper berupa foto mentornya merangkul seorang gadis berambut hitam panjang dengan jepit rambut pada poni-nya, berlatar belakang sebuah taman. Mentornya nampak tersenyum lebar di foto itu sedangkan gadis di sebelahnya tersenyum manis.
"Oooh ini to, Kak Gita. Manis juga."
"I-iyalah—EH, ENG—ENGGAK! BIASA AJA!"
"Halaah..."
Masih nampak panas, Ganes menyilangkan lengan di dada tepat setelah ia menghempaskan diri pada kursi kerjanya. "I-itu temen. Oke?! Sekarang cepat, ngapain kamu ke sini," selanya, hanya memancing Reza untuk menyelipkan kekehan tawa lagi melihat usaha payah mentornya mengalihkan pembicaraan.
“Ehm, yaa… hehe... jadi gini, kak, pfft.”
“Serius, Za.” Ganes membenarkan kacamatanya.
“Ehm, soal program untuk sistem distribusi chip, ada bagian yang aku bingung. Lupa sih, lebih tepatnya,” ucap Reza dengan ekspresi maaf-merepotkanmu-mentor-jeniusku, kemudian menunjukkan skrip program di laptopnya.
Lelaki bersurai pirang itu mendengus, tak lama piringan zamrudnya terfokus ke layar. “Bagian ini… Oh, aku paham. Perhatikan dan dengarkan, aku nggak akan mengulang lagi,” ucap Ganes kemudian melemaskan jemarinya.
Reza berdiri di belakang kursi Ganes dan memperhatikan Ganes yang mengetikkan baris-baris kode secara cepat, sesekali Ganes menjelaskan tanpa menoleh. Reza menanggapi dengan gumaman mengiyakan dan anggukan pelan. Otaknya ternyata juga mampu mencerna apa yang dikatakan dan diketikkan oleh Ganes. Mentorku ini benar-benar jenius, dengan cepat ia mendapatkan algoritma(1) yang benar dan efektif hanya dengan sekali lihat, batin Reza.
Beberapa menit kemudian Ganes menyelesaikan skrip programnya. “Jangan lupa compile(2) dan dicoba. Debugging(3) juga,” ucap lelaki pendek itu seraya membenarkan posisi kacamatanya.
“Hehe, iya, kak.” Reza menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terima laptopnya kembali, kemudian ada jeda keheningan di antara mereka.
“Eh, kak. Kalau boleh tahu...”
“Apa? Bukan soal Gita, kan?” ucap Ganes tiba-tiba, namun dengan cepat ia juga menyadari ada yang salah dari perkataannya.
Tawa kembali terselip di bibir Reza. “... Aku belum bilang apa-apa, Kak Ganes udah nyamber aja.”
“Ehm. Aku juga cuma menebak. Soal apa?”
“Orang yang Kak Ganes bicarakan tadi, siapa?”
Ganes menunduk menatap ke lantai, jemarinya saling mengait, ia memikirkan sesuatu, seperti mengambil keputusan untuk memberitahu anak bimbingannya atau tidak tentang kekhawatirannya.
“Err—nggak jadi deh, aku balik du—” Reza disela lagi setelah membalikkan badan.
Well, maaf, Za. Ini… pribadi, aku nggak bisa memberitahumu siapa orangnya. Tapi, apa yang bakal kamu lakuin kalau sahabat terdekatmu mulai berubah? Berubah yang… nggak beres.” Ganes memulai, ia angkat wajahnya kembali agar piringan zamrudnya menatap Reza lurus.
“Uuh… coba beritahu dia apa yang salah?”
“Tentunya, tapi poin mana yang dijelaskan? Kamu harus benar-benar mencari apa yang salah pada diri sahabatmu. Itu nggak akan mudah.”
“... Perubahan pribadinya, ya. Aku punya satu.”
“Gimana? Dia jadi ambisius?”
Telunjuk Reza bergerak menggaruk pelan pada pipinya. “Ngg… enggak sih. Emm… enggak, gak jadi, Kak. Tapi, ambisius gimana?”
“Tapi bisa saja dia emang berubah, atau persepsimu padanya yang berubah...” gumam Ganes.
“Mungkin yang kedua? Nggak tahu, kak. Coba diawasi lagi? Kalau memang ada yang nggak pas, ya tinggal ngomong,” usul Reza, mengedikkan bahu.
“Haaah…” Ganes meluruskan punggung kemudian bersandar pada kursinya. “Kalau kasusmu?”
“E-eeh… Yang kedua, seperti kataku tadi. Sahabatku ini, cewek.”
“Jadi, perubahan persepsi...Kamu naksir sahabatmu sendiri?”
Kini giliran Reza yang mukanya berubah semerah lobster rebus. Seringai lebar di wajah Ganes menunjukkan rasa bangganya setelah menembak tepat sasaran.
“Siapa, siapa? Cewek gamer yang sering kamu sebut itu, pasti.”
Jalan buntu. Reza tidak akan bisa berlari lagi. Ia membalas dengan sebuah senyuman canggung dan bahu terangkat, tak berani menatap mata seniornya. “Gitu, lah,” sebutnya. “Tapi dia tertarik sama orang lain…”
“Oh… Cari yang lain, lah,” tanggap Ganes enteng.
“Bicara sih gampang, kak...”
“Bukan jatahmu, kali. Mungkin kamu perlu introspeksi.”
"Udah. Banyak cara aku coba...tapi sekarang emang perhatian dia penuh buat cowok lain."
Ganes menghela napas, tidak ia sangka akan dimintai nasehat mengenai cinta. Sementara dirinya sendiri pun masih berusaha mendapatkan hati teman masa kecilnya.
“Ah, sudahlah. Yang ada dulu diurus,” ujarnya kemudian, kembali memandang laptopnya dan mulai bekerja.
Reza menarik napas dalam-dalam, berusaha menyingkirkan rasa gundah yang ada di hatinya. Apa kata Kak Ganes benar, ia harus fokus. Tidak boleh berlarut-larut dalam perasaan.
“Entahlah, tapi rasanya ada yang sedang berlangsung…” Reza dengar Ganes bergumam demikian, wajah tak teralihkan sedikitpun dari layar. “Kamu masih mau di sini, Za?”
Reza tersadar dari lamunannya, cepat-cepat ia pamit dan melangkah keluar.

# # # Continued in the Next Chapter # # #

  1. Algoritma: (ilmu komputer atau matematika) Logika langkah demi langkah runtut untuk pemecahan masalah.
  2. Compile: Mengubah kode skrip program menjadi kode mesin agar program bisa berjalan.
  3. Debugging: Mencari dan mengurangi ‘bug’ (gangguan atau kesalahan) pada program atau mesin.

(A/N)
Agon: chapter ini, memang ingin mengekspos kehidupan pribadi karakter. Hope you like it guys.
Fay: It’s getting interesting, yes?
Agon: Yes. Apalagi godaannya, apa kalian menyadari ada di mana saja? :>
Sekali lagi, PAF hanya milik Mimin Beruang seorang, kita hanya minjem mereka buat jadiin aktor di sebuah AU (?)
Kritik/Saran boleh sekali~

@F_Crosser | @agonps

No comments:

Post a Comment