Tuesday, December 8, 2015

Case #11

Sepatu bot lelaki bersurai kelabu itu mengetuk-ketuk lantai dengan ajek. Gelisah. Duduk di kursi panjang dari logam, ia tampak ragu. Satu per satu orang di sebelahnya bergeser, yang ada di ujung satunya berdiri dan masuk ke ruangan begitu namanya disebut.
“Kalau saja si brengsek itu ada di sini,” gumam Arya sambil mengepalkan tangannya.
“Siapa? Dana?” Suara berat yang familiar terdengar mendekat. Pria kecil itu menoleh dan didapatinya si partner yang berjalan dengan seringai. Penampilannya sedikit berbeda dengan biasanya mengingat ini adalah pakaian tugas. Jaket kulit yang biasa ia pakai digantikan dengan rompi hitam, tak lagi mengenakan kaos di dalam melainkan baju putih berkerah tinggi yang lengan panjangnya sengaja ia gulung sampai siku. Bawahannya berupa setelan celana panjang berwarna senada serta sepasang sepatu bot tentara hitam yang membungkus kaki hingga betis.
“Hai, keparat. Nampaknya kau sedang senang,” Arya berkomentar melihat Wira bersandar di tembok dengan ekspresi sumringah. Tidak biasanya bocah temperamental ini menyunggingkan senyum lebar di bibirnya. Hanya ada dua hal yang bisa membawa ekspresi itu terpasang pada wajah Wira: saat sedang menghajar lawan yang menarik atau ada kabar bagus dari gurunya, Dana.
“Coba tebak, cebol.”
“Tidak perlu, langsung tepat sasaran. Dana meminta pada Pak Gama untuk menginjeksi kita dengan chip yang sama, yang kau dan Dana miliki.”
“Hampir tepat, kurcaci.”
Arya menghela napas. “Kesenangan yang meluap-luap karena kita akan segera menghajar Pesisir Utara?”
“Heh. Tumben cerdas.” Wira tertawa sambil memukul kepala Arya dengan telapak tangannya. Beberapa kali, hingga akhirnya Arya mendorong partnernya sedikit menjauh. Wira lalu bergumam, “Plus, para Veteran akan ikut serta.”
“Tidak kusangka, bos proyek ini benar-benar menepati janjinya pada Dana.” gumam Arya. Sebenarnya dirinya sendiri masih ragu, apakah kelompok mereka benar-benar diberikan kekuatan ini secara cuma-cuma, atau mereka hanya akan berakhir menjadi tikus percobaan dan monster tak berakal. Arya juga menduga, Dana pasti juga bercerita mengenai rencananya untuk berperang melawan kelompok Pesisir Utara. Karena tanpa alasan kuat itu, tidak mungkin para anggota Laut Selatan diperbolehkan memiliki chip yang diproduksi hanya untuk mereka.
“Pak Gama benar-benar murah hati,” Wira memulai. “Bahkan ia bersedia membuatkan kita chip pengembangan khusus yang kekuatannya didasarkan pada kekuatanku dan Dana.” Arya menoleh ke Wira, asap tipis terlihat mengepul dari sudut bibirnya. “Heh, menarik. Kira-kira mereka akan memilih yang mana ya...” Wira menatap ke arah rekan-rekannya yang nampak antusias menunggu di antrian.
Arya mengikuti arah pandang Wira. “Chip dengan kode pengembangan EXT616, huh? Well, aku tidak berharap banyak terhadap kondisi mental mereka nantinya,” ia bergumam.
“Hei, makanya ingat cita-citamu kalau tidak ingin berakhir jadi mereka yang ada di bawah sana.”
“Cita-cita apaan. Kemarahan, untuk kasusmu. Omong-omong gimana tugasmu hari ini, brengsek? Sudah menghajar satu atau dua monster itu?” Kekehan pelan muncul dari pria iris kuning itu.
“Ck. Dua truk sudah kupenuhi dan masih ada tiga lagi. Yang lain sedang berjaga, beberapa minta diinjeksi sekarang, makanya aku sekalian mampir ke sini. Oh ya, kau giliran terakhir omong-omong.”
“Aku tahu, bodoh.” Arya menunduk menatap lantai. Ia teringat saudara kembar perempuannya. Loyalitasnya lebih penting, akan dipertanyakan jika tangan kanan seorang Setan Merah justru menolak rencana ini. Demi pekerjaan, apa boleh buat?
“Kenapa kusut begitu? Santai. Khusus buatmu, kau akan memperoleh dua tipe sekaligus. Milikku dan Dana.”
“A-apa?”
Pintu ruang medis terbuka dan sorakan diteriakkan oleh anak buah Arya, ternyata Trio Arab Bersaudara itu baru saja menyelesaikan tahapan injeksi mereka. Mereka disambut meriah layaknya bintang ternama.
“Bagaimana sensasinya, Fahri? Menyenangkan? Perawatnya cantik?” tanya seorang kepada pemuda ramping berhoodie tersebut.
“Dasar bodoh.” Ia memutar bola matanya. “Tentu saja perawatnya cantik!” Sontak sorakan riuh rendah dilontarkan. “Yah, walau sedikit pegal,” ia mengedikkan lehernya.
“Apa hubungannya, dasar cecunguk,” cibir Wira pelan.
“Raihan, apa komentarmu? Katakan pada mereka dengan jelas,” sambung Fahri sambil menarik turun kefiyeh kota-kotak saudara tuanya itu. Audiens tertawa terbahak melihat ulah si anak tengah.
Buru-buru Raihan membenarkan penutup wajahnya, “B-brengsek!” umpatnya pada si hoodie yang kemudian menghindar dari sabetan tangan kakaknya.
“E-ehm, di dalam tadi, tidak menyakitkan. Sungguh. Kecuali saat pembiusan dan penanaman chip.”
“Itu berarti prosesnya sakit semua, bodoh.” Si kupluk, yang paling muda, kini angkat bicara. “Lagipula setelah diberi anastesi, kalian tidak akan kesakitan. Raihan saja yang penakut.”
Bibir Raihan terbuka hendak mengeluarkan makian balasan, sayang harus tertahan ketika nama terakhir dalam antrian pun disebutkan.
“Arya Egisetya?”
Ia menelan ludah.
“Ayo.” Satu tamparan ringan pada punggung Arya dari Wira sedikit membantu pria kecil itu untuk memberanikan diri.
Hanya satu kata saja yang ia pegang: Setia.
Satu helaan napas, Arya berjalan masuk ke dalam ruangan, diiringi dengan tatapan anak buahnya yang lain.
Begitu masuk, ia disambut oleh beberapa petugas medis dan staf Paramayodya yang lalu mengkonfirmasi identitas Arya dengan daftar dari basis data organisasi. Setelah Arya berganti pakaian dengan pakaian untuk operasi, ia dipersilahkan untuk berbaring telungkup di sebuah tempat tidur medis. Dekat tempat tidur tersebut terdapat mesin bedah robotik, seorang staf mengoperasikan di baliknya.
Kedua kaki dan tangan pria kecil itu lalu diikat dengan sabuk karet. Telinganya mendengar mesin bedah yang mulai dijalankan. Ia menarik napas dalam-dalam.
Ini dia, ucapnya dalam hati.
Rentetan pemindaian ia lewati, memastikan Arya berada pada kondisi prima. Matanya sengaja ia tutup, cukup dengan telinganya ia mengikuti prosedur demi prosedur.
“Tubuh bioplasma stabil, subjek siap. Inisiasi implan chip kode EXT616-09.”
.
Minta maaflah kepada Rengganis setelah ini.
.

= = =

Variable X

Case 11: Recall

= = =



“Ayo, sampah! Apa yang kalian takutkan? Kalian punya senjata dan mereka tidak punya pikiran. Apa perlu kuberikan otak kalian kepada mereka, ha?!” ucap lelaki bersurai gelap itu, mendorong beberapa anak buahnya yang ragu-ragu menertibkan barisan para subyek ‘gagal’ agar masuk ke dalam truk pengangkut satu per satu.
Wira baru saja kembali setelah menemui Arya di dalam.
Para subyek gagal ini diborgol dengan borgol khusus pada tangan dan kakinya supaya pergerakan mereka tidak membahayakan. Setiap dari mereka juga disuntik dengan obat penenang saat akan dikeluarkan dari sel. Beberapa bahkan dipasangi kalung dengan fungsi seperti tazer untuk menyetrum mereka jika mengamuk.
“Mereka ini sudah bukan manusia,” gumam Wira mengamati sorot mata mereka yang menyiratkan kemanusiaan mereka sudah tertelan oleh hasrat binatang liar atau beberapa justru hilang kosong menjadi ketiadaan bersamaan dengan akal sehat mereka. Tubuh mereka cacat—memiliki barisan tulang duri menembus punggung dan siku, atau jemari yang melembek atau ukuran mata yang tidak lagi simetris.
Mata tajamnya melirik ke arah para anak buah yang masih terlihat takut berdekatan dengan ‘monster-monster’ itu. Ia mendecakkan bibir. “Padahal, mereka ini derajatnya lebih tinggi dari sampah-sampah itu.”
[“Ya, dan kau sendiri jauh lebih tinggi dari mereka semua.”]
Telinga Wira berdengung, suara yang lama tidak ia dengar. Melirik ke samping kiri-kanannya, tidak ada siapa-siapa. Ia menepuk kepalanya, pasti ia mulai capai dengan pekerjaan kali ini. Andai Arya bisa ikut, paling tidak ia bisa berbagi tugas dengannya.
[“Mereka ini benar-benar rendah. Sampah tidak berguna. Aku bersyukur kau tidak berubah jadi seperti mereka, Wir.”]
“Bangsat,” umpat Wira ketika suara itu makin jelas dan membuat daerah pada dahinya berdenyut. Suara ini, tidak salah lagi. Beberapa pasang mata melihat ke arah pemuda itu, dari antara mereka mulai berbisik satu sama lain. Ada yang tidak beres dengan ‘mandor’ mereka.
“Kau tidak apa-apa, Wir?” seorang rekannya berusaha mendekat.
[“Wira… Lihat apa yang mereka dapatkan karena ingin memiliki ‘hal’ yang sama seperti kita.  Apa yang mereka tahu soal itu? Termakan omongan sendiri, sendirinya lalu melakukan hal menyedihkan macam ini. LEMAH! Tanganku gatal. Bagaimana jika kita bunuh saja?”]
“Diamlah, keparat,” geram Wira, membuat salah satu anak buahnya yang bertanya tadi untuk mundur sedikit. Padahal kalimat tadi ditujukan kepada bayangan hitam yang mulai berbentuk di hadapannya.
[“Sudah lama kita tidak melakukannya kan, bocah beruntung? Ah maaf, aku lupa nasibmu sama sepertiku. Beruntung dalam ketidakberuntungan.”]
Napas Wira mulai terengah, energinya mulai lenyap seiring mewujudnya seorang lelaki sebaya yang kini telah terlihat jelas di hadapannya. Lelaki itu tertawa menyebalkan, kepala Wira semakin sakit. Memakai kaos hitam dan celana yang senada. Rambut hitam acak-acakan seperti milik Wira, poni pendek menyamping sedikit menutup dahinya. Kulitnya pucat pasi. Nampak bekas merah melingkar yang cukup tebal di leher lelaki itu. Kombinasi sklera hitam dan iris hijau keemasan terpatri di matanya.
“Dimas,” desis Wira sembari memegangi kepalanya yang masih saja tidak karuan. Anak buahnya menatap heran namun juga diam tidak berbuat apa-apa. Beberapa subjek menatap lurus ke arah pemuda indigo itu, seakan bisa melihat siapa lawan bicaranya.
[“Heh, sepertinya beberapa dari sampah itu bisa merasakan keberadaanku. Tapi, peduli setan. Aku hanya ingin mengobrol denganmu sekarang.”] Ia terkekeh.
“Kenapa? Kenapa kau muncul setelah sekian lama? Bukannya kau sudah kuminta pergi?” Wira bertanya di sela-sela engahan, perlahan jatuh terduduk.
[“Pergi? Ha!”] Iris mereka beradu dan berjarak hanya beberapa senti. [“Selama ini aku bersemayam di dalam tubuhmu dan menunggu waktu yang tepat untuk kembali. Ternyata untuk mewujud seperti ini di hadapanmu saja, aku menguras energimu, ya? Apalagi untuk mewujud di hadapan orang-orang.”]
“Heh, jadi kau muncul karena efek dari chip itu? Kau tertarik untuk memanfaatkannya lewat tubuhku?” Wira menyeringai. Anak buah Wira menjadi tidak konsentrasi dengan tugasnya, bahkan beberapa orang nyaris terlepas pegangan tangannya dari para subjek.
Seringainya dibalas, [“Tidak juga, bodoh. Tapi itu boleh juga, mungkin kucoba lain kali.”]
“Sudah kuduga.”
[“TAPI, bukan itu tujuan utamaku untuk muncul kembali.”] potong lelaki tak kasat mata itu.
“A-apa?”
[“Kau masih bisa berkembang, Wira. Menjadi yang terkuat dari antara yang lain. Sebagai partnermu, aku akan membantu.”] Seringai lebar Dimas tunjukkan di hadapan lawan bicaranya.
“Membantu? Partner?! Omong kosong.”
[“Kita ini sama, Wir. Manusia yang lebih tinggi daripada orang-orang biasa, yang mereka sebut ‘indigo’. Tapi bisa-bisanya mereka memperlakukan kita seperti orang anehtidak waras! Padahal merekalah yang lebih rendah. Mereka lemah. Mereka SAMPAH.”]
Telinga Wira berdengung kuat.
[“Tidakkah kau ingin memperjuangkan derajat kaum kita? Yang seharusnya menjadi ‘pemimpin’ planet ini? Bukankah hanya kita yang bisa memahami kesadaran semesta? Hanya kita yang terpilih dan bukan serangga-serangga rendah seperti mereka!”] Dimas menunjuk dengan penuh kebencian pada sekumpulan subjek dan beberapa anak buah Wira.
Wira tertawa getir. “Aku ini sebenarnya sampah, berarti kau juga.”
[“Tidak, Wira. Seorang dengan nama Prawira Dimas Prakoso bukanlah orang lemah. Kau istimewa.”]
Pemuda berambut indigo itu berdecak, “Terus. Terus saja. Semuanya berkata begitu. Namun aku tetaplah sampah yang tidak bisa berdamai dengan masa lalu… Jadi katakan, apa yang kau maksud membantu ini dengan cara mengubah jalan nasibku? Dengan cara membuatku melupakan seluruh masa laluku?” Terbersit sedikit harapan dalam benak Wira.
[“Yah, aku punya caraku sendiri. Anggap saja ini permulaan. ”] Kedua tangan lelaki itu menyentuh pelipis Wira, manik mata mereka saling mengunci. Jemari Dimas meremas rambut Wira yang acak-acakan.
“B-brengsek, apa yang kau—” Belum selesai berucap, iris Dimas berubah menjadi merah, kemudian matanya terbungkus seluruhnya oleh hitam.
[“Selamat bernostalgia.”] Lelaki astral itu tertawa puas dengan keras di hadapan Wira.
Wira terkesiap, seluruh memori kelam dari masa lalunya dibuka kembali oleh entitas astral keparat itu. Semua diputar cepat di dalam kepalanya. Kuku-kuku Dimas seakan menancap dalam dan menggores isi kepalanya. Sakit, sekujur tubuh Wira seakan kehilangan tenaga untuk melawan.
Dirinya kembali melihat dan mendengar semuanya.
Cercaan.
Aku tak mau melihatnya.
Ketakutan.
Jangan ke sana!
Apa yang kalian lakukan?
Sebutkan.
Aku ini apa?
Amarah.
Jeritan.
Jangan sentuh!
Pergi!
PERGI KALIAN SEMUA!
Darah.
Wira berteriak, begitu keras hingga pada ambang kesadarannya ia melihat wujud Dimas berubah menjadi asap hitam dan merasuk ke dalam tubuhnya. Gelap, semuanya menjadi gelap.
= = =
Theo menatap gemas pada ponsel, panik nampak tergambar jelas pada air mukanya. “Ayo, Rick… kamu di mana…” gumamnya. Sudah kedelapan kali ia menghubungi nomor sahabatnya dan operator membalas dengan informasi jika nomor yang dipanggil berada dalam luar jangkauan. Sekarang ia telah menekan tombol hijau kesembilan kali.
“Ada kabar dari Rico?” suara Kirana menyiratkan kekhawatiran pula melihat reaksi dari Theo. Dalam hati ia menyesal menolak untuk mengangkat panggilan dari pemuda itu beberapa hari lalu. Bisa jadi panggilan malam itu sesuatu yang penting yang berkaitan dengan kondisi Rico saat ini. Kirana menyesal terlalu terbawa rasa cemburu.
“Aku coba memanggil Adrian dan Nico, hasilnya nihil,” ucap Aldo yang baru saja menutup panggilan. “Aku menelpon Surya, katanya ia akan ke sini segera.”
“Memanggil semua partisipan ke sini…” Kirana melihat ke sekelilingnya; lobi kantor pusat Paramayodya nampak penuh seperti saat pendaftaran dulu. “Aku harap bukan sesuatu yang buruk…” ucapnya cemas. “Ah, iya. Aldi udah sempat tanya ke… siapa itu? Mas Haris? Soal chipnya?” lanjutnya bertanya.
Aldo mengedikkan bahu. “Udah. Mas Haris nggak mau ngasih. Masuk akal kalau Mas Haris begitu… tapi mungkin kita akan memikirkan cara lain.”
Theo mengacak-acak rambutnya. “Sialan, saat seperti ini mereka justru tidak ada. Bukannya ini hal penting?”
“Omong-omong, apa alasan mereka mengumpulkan kita ke sini?” Aldo bertanya.
“Kupikir kamu justru lebih tahu, Do.” Theo mendorong pundak Aldo pelan. “Katakan hipotesismu, tuan detektif.”
“Pagi, akhirnya kita bertemu lagi.”
Suara familiar yang cukup lama tak terdengar menyusul, ketiganya menoleh pada seorang pria berkulit sawo matang yang mengenakan trenchcoat cokelat mahoni yang melangkah mendekat. Surya memberi senyum singkat sebelum menghela napas dan berkata, “Barusan aku mampir ke apartemen Adrian…”
“Apa dia masih tidur dan kau tidak ingin menggangunya?” celetuk Theo, dibalas sikutan dari Kirana.
Surya tertawa kecil. “Tidak. Mana mungkin Adrian jam segini masih tidur. Dia, uh… Resepsionis mengatakan bahwa Adrian sudah dua hari tidak ada di tempat.”
“Dua hari? Tidak kembali? Wah wah, jangan-jangan gegara itu, iya kan Kirana?” Theo kembali berucap, ditanggapi oleh tatapan heran dari sepupu Adrian. Kirana menggelengkan kepala melihat kelakuan Theo yang mulai kelewatan.
“Apa? Ada yang tidak kuketahui dari Adrian yang sekarang ini?” tanya Surya menyelidik.
“Apa? Kau tidak tahu? Biar kuberi tahu, sepupumu itu ada indikasi,” Theo memberikan gestur berbelok dengan tangannya kemudian terkekeh. Raut wajah Surya berubah seketika, otot pelipisnya menegang dan kelopak matanya terbuka lebar. Saat itu juga keduanya merasakan sensasi nyeri di tengkuk masing-masing.
“Reaksi ini lagi,” gumam Aldo yang melihat Theo mengelus lehernya. “Tidak bisa menahan diri, eh?”
“Theodorus Mahardika, sebaiknya kamu jaga mulutmu. Apalagi perkataanmu barusan. Apa jadinya jika Adrian mendengarnya?” tegur Surya dengan tegas. Kirana merasakan ada sedikit percikan api dalam perkataan pria itu.
“Hehe, maaf. Aku hanya mencoba mencairkan suasana di sini... Maaf.” Theo berkata dengan canggung. Surya menghela napas dan melihat sekeliling. Partisipan lain pun nampak sama bingungnya. Staf-staf khusus Paramayodya tidak ada di sekitar, yang ada hanyalah petugas keamanan sepeti biasa dan resepsionis yang berjaga di pusat informasi. Menanyakan alasan mengapa mereka dikumpulkan ke sini pada bagian administrasi rasanya percuma.
“Ini aneh, di mana para karyawan departemen yang bertanggungjawab atas proyek ini? Bukankah mereka seharusnya menjelaskan satu dua hal pada kita?” Kirana juga bertanya-tanya.
“Ini bukan jadwal check-up massal kan?”
“Sejak kapan ada jadwal seperti itu, Theo?” ucap Aldo yang dibalas Theo dengan bahu diangkat.
“Sepertinya yang kalian tunggu-tunggu sudah datang,” ucap Surya yang kemudian memberikan isyarat kepada ketiga anak muda itu ke arah salah satu pintu kaca besar. Dari sana nampak seorang wanita bersurai gelap pendek sebahu mengenakan jas lab, beberapa staf lain mengekor dan diiringi tiga pria tinggi besar berpakaian serba hitam.
Para partisipan pun teralihkan, suasana lobi yang riuh mendadak sunyi.
“Perhatian kepada seluruh partisipan terapi kesehatan Paramayodya,” ucap wanita itu melalui mikrofon kecil yang terpasang pada kerah jasnya.
“Terapi kesehatan, iyain aja,” cibir Theo.
“Karena telah terjadi anomali pada banyak partisipan stabil selama dua hari terakhir, kami memutuskan untuk melakukan check-up massal dalam rangka memastikan tidak akan ada lagi partisipan yang mengalami hal serupa. Check-up ini akan berlangsung beberapa hari dan semua partisipan yang hadir di sini akan kami karantina di fasilitas khusus kesehatan milik Paramayodya agar kondisi kesehatan para partisipan terjamin.”
“Yang ada di sini? Berarti ada yang belum ada di sini, atau sudah tidak ada di sini?” gumam Aldo.
“Kami persilahkan untuk para partisipan menghubungi keluarga melalui ponsel ataupun pusat informasi yang kami sediakan. Nantinya kami juga akan memberikan kabar resmi kepada keluarga masing-masing partisipan mengenai hal ini.”
Surya menatap ketiga anak muda itu satu per satu. “Jadi, apa kalian akan memberitahu orangtua kalian?”
Theo mengangkat bahu, “Aku tidak tinggal bersama mereka, jadi tidak ada salahnya kalau jarang memberi kabar.”
Kirana menghela napas, “Itu justru salah, dasar gondrong.”
Mengangkat ponsel mereka masing-masing, ketiga anak muda itu menitip pesan pamit kepada yang mereka percayai. Ayah Kirana terdengar terkejut di seberang sana, wajar mengingat Kirana adalah satu-satunya anak perempuan di keluarga. Namun apalah yang bisa dilakukan jika putrinya memutuskan ikut serta dalam program pemerintah. Theo nampaknya tidak begitu kesulitan berpamitan, terutama pada Stella yang memang sudah tahu sejak awal. Aldo cukup menitipkan pesan pada Aldi.
Pria berkulit sawo matang itu masih bertanya-tanya di mana sepupunya kini berada. Kebetulan salah seorang staf wanita yang mengumumkan perihal karantina tadi melintas, terbersit dalam pikir Surya untuk melakukan sesuatu. “Oke, teman-teman, aku akan bertanya kepada staf tadi lebih detail tentang karantina ini,” ucapnya, dibalas dengan anggukan singkat.
Mendekat ke staf tadi, dengan cepat Surya mendapat tanggapan. Ini sedikit aneh, apalagi dengan kondisi ruangan yang padat. “Ada yang bisa saya bantu?” ucap si staf.
Sedikit berdehem, Surya memulai, “Sebenarnya saya ingin bertanya, soal karantina ini, tepatnya kami akan ditempatkan di mana?”
Seulas senyum tipis nampak di wajah wanita muda itu, “Maaf, Pak. Kami belum bisa memberitahu, ini sudah menjadi kebijakan dari atasan.”
“... Baiklah. Lalu untuk pernyataan Anda tadi, ‘untuk semua partisipan yang hadir di sini’ dan mengenai anomali pada partisipan lain, apakah mungkin partisipan-partisipan lain tersebut sudah lebih dahulu dikarantina?”
“Ah, itu… Iya, sayang sekali. Jujur kami terkejut mendengar laporannya, jadi kami terpaksa harus menangani duluan sebelum terlambat,” balas staf wanita itu lirih.
Surya memandang ke arah lain sejenak, bertaruh kepada apa yang akan ia katakan selanjutnya. “Apakah salah satu dari mereka bernama Adrian?”
“Adrian…? Ada beberapa partisipan yang memiliki nama Adrian...”
“Adrian Adinata Anmar? Yah, dia saudara saya, kebetulan juga mengikuti terapi ini… Saya hanya berharap dia bukan orang yang termasuk, mengingat saya tidak bisa menghubungi dia untuk datang ke sini...”
Kelopak mata wanita itu sedikit melebar, ia kemudian mengambil tablet putih dengan lambang Paramayodya di sisi belakangnya. Untuk sekejap Surya merasa tengkuknya menghangat. Padahal lobi ini cukup dingin karena pendingin ruangan.
Mata staf wanita itu kembali menatap si detektif. “Mengenai Adrian Adinata Anmar, ada yang kami perlu sampaikan kepada Anda. Secara pribadi.”
Surya mengelus bagian belakang lehernya. Ada yang tidak beres. Ia dipersilahkan staf tadi untuk mengikutinya, di belakang Surya dua petugas keamanan dengan setelan jas mengikuti. Entah yang dilihat Surya benar atau tidak, sekilas pada layar tablet yang dipegang wanita itu tertampil foto pria yang mirip dirinya dan sebuah tulisan yang agak besar terbaca Radheya Ali Surya.
Mereka berjalan menyusuri kerumunan menuju sebuah koridor dengan jendela besar yang mengarah ke halaman depan kantor pusat, di sisi satunya terdapat pintu-pintu yang tertutup rapat. Janggal.
Surya merasakannya. Tiap langkah menjauh dari lobi, koridor ini semakin sepi.
“Tidak bisakah kita membicarakannya sambil jalan?” tanya Surya, sedikit nada curiga tercampur dalam ucapannya.
Tanpa menoleh sedikitpun, si wanita staf menjawab, “Sebentar lagi kita sampai.”
Benar, cukup beberapa langkah singkat untuk mereka sampai di depan sebuah pintu pertama setelah koridor berbelok. Wanita berjas putih itu lalu menempelkan jarinya pada pemidai di sebelah pintu, mengetikkan password dan menggesek kartu identitasnya sebelum mekanika otomatis membukakan pintu itu untuk mereka. Tablet putih yang dipengang oleh wanita itu lalu di letakkan di atas meja di tengah-tengah ruangan sebelum mengambil satu dari empat kursi kosong yang mengelilingi meja.
“Baiklah, saya ingin mendengar soal Adrian,” kata Surya yang kemudian duduk di hadapan wanita itu. Wanita tersebut melirik sebentar ke arah tabletnya.
“Saudara Anda ini, memang termasuk partisipan yang lebih dahulu dikarantina.”
“Apa? Apakah terjadi anomali—”
“Tenang, Tuan Radheya Ali Surya. Adrian tidak mengalaminya, hingga saat ini. Sebaliknya, ia kami dahulukan karena ia istimewa. Demikian juga anda.” Wanita itu tersenyum, Surya tak mampu mereka-reka apa yang ada di baliknya.
“Istimewa? Maksud anda—” Seketika pria bersurai biru gelap itu merasa kedua tangannya dipegangi dengan erat dan sensasi menusuk yang dalam mengenai sisi lehernya. Pandangannya kabur, tubuhnya melemah.
Dalam benaknya, Surya menyumpah. Tak lama, dirinya ambruk di atas meja.
= = =
Sementara itu di sebuah kompleks laboratorium  besar, kurang lebih 323 kilometer timur laut dari Kantor Pusat Paramayodya.
Cahaya toska redup mengisi sebuah ruang heksagonal dari lampu kecil yang ada di tiap sisinya. Dingin dan segar, atmosfernya menenangkan. Seorang pemuda terbaring di sebuah tempat tidur medis dan setengah meter di atasnya sebuah alat pemindai sedang bekerja. Iris kobaltnya menatap lurus ke atas, entah apa yang ada di pikirannya.
Sebuah senyum tipis terulas di wajah seorang pria yang mengamati pemuda itu dari balik kaca. Sejenak kemudian ia melihat ke layar monitor staf yang mengoperasikan pemindai tersebut.
“Bagaimana kondisi tubuh bioplasmanya? Juga dengan peluang gen pembawa pada sekuens DNA-nya?” tanya pria itu.
“Memang, kepadatan energi pemuda ini sedikit di atas rata-rata dan kans pada DNA-nya cukup tinggi. Chip telah bekerja dengan baik, terlihat dari kesadaran inderanya yang lebih tajam dari manusia biasa. Tetapi...”
“Tetapi?”
“Saya belum melihat sesuatu yang benar-benar istimewa di sini, Pak Gama.”
“Tidak apa-apa, mungkin belum. Dengan kondisinya yang stabil saja sudah bagus. Perkembangan tiap individu itu berbeda, bukan?”
Jempol tangan mengusap bulatan logam pada tongkat yang ia pegang. Tanpa melepas senyum, Gama kembali mengamati pemuda dua puluh tahun yang terbalut pakaian putih itu. Biodata mengatakan bahwa ia adalah atlet bela diri—Gama sedikit heran mendapati posturnya yang sedikit lebih ramping untuk itu. Kemudian, rekor akademis yang gemilang menandakan bahwa pemuda ini berbakat.
Tawa kecil terselip. Teringat pertama kali bertemu dengan pemuda ini, kedoknya nyaris lepas.
Adrian Adinata Anmar. Memang individu yang menarik.
“Boleh saya mengajak berbicara dengan Adrian sebentar?” Gama lalu bertanya.
Stafnya mengangguk. “Silahkan, Pak. Kebetulan juga proses scanning sudah selesai,” ucapnya, dilanjutkan dengan membukakan pintu ruangan di mana Adrian berada lewat tombol panel yang dipegangnya.
Pemuda yang terbaring di tempat tidur medis itu kemudian duduk di tepiannya. Berkedip beberapa kali, Adrian memperoleh fokus penglihatannya sebelum menoleh kepada seorang yang baru saja memasuki ruangan.
“Selamat pagi, Adrian.”
“Anda… Anda... Pak Gama...?” Masih terpatri di ingatannya, wajah ‘dokter syaraf’ yang ia temui di gedung pusat Paramayodya lengkap dengan jas hitam panjang beraksen emasnya, kecuali kini ia tidak memakai sarung tangan kulit yang tebal.
“Panggil saja ‘mas’, seperti waktu bertemu di lab dulu.” Sebuah tawa pendek terselip setelah Gama berucap.
“Apakah Anda ke sini juga untuk—Oh.” Pertanyaan Adrian berhenti setelah memperhatikan kembali setelan pakaian yang dipakai Gama, otaknya berpikir cepat. “... Anda salah satu orang penting Paramayodya, bukan?”
Senyum tipis terulas pada wajah Gama. Ia memutar badannya menghadap ke tembok, membelakangi Adrian yang masih duduk di tepian tempat tidur.
“Benar. Jadi… biar saya memperkenalkan diri sekali lagi.” Gama menghela napas, masih tersenyum, berkata, “Saya Gamananda Agastya, kepala organisasi riset Paramayodya dan pemrakarsa proyek terapi ini.”
Adrian tertawa kecil. “Terapi? Bukan Proyek Homunculus, Mas Gama?”
Gama melirik dari sudut matanya, seringai tipis menggantikan senyumnya. “Dugaan kami benar, kau sudah mengetahui kebenaran proyek ini.” Ia mengetukkan tongkatnya dan berbalik menghadap pemuda itu, “Kira-kira sedalam apa yang kau tahu, anak muda?”
Adrian turun dari tempat tidurnya dan berdiri, iris kobaltnya menatap lurus pada manik abu Gama. “Selain nama dan kedok dari proyek ini, saya belum mengetahui apapun.” Ia menelan ludah, berharap pria di hadapannya tidak dapat membaca apa yang ia sembunyikan di balik tatapannya.
“Ah, tentu. Pemuda cerdas sepertimu pasti dengan mudah menebaknya. Apalagi yang kau ketahui, cara kerja chip atau bahkan tujuan proyek ini sebenarnya, mungkin?” Senyum kembali Gama pasang di wajahnya. Pemuda ini, pasti tahu lebih dari itu, pikirnya.
Apalagi dengan adanya informasi dari sepupumu. Bukan begitu, Adrian?
“Tidak. Mengenai cara kerja chip, itu sesuatu yang berbau teknis. Bukan bidang saya untuk menalarnya.” Adrian berusaha membuat tatapannya tetap meyakinkan. Karena ia tahu, sedikit saja informasi dari Surya tergelincir dari bibirnya, sepupunya, bahkan Venndra, mereka akan berada dalam bahaya.
“Menalar, ya… Bisa saya bilang, kamu memang pemuda yang di atas rata-rata, Adrian. Kau ini berbakat.”
Sepersekian detik, Adrian hening. “Mas Gama, apa ini ada hubungannya dengan perkembangan fisik saya yang signifikan? Seperti pada indera sensoriku?” tanyanya kemudian.
Ah. Berusaha menutupi, Adrian? batin Gama.
“Salah satunya, tetapi ada yang lebih lagi di dalam dirimu.”
Kebangkitan homunculus, pikir Adrian. Mengingat apa yang diceritakan Surya kepadanya berwaktu-waktu lalu, terbukti proyek ini ada untuk memenuhi tujuan itu. Adrian menjadi salah satu yang terpilih.
Pasti karena itu.
“Kami membawamu ke sini, bersama yang lain nantinya, untuk mengembangkan sisi lain yang tersembunyi dalam diri manusia. ‘Terapi kesehatan’ tidak pernah ada—hanya sebuah alasan yang kebetulan adalah fakta dari pengaruh chip yang kami kembangkan pada sistem regenerasi manusia. Saya sendiri pun dalam tahapan yang sama sepertimu.” Sekilas muncul percikan listrik pada tangan Gama yang menggenggam tongkat.
Adrian tentu tidak luput melihatnya. “Bagaimana—”
“Reaksi yang cepat. Barusan tadi adalah manifestasi energi saya dalam bentuk listrik.”
“Maka pada waktu itu, Mas Gama mengenakan sarung tangan kulit,” ungkap Adrian, tatapan matanya sedikit menajam.
“Begitulah. Sampai tongkat yang saya pegang ini dibuat. Kemudian, saya belum tahu pasti apakah orang lain memiliki manifestasi serupa, tiap individu itu unik. Milikmu pun bisa jadi berbeda. Lagipula, masih sedikit orang yang berhasil memanifestasikannya… termasuk saya,” Gama menjelaskan.
“Yang lain? Mas Gama berniat mengumpulkan partisipan yang lain di fasilitas ini juga?” Surya, Theo, Kirana, Aldo. Adrian berharap mereka dapat kembali bertemu.
“Ya… walaupun saya tidak menyangka akan secepat ini. Apa yang terjadi pada temanmu itu sungguh mengejutkan. Sayang sekali mitra laboratorium harus kehilangan sementara satu orang terbaiknya… Dia ada di ruangan lain sekarang, masih dalam pengawasan ketat.”
IO Technologies terlibat dalam proyek ini, dugaan Adrian terbukti sudah.
“Lalu temanmu yang satu lagi, adik dari… Nicolaas? Ya, Rico Hendriksen. Kemampuan fisiknya juga berkembang signifikan walau tidak begitu terlihat dari luar. Dia ada di ruangan yang berbeda lagi. Walaupun begitu, dia belum bisa menyamai perkembangan yang ada pada dirimu, partisipan berharga kami.” Gama menyimpulkan, senyumnya mengembang sedikit lebih naik.
Adrian teringat tanpa ragu ia mengungkapkan niatanya mengikuti proyek ini, walau Surya sudah memperingatkan betapa berbahayanya eksperimentasi manusia yang dilakukan Paramayodya ini dan pandangan teman-temannya bahwa Adrian mungkin terkesan bodoh, mempertaruhkan hidupnya untuk ilmu pengetahuan.
Tetapi semua itu tak menghentikan tekad yang sudah terpatri dalam benaknya.
Kalimat itu pun lepas dari lidah Adrian. “Tujuan proyek ini mulia, Mas Gama. Demi kebaikan umat manusia. Saya mengharapkan itu.”
.
Ah, terima kasih Adrian. Karena sudah menemukan kembali lembaran yang hilang dari tumpukan dokumenku yang kini kembali terpampang di hadapanku.
.
“Benar. Kita tentu mengharapkan yang terbaik untuk semuanya…” Sedikit memberi jeda, Gama melanjutkan, “Nah, saya kira cukup percakapan kita kali ini. Saya harus kembali mengurus ini dan itu. Sesi check-up pertamamu sudah selesai, sebentar lagi sesi kedua akan dimulai, Adrian.”
Baru beberapa langkah menuju pintu keluar, Gama berhenti. Adrian mengamati punggung leher pria berambut gelap itu. Ia memicingkan mata, sebuah pendaran tidak biasa seolah merambat di sana.
“Ah, satu hal lagi. Percakapan pagi ini, saya harap kamu tidak memberitahukannya kepada siapapun melalui apapun.”
Hening sekian detik, Gama tertawa pelan. “Saya lupa. Kamu tidak mungkin melakukan itu. Karena…”  Gama melirik sedikit pada Adrian, mengakhiri, “Saya yang berwenang di sini.”
Entah apa yang dilihatnya, Adrian melihat warna hitam sempat membungkus sklera Gama dan irisnya menyala emas terang sebelum ia berlalu keluar ruangan.
Pria ini, bukan lagi pria yang ia temui di ruang tunggu waktu itu.
Ia harus lebih berhati-hati.
Saudara Adrian, dimohon bersiap untuk tes sesi kedua. Suara dari staf Paramayodya membuyarkan pikiran pemuda itu, ia kemudian kembali berbaring di tempat tidur medis dan seorang staf lain masuk, menambahkan tabung kaca berisi cairan berwarna biru pada lengan injeksi mesin bedah robotik.
“Mohon tetap tenang, ya? Kami akan menyuntikkan serum khusus padamu. Ini tidak berbahaya, kok.” Staf itu berucap dan kemudian kembali keluar, diikuti bunyi desis pintu hidrolik.
“Kondisi subyek masih stabil, Pak. Tes kedua siap dilaksanakan,” ucap operator mesin yang berada di balik kaca bersama Gama.
“Berikan padanya,” perintah Gama.
Jarum ditusukkan pada leher Adrian. Sedikit nyeri, namun pemuda itu masih bisa menahannya.
Tapi, rasa kantuk apa ini yang seketika hinggap?
“Serum sudah diberikan, Pak. Gelombang otak subyek mulai menurun, beta menuju teta dalam hitungan detik.”
“Alat neuro-visual tipe subconscious(1) siap dipasang dan dioperasikan,” operator lain melapor.
Kesadaran Adrian makin menurun, pandangannya kabur dan perlahan menggelap. Sensasi melayang-layang, tubuh yang terasa menjadi ringan. Kemudian ia merasa seperti terjatuh ke lubang yang dalam, namun terhenti karena sebuah sensasi lain yang mendatanginya.
Hembusan napas yang hangat di tengkuk dan suara berat nan dalam yang memanggil namanya.
Tunggu, ini tidak benar.
Iris rubi yang menatapnya tajam seolah membakar sesuatu dalam diri Adrian. Seingatnya tidak ada siapa-siapa di ruangan gelap ini, hanya dirinya dan rangkaian tangan robotik. Pasalnya, di pipinya terasa adanya lima jemari yang tersusun atas tulang, daging, dan kulit, tengah mengelus lembut.
Perlukah disebut adanya beban asing yang entah dari mana kini sedang menindih tubuhnya?
“Lihat jauh di dalam dirimu, Adrian...”
Suara ini terdengar sangat familiar, sangat dekat dengan wajahnya. Adrian berkedip beberapa kali, hendak mengembalikan intensitas cahaya ke dalam mata agar mampu melihat jelas siapa yang berbicara barusan.
Merah. Merah. Merah.
Panas sekali.
Seringai. “Kau menginginkan ini, kan?”
Melihat sosok yang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya itu, Adrian tidak tahu apakah ia harus menyesal atau berteriak minta tolong pada sedetik kemudian.
Tenggorokan tercekat, suaranya hilang. Ia tidak berdaya.
= = =
“Pembacaan visual alat ini kurang jelas, namun dilihat dari kadar hormon, tekanan darah, dan... reaksi... fisiologisnya... uh, pemuda ini...” Sang operator tidak melanjutkan kata-katanya. Antara ingin menjaga kesopanan atau malu mengungkapkannya.
Gama tersenyum simpul, ia mengetahui tanpa harus melihat jelas ke layar. Di alam bawah sadarnya, Adrian tengah ‘melawan’ sisi gelap hasratnya.
Sebuah tawa terselip di bibir Gama. “Pantas saja Dana menyukaimu.”


# # # Continued in the Next Chapter # # #
  1. wSubconscious: Alam bawah sadar.

(A/N)
Fay: *ketawa dari jauh*

Agon: Permulaan yang menarik untuk arc yang baru.

No comments:

Post a Comment