Saturday, July 18, 2015

Case #5

“Nicolaas Hendriksen?”
“Ya? Itu saya. Sebentar, Anda ini kan…?”
“Daniel Dimara. General Manager IO Technologies. Senang bertemu denganmu.”
“W-wa…? OH! Ya, ya, ya! Senang bertemu dengan Anda ju—”
“Hahaha! Sudah, tidak perlu formal. Saya juga baru 28 tahun.”
“Kak Dimara, boleh?”
“Silahkan, silahkan!”

= = =

Variable X

Case 5: Eyes

= = =




Universitas sedang merayakan hari besar. Setiap fakultas yang ada telah meluluskan anak-anak didiknya. Aula Besar nampak penuh oleh deretan mahasiswa bertoga dan hadirin berbusana formal. Saat ini, seluruh pasang mata mengarah pada sebaris mahasiswa-mahasiswi terpanggil namanya yang kemudian berdiri di atas panggung sana.
Rico, yang kini duduk di barisan tengah dengan setelan jas lengkap, tersenyum ketika nama lengkap kakaknya disebut. Ia lirik seorang pria paruh baya kaukasian di sebelah kanannya tengah meringis dengan kedua lengan disilangkan di dada, kemudian pandangan manik biru pucatnya berpindah pada wanita keibuan berkulit sawo matang tengah menarik secarik tisu untuk matanya yang sembab.
“Aku juga bangga kok, Ibu,” ucap Rico, ia letakkan telapak tangannya dengan lembut di pundak wanita tadi dan dibalas dengan senyuman haru. Sesaat kemudian, wanita itu beranjak bersama pria kaukasian di samping Rico—suaminya—setelah nama mereka disebut untuk mendampingi putranya di panggung.
Nico di sana memamerkan senyum lebar ketika gelar summa cum laude secara resmi ia terima.
Satu tahun sudah berlalu, begitu cepat seakan tak terasa mereka akan segera beranjak ke dunia orang dewasa.
Seluruh peserta undangan mulai beranjak dan menyebar ketika rangkaian acara penutup usai pada akhirnya. Pintu besar aula terbuka, memberi jalan masuk bagi orang-orang yang menanti untuk bertemu kawan dan saudaranya. Mereka memberi salam, sapa, dan ucapan dalam suasana ceria. Di sisi pojok ruangan yang berupa deretan jendela besar, nampak sekumpulan muda-mudi sedang bercakap dan di tengah-tengah mereka, pemuda bersurai merah dan biru gelap nampak menggenggam map berisi ijazah serta sebuah gulungan di tengah kerumunan. Keduanya masih lengkap memakai jubah akademik, topi serasi mereka pegang di tangan satunya.
“Wah, wah… Dua teman jenius kita sudah punya gelar sarjana sekarang.”
“Hei, hei nanti kalian juga akan menyusul.”
“Ciee lulusnya barengan~”
“K-Kirana apa-apaan sih?!”
“Ngomong-ngomong kita perlu rayain nih, ada tiang penyangga nganggur tuh.”
“Suplek? Kamu berani suplek Dana?”
“...”
“Sayang Reza nggak bareng kita lagi. Tapi apa boleh buat kalau dia memutuskan untuk pindah ke kampus lain…”
“Ngomong-ngomong, kakakmu di mana, Rico?”
“Ah! Dia ada di sana, sama Ibu-Ayah, sedang berbincang dengan seseorang.”
“Eh? Oh! Ckckck, ya bagaimana lagi? Kira-kira siapa cepat dia mendapatkan kakakmu, kan? Perusahaan keluarga kalian, Aldo, Aldi, beruntungnya.”
Kedua pemuda kembar di kelompok itu membalas dengan senyum.
Sepasang manik rubi melihat ke arah yang ditunjuk oleh Rico barusan. Dugaannya benar, ia melihat pemuda kulit putih dengan surai jabrik bandel yang ditemani kedua orangtuanya sedang bercakap-cakap dengan Daniel. Seringai tipis Dana sekilas nampak. Adrian melihat itu, namun ia menganggapnya sebagai hal yang biasa.
“Ah iya, Rico.”
Yang disebut pun menoleh, “Apa, Kirana?”
“Kamu dan Nico ini kakak-adik, tapi kok sedikit… beda?”
“Sepertinya aku belum pernah cerita, ya… Jadi, aku dan Kak Nico punya ibu yang berbeda,” Rico menjawab, disahut dengan ‘oh’ dan anggukan kepala teman-temannya. Pemuda bersurai cokelat itu lalu tersenyum canggung, melanjutkan, “Uhm… Ibunya Kak Nico meninggal setelah melahirkan.”
Keheningan mengisi lingkaran itu hingga dengan pelan Theo menanggapi, “Oh… M-maaf.”
Rico hanya tersenyum, membalas, “Haha, tidak apa-apa. Lalu, Ayah menikah lagi dan di sinilah aku.”
Dapat dirasakan atmosfer kembali ringan dengan baliknya senyum di wajah mereka.
“Jadi… Kalian berencana mau ke mana setelah ini?” Theo memulai, berusaha mencairkan suasana, “Adrian?”
Pemuda oriental itu nampak berpikir. “Entah ya, sebenarnya sudah ada beberapa tawaran. Tapi di sisi lain, aku ingin lanjut ambil Master,” ungkapnya.
“Sudah kuduga dari seorang bintang universitas.” Dana memberikan komentar sambil menyilangkan tangannya di dada.
“Akhirnya kau bicara juga, Dana.” Theo menimpali, dibalas Dana hanya dengan satu kedikan bahu.
“Oh iya, Dana mau lanjut ke mana?” giliran Kirana yang bertanya.
Dana melirik pada langit-langit. “Entah… Mungkin mencari pekerjaan. Entah di kota ini atau kota lain.”
“Hei, hei, kau tahu itu bukan pernyataan yang jelas, kan?”
“Sudahlah, Theo. Mungkin Dana ingin mengejutkan kita nanti,” ujar Stella yang kemudian merangkul lengan Theo.
“... Baiklah.”
Waktu berlalu seiring mereka saling bertukar kata dan sesekali, kenangan. Semua kecuali Dana dan Adrian tentunya, telah menduduki tahun terakhir. Sudah saatnya bagi mereka menyiapkan diri untuk satu tugas pamungkas serta berencana menyongsong mimpi mereka kelak.
Kedekatan dan kehangatan menyelimuti kelompok pemuda itu seolah tak pernah terjadi apapun hingga saat ini.
Terdengar ponsel di saku Adrian berbunyi.
“Angkatlah, mungkin sesuatu yang penting,” Kirana berujar.
“Ah, ya. Sebentar ya.” Adrian memberikan isyarat dengan tangannya. Ia berbalik kemudian melihat ke layar smartphone-nya.
Surya.
Dengan sedikit gugup, ia geser tombol hijau di layar, kemudian mendekatkan speaker ke telinganya.
“Halo, Surya?”
“Hai, Adrian. Selamat untuk kelulusanmu.” Suara berat khas sepupunya terdengar dari seberang sana.
“Ah, terima kasih, Surya. Aku berharap kau bisa datang.”
Terdengar helaan napas dari lawan bicaranya, ”Kuharap aku bisa. Kau tahu sendiri kesibukanku, bukan.”
“Kasus, kasus, dan kasus?” canda Adrian kemudian dibalas dengan tawa kecil dari seberang.
“Bapak-ibu datang?”
Adrian menghela nafas lesu. “Sayangnya tidak bisa... Tapi tadi pagi mereka sudah mengabariku, tenang saja.”
“Baiklah, mungkin ini waktu yang kurang tepat, Adrian. Tetapi, kau ingat dengan perbincangan kita di apartemenku?”
“Di apartemenmu? Ayolah, sering sekali aku ke sana hingga aku tidak bisa mengingat yang mana.”
“Tentang, ehm, proyek rahasia itu. Kau ingat?”
“... Proyek? Proyek yang mana?”
Terjadi jeda waktu sebelum Surya membalas, “Proyek Homunculus. Paramayodya. Apa kau serius untuk ikut serta dalam proyek itu?”
Senyum di wajah Adrian memudar. “Uh, tunggu sebentar. I-ini serius, kan?” Adrian sekilas melihat ke arah kawan-kawannya yang mulai memandangi dirinya penasaran.
“Kau pikir aku bercanda?”
“Bukan, maksudku… Sudah berapa lama sejak terakhir kau kabari aku tentang ini? Katamu waktu itu, persiapannya akan selesai dalam waktu dekat. Bukankah proyek itu juga akan segera dilempar ke publik? Satu tahun sudah lewat dan… selama ini aku tak melihat tanda-tanda apapun!”
Kembali terdengar helaan napas di seberang, “Nampaknya mereka melakukannya dengan sangat rapi, Adrian. Polisi juga belum menemukan aktivitas mencurigakan di sana. Selain itu, sudah tiga bulan ini Venndra tidak memberikan informasi kepadaku. Entah apa yang terjadi padanya, kuharap dia baik-baik saja.”
Kening Adrian berkerut. “Apa? Kau berasumsi proyek mereka sudah bocor dan membuat pihak dalam tutup mulut? Mungkin saja proyek itu dibatalkan atau bahkan tidak pernah ada!”
“Tunggu dulu. Dulu kau sendiri yang bilang kalau kau akan serius ikut serta dalam proyek itu. Aku percaya proyek itu ada dan masih berjalan tanpa orang tahu. Sekarang kau menyangkal eksistensinya?”  balas Surya.
Theo yang melihat gelagat aneh dari Adrian mendekati pemuda itu dan menepuk pundaknya. “Baik-baik saja kan?”
Adrian yang masih nampak berpikir kemudian terkesiap dan dengan canggung mengisyaratkan kepada kawan-kawannya bahwa ia baik saja.
Sorot keraguan dari kedua piringan kobalt itu tak luput dari Dana, sayangnya.
“Dengar, Surya. Aku sedang bersama teman-temanku, ada baiknya kau menghubungiku lagi nanti. Oke? Terima kasih.”
“Adrian, tung—” Nada monoton terdengar dari speaker ponsel Surya, percakapan mereka ditutup oleh Adrian. Di seberang sana, Surya menaruh ponselnya di meja dan menghempaskan tubuh di kursi ruang kerjanya.
“Sial.”
.
“Tadi itu siapa?” Kirana ingin tahu.
“Sepupuku, Surya. Membicarakan hal-hal yang tidak masuk akal.” Adrian memutar bola matanya.
“Hal-hal tidak masuk akal? Contohnya?” selidik Rico.
“Kalian masih ingat dengan… Err… Itu, proyek eksperimentasi manusia oleh Paramayodya? Yang kita selidiki tahun lalu?”
Mata Dana memicing ketika mendengar nama organisasi itu.
“Proyek Homun… Homun… Halimunan?” tebak Theo.
“Ah, itu... Sampai sekarang tidak ada apa-apa bukan? Tidak ada hal mencurigakan yang dilakukan oleh Paramayodya hingga sekarang ini.” Kirana berkomentar. “Huh, sudah kuduga Si Pantat Bebek cuma sembarangan ambil.”
“Mungkin… Kecuali satu.” Aldo angkat bicara. “Aku pernah membaca dokumen resmi, kerjasama Paramayodya dengan IO Technologies.”
“Maksudmu mengintip, Do?” Aldi berujar setengah bercanda.
Aldo mendecak, melanjutkan, ”Di sana dicantumkan bahwa kedua organisasi sedang bekerja sama dalam ujicoba alat kesehatan, entah apa namanya.”
“... Terus hubungannya?” Kirana menaikkan alisnya skeptis.
“Alat kesehatan… Ah! Rumor dari 3 bulan yang lalu,” Rico berujar setelah mengingat sesuatu, memancing seluruh pasang mata mengarah padanya. “Tidak jelas dari mana sumbernya, tapi katanya ada alat kesehatan baru—semacam kapsul—yang ditanamkan di tubuh. Orang-orang yang di tubuhnya ditanamkan alat itu daya tahan tubuhnya meningkat drastis, dan bagi mereka yang berpenyakit akan sembuh. Semua penyakit, entah bawaan genetik atau bukan.”
“Wow, wow, wow… Kita tidak berbicara soal alat macam pijat inframerah atau korset dengan magnet batu alam bukan?” Theo berkomentar lagi yang kemudian ditanggapi Stella dengan diinjaknya kaki pemuda berambut panjang itu.
“Sudahlah.” Dana kembali angkat bicara, “Buat apa membicarakan rumor yang belum tentu kebenarannya? Apa kita masih punya waktu lagi untuk mengurus hal tidak penting macam ini?”
Kelompok pemuda itu termenung. Satu dua menghela nafas lesu, yang lain melempar pandangan ke arah tak tentu.
“Yap, Dana benar,” gumam Aldo. “Orangtua berencana untuk menyekolahkanku dan Aldi lagi.”
“Aku harus siap-siap skripsi…” Kirana mengeluh.
“Aku ingin buka clothing line setelah lulus nanti. Nggak menyangka kuliah benar-benar padat. Belum ditambah kegiatan organisasi. Mau sambil kerja di luar hampir nggak ada waktu,” Theo menambahi.
“Tapi bagaimana dengan informasi yang diperoleh Adrian dulu?” Rico kembali mengungkit, “Bukankah itu dari sumber terpercaya?”
Dana mengangkat satu alisnya, “Sumber terpercaya? Siapa?”
“Sepupuku, Surya. Yang tadi telepon. Dia detektif,” jawab Adrian.
“Detektif? Dari mana dia mendapatkan informasi?”
“Hai semua~” Tiba-tiba Nico bergabung dan merangkul Adrian dari belakang. “Heee? Kenapa kalian ini? Kenapa suasananya muram begini? Kalian harusnya ikut senang, dong!”
“Kau ini menyebalkan seperti biasa ya, Nico.” Adrian melepaskan tangan Nico yang merangkulnya namun Nico memaksa untuk merangkul pemuda berwajah oriental itu kembali.
“Hei, hei, menyebalkan gini aku lulus summa cum laude~ Selain itu, aku ditemui langsung oleh General Manager IO Technologies. Kamu lihat kan, tadi? Kurang keren apa, coba?”
Aldo dan Aldi yang mendengar itu hanya tertawa masam. Dana menatap pemuda pirang jabrik itu dengan tatapan jengah.
“Ngomong-ngomong, GM tadi… Merekrut kakak untuk bekerja di sana?” Rico bertanya.
“Semacam! Yah, mungkin seperti magang begitu. Tapi tak apa, yang penting punya kerja di perusahaan bergengsi. Bukan begitu, Adrian?” Nico mempererat rangkulannya.
“Ah terserah, lepaskan aku, Nico!” Adrian mengangkat lengan Nico paksa sehingga terbebas dari rangkulannya. “Kuperingatkan, ya. Gelarmu bukan segalanya,” sambungnya, tangan merapikan lekukan-lekukan tipis pada toganya.
Nico hendak membuka mulutnya untuk membalas, namun yang keluar justru seruan panik. Mendadak ia dikerubungi, kedua lengan dan kakinya ditahan sebelum tubuhnya diangkat beramai-ramai. “APA-APAAN INI?!” pekiknya. Matanya menangkap Adrian yang masih berdiri di depannya kini memberinya seringai tipis.
“Asik sendiri, sih! Nggak lihat kan, kita tadi bisik-bisik di sini!” sahut Theo yang menahan salah satu lengan Nico.
“Kita ingin memberimu kejutan, kak. Memang awalnya seperti ini, tapi jangan khawatir, ya!” timpal sang adik yang menahan di lengan Nico yang satunya lagi. “Kakak lulus dengan predikat terbaik, kita pikir kakak harus diberi hadiah!”
Yang lain saling menimpali seiring mereka mengarak Nico keluar aula, Adrian bersama Dana mengikuti hanya sampai teras. Dari kejauhan nampak kerumunan itu mengarah pada tiang yang disebutkan tadi, pekikan panik Nico yang menjadi pun sampai pada telinga Adrian. Kemudian tawa tertahan terselip keluar dari bibirnya ketika ia menyaksikan apa yang terjadi berikutnya.
“Bahkan seorang summa cum laude pun takkan bisa lolos dari suplek,” komentar Adrian sambil membenarkan letak kacamatanya.
Tak sadar bahwa ada satu orang yang tidak terpengaruh suasana kini menatapnya tajam dari balik punggungnya.
===
Lampu-lampu jalan mulai menyala, sinar mentari mulai redup di ufuk barat. Dua pemuda dengan kemeja dan celana kain serta membawa tas berisi setelan toga berjalan menyusuri trotoar.
“Ternyata wisuda itu capek juga ya, Dana.” Adrian berkomentar.
Dana hanya membalas dengan gumam mengiyakan. Pikirnya masih tak bisa lepas dari pernyataan Adrian siang tadi. Ingin rasanya mengorek informasi lebih dalam, namun bagaimana?
Tak satupun melanjutkan pembicaraan hingga langkah kaki mereka mencapai tepi marka penyeberangan, menunggu lampu rambu pejalan kaki berpindah warna. “Uh… Tadi kamu mendengarkan apa yang kubicarakan dengan sepupuku, kan?” mulai Adrian.
“Huh? Tentang apa? Yang aku tahu kau sibuk menelepon. Itu saja.”
“Err… Baiklah.”
“Kau yang bercerita kepada yang lain soal proyek itu?”
“Memangnya kenapa?”
Sesaat lampu berganti warna menjadi hijau, mereka berjalan di atas marka hingga ke trotoar seberang dan terus melangkah. Adrian melirik ke arah sahabatnya, manik rubi dibalik kacamata Dana menatap tajam pada jalan di depannya.
“Lanjut?” Dana membalas datar.
Adrian berkedip, bingung. “Kenapa tiba-tiba kau tertarik dengan topik ini? Bukannya kau sendiri tadi yang bilang untuk melupakan—WHA—?” Mendadak lengannya ditarik kencang sebelum ia rasakan punggungnya menghantam tembok pada suatu gang sempit gelap yang memisahkan dua gedung tepat selangkah menyamping dari posisi Adrian sebelumnya. Ia dapati sorot dingin Dana yang menusuk, sedetik kemudian ia sadar bahwa pemuda bersurai merah itu yang menahan dirinya dengan  mencengkeram kuat satu pundaknya.
“D-D-Dana?! Apa-apaan—”
“Dari mana kau tahu tentang proyek ini?” Dana mendesis.
“H-hah…?”
“Adrian.”
Adrian gugup, belum pernah ia lihat Dana seperti ini. “Uh-umm—kau sendiri ingat rumor setahun lalu, kan? K-kupikir juga itu hanya sekedar rumor tapi lalu aku diberitahu sepupuku...?”
“Apa saja yang ia sebutkan kepadamu?”
“Y-yah… Tentang teori, teori… penulisan ulang DNA? K-kemudian tahap eksperimen? Dana, sudah s-setahun berlalu dan aku lupa apa saja yang ia katakan padaku!”
Dana tak merespon, ia justru seinci mendekat, mengurung Adrian dengan satu lengan. Kepalanya menoleh pada mulut gang di mana ia dapat melihat beberapa manusia dan kendaraan yang berlalu lalang.
“Uh… Dan?” sebut Adrian, nada bicaranya menunjukkan ketidaknyamanan.
“Kamu tak melupakan semuanya,” ucap Dana.
“Apa maksudmu?”
“Seharusnya kau tahu.”
“Dana, sebelumnya bisa tolong menjauh sedikit?”
“Sepupumu tadi? Kau sebut dia detektif, kan? Kau masih mengikuti perkembangannya.” Piringan rubi itu kembali menatap mata Adrian yang lambat laun menyempit.
“... Jadi proyek itu sungguhan.”
Dana diam sejenak, berpikir. Sebuah keputusan beresiko terlintas dalam kepalanya, namun demi menggali informasi, itu sebanding. “Baiklah, jika kau tidak mau bicara cuma-cuma. Mari kita buat kesepakatan,” mulainya.
“Kesepakatan...?”
“Aku juga tahu beberapa tentang Proyek Homunculus.”
Manik kobalt Adrian melebar. “Sejauh mana yang kau tahu?”
Seringai lalu berkembang di wajah pemuda berambut merah itu. “Heh. Seperti Adrian yang kukenal dengan rasa ingin tahunya,” ujarnya, “Mudah. Kuberitahu kau apa yang aku punya, kau beritahu aku apa yang kau tahu. Tapi satu hal: biarkan ini jadi rahasia kita saja.”
Adrian menelan ludah. Bukankah ini sebuah kesempatan. Ia gelengkan kepalanya cepat. Entah mengapa perasaannya tidak baik. “Kenapa rahasia? Ah, m-maksudku—buat apa kau sampai menarikku ke gang sempit ini hanya untuk mengatakan itu? Kau tidak mungkin terlibat di proyek itu, kan?” tebaknya asal.
Dana hanya menatapnya lurus. “Menurutmu?”
“... Tidak mungkin.”
“Adrian, aku belum menyatakan apapun dan mengkonfirmasi apapun. Simpanlah tebakanmu. Ini kesempatan mengetahui kebenaran yang lebih penting daripada mempertanyakan aku terlibat proyek itu atau tidak.”
Dana benar, informasi darinya bisa saja menjadi petunjuk untuk membuktikan eksistensi proyek ini dan sejauh apa mereka sudah menjalankannya. Sisi lain, ini bisa banyak membantu Surya, pikir Adrian.
“Tetapi aku tekankan sekali lagi. Ini. Rahasia. Antara. Kita. Berdua. Entah apa yang akan mereka lakukan kalau kau sampai ketahuan menyebarkannya.”
Adrian kembali menelan ludah, berharap Dana tidak dapat membaca pikirannya tadi. “Baiklah, Dana. Kau mulai duluan.”
“Tidak. Aku ingin mendengar informasi yang kau peroleh lebih dahulu.” Seringai Dana melebar.
“Tapi tolong menjauh dariku sedikit.” Nada Adrian sedikit menegas.
“Jika aku tak mau?” balas Dana, mencondongkan tubuhnya maju hingga Adrian benar-benar menempel pada dinding. Ekspresi yang nampak dari si pemuda oriental itu membuat Dana tertawa sebelum ia benar-benar melangkah mundur. “Bercanda,” katanya, masih menyeringai.
Adrian menghela napas, sedikit semburat merah hangat muncul pada pipinya. Telunjuk Adrian bergerak canggung untuk menggosok ujung hidungnya yang tidak gatal sebelum membenarkan posisi kacamata yang sedikit berubah.
“Baiklah… Sepupuku mendapat informasi, proyek ini dimulai dari teori penulisan ulang DNA menggunakan energi bio… uh, Bioplasma? Sifatnya metafisikal. Dengan suatu alat, entah apa, sejenis… implan? Implan ini menggunakan energi tubuh untuk menulis ulang DNA manusia, evolusi, semacamnya...”
“Baiklah. Lalu?”
“Katanya… akan ada eksperimentasi massal. Entah kapan itu akan terjadi dari dulu sampai sekarang tak ada tanda-tandanya, dan… aku masih ingat kalau aku semacam… diundang? Untuk menjadi peserta eksperimennya. Dia bilang aku memiliki potensi, tak tahu, lah. Tapi harus kuakui, ini cukup menarik.”
Dana menyipitkan mata. “Diundang? Siapa yang mengundang?”
Tenggorokan Adrian seperti tercekat, benak berdebat hendak menjawab apa sebelum memutuskan untuk berkata, “Orang dalam.”
“Siapa?”
“Aku… aku lupa. Lagipula orang itu sudah lama tidak memberi kabar.” Manik kobalt Adrian melihat ke arah lain. Dana mengerti.
“Baiklah. Giliranku memberitahumu.”
Adrian baru akan membuka mulutnya untuk bertanya, tetapi ketika melihat telapak tangan Dana yang dengan cepat menghentak ke dinding, ia mengurungkan niatnya. Wajah Dana kembali berjarak hanya sekian inci dari wajahnya.
“Tidak. Ada. Pertanyaan. Hanya penjelasan, dariku.” sorotan tajam kembali muncul dari mata Dana.
Adrian pikir ini tidak adil, Dana sudah bertanya dua kali padanya namun ia tidak diberi kesempatan bertanya. Tapi cukup logis, karena Dana sendiri tidak memperoleh detail mengenai orang dalam itu.
“Proyek ini sudah berjalan. Paramayodya dan IO Technologies. Mereka tengah membuat kedok untuk eksperimentasi.”
Otak Adrian berpikir cepat. “Kedok… Alat kesehatan itu?”
Jeda sepersekian detik sebelum Dana mengedikkan bahu. “Entah,” sebutnya. “Dan kita beruntung beta-testing akan dilaksanakan tiga hari lagi. Kau akan datang, kan? Karena aku akan berangkat.”
“Ck—Kau ini paham batas privasi, tidak?” Adrian mendorong tubuh Dana menjauh dengan sedikit tenaga ekstra. Iris birunya ganti menyorot tegas lawan bicaranya. “Lalu Dana, jangan kira aku tidak tahu. Kau tidak mengatakan semuanya,” ungkapnya.
Tangan Dana yang menggengam tas nampak mengepal kencang. Ia menghela napas dan bersandar pada tembok di seberang Adrian, berkata, “Begitu? Sepertinya kau harus mencari jawabannya sendiri.”
Adrian tidak tahu mau sampai mana sahabatnya ini memberi pernyataan-pernyataan sekretif yang makin mengusik benaknya. Tiba-tiba ponsel di sakunya bergetar, tanda sebuah pesan singkat masuk.
Surya lagi?
[Adrian, Aku paham kondisimu saat ini, tapi tolong baca sejenak, oke?
Venndra baru saja mengirimiku pesan. Tiga hari lagi aku harus siap mengikuti beta-testing. Sekarang kembali padamu hendak mengikuti eksperimen ini atau tidak. Tapi aku minta satu: jangan hentikan aku. Kau pasti tahu ada banyak berita orang hilang akhir-akhir ini, kan? Kepolisian juga sedang menyelidiki ini dan kau tahu apa yang kami temukan? Beberapa dari mereka menghilang setelah pergi dari satu tempat yang sama. Lab itu.]
Adrian tidak tahu harus berkomentar apa. Tapi bukan berarti ketika mengunjungi lab itu, kan?
[Masalahnya lagi, polisi tidak menemukan bukti apapun di sana. Tapi aku percaya pada Venndra. Eksperimen ini harus berhenti.]
“Sepupumu?” Dana menebak tepat. Adrian mengangkat wajahnya sebelum memasukkan ponselnya kembali ke saku celana dengan lesu. “Apa katanya?”
Beta-testing. Tiga hari lagi. Dia hendak menghentikan eksperimen itu. Entah bagaimana dia akan melakukannya,” jawab Adrian pelan, pandangan ia arahkan ke lantai. Kesunyian kembali menyelimuti keduanya ditemani suara lalu-lalang kendaraan.
“Kau tahu, Adrian?” Dana memulai lagi, “Aku sama sepertimu.”
“Maksudmu?” Adrian balik bertanya, kembali menatap Dana.
“Kita... Sama-sama orang yang haus akan pengetahuan.”
“Hmm… Kupikir begitu.”
“Jangan kira aku tidak tahu, Adrian,” ungkap Dana, meluruskan punggungnya sebelum beranjak menuju mulut gang. Kemudian ia menoleh, Adrian tangkap piringan semerah darah itu kembali menusuk dalam. “Semua terlihat jelas di matamu,” pungkasnya kemudian kembali ke trotoar.
Dana.
Yudhistira Banyu Pradana.
Pikirnya berkecamuk, kesal. Adrian kesal dengan sahabatnya ini yang suka bermain kejutan.
.
Kenapa harus aku?
.
“Mengesankan. 60% alpha-tester kita menunjukkan perubahan baik yang signifikan,” ucap Willem sambil membenarkan kacamatanya.
“Iya, Willem, kau benar, tetapi—” Gama berbalik dari jendela menatap sahabat lamanya dengan air muka tak menentu, “—empat puluh persen dari mereka gagal. Itu masih jumlah yang besar.”
“Berangkat dari kesalahan itu, kita akan memperbaiki chip tersebut dan meminimalisir kegagalan pada tahap beta-testing. Sisi lain, dengan alpha-testing yang lalu membuat jawaban Faktor X sudah menemui titik terang.”
Gama berdiri kaku, matanya sedikit memicing. “Katakan.”
“Anak buahmu yang jenius itu, Venndra, menemukan adanya perbedaan pada sekuens DNA yang berfungsi mengendalikan energi bioplasma pada tiga kelompok subjek. Enam puluh persen yang berhasil, dalam kasus ini, sembuh dari penyakitnya, mempunyai susunan kode yang… menarik. Begitu juga dengan mereka yang tak memiliki masalah fisik. Kemudian, ada peningkatan besar sistem imun pada dua kelompok subjek tadi. Ini disebabkan karena… uh… subjek itu sendiri,” Willem menjelaskan.
Gama menyilangkan tangan di balik punggung, sebelah alisnya terangkat, “Maksudnya?”
Willem menarik napas sejenak lalu mengungkapkan, “Jujur aku sendiri juga terkejut mengetahui ini... Tak kusangka teori dalam buku-buku pengembangan diri yang beredar di pasaran itu sungguhan. Motivasi, harapan, prasangka. Sebuah rantai yang hilang dari hubungan pikiran dengan fisik manusia telah ditemukan.”
“Lalu apa yang terjadi pada yang gagal? Apakah mereka kehilangan motivasi hidup lalu menjadi seperti itu? Jangan bercanda.”
“Secara umum, hal ini disebut hasrat. Keinginan subjek untuk sembuh dan menjadi lebih baik mempengaruhi aktivitas energi bioplasma itu untuk menyembuhkan diri mereka sendiri, chip mengkatalisasinya sehingga membuat efek berlipat. Mereka yang gagal terjerumus pikiran negatif mereka sendiri—entah apa. Oleh karena ini, ketika kita bereksperimen dengan binatang selalu menghasilkan produk gagal. Tapi yang pasti, Faktor X ini semakin jelas,” Willem mengakhiri, tersenyum puas.
Hasrat.
Bagaimana dengan hasratku untuk mengubah umat manusia? Bagaimana hasrat itu akan mengubahku nantinya? Pikir Gama.
Sklera hitam, iris kuning, rambut abu keperakan.
Monster.
Sekejap Gama merasa pening, kemudian ia menggelengkan kepala untuk menyingkirkan imaji buruk itu.
“Baiklah, itu berita yang cukup baik untuk kudengar, Willem.”
Bunyi dentingan kecil lalu terdengar dari meja kerja, menarik perhatian Gama untuk berjalan mendekat dan menekan tombol kecil di ujung permukaannya. “Ya?”
“Maaf, apa kau masih sibuk?” suara istrinya membalas dari speaker kecil di dekat tombol itu.
“Ah, tidak. Baru saja selesai. Ada apa, Nana?” balas Gama.
“Reza dan Dana ingin menemuimu… penting.”
“Suruh mereka masuk, ya?”
“Baiklah,” Nana menutup sambungan.
“Ya, saatnya aku kembali bekerja.” Willem bangkit dari kursi, meregangkan badan kemudian beranjak ke pintu yang tepat membukakan diri untuk dua tamu berikutnya.
Pria berjas lab dengan rambut dikelimis itu mengangguk kepada mereka berdua, dibalas dengan sikap yang sama. Tak lama kedua orang itu sudah berdiri di depan meja kerja Gama, setumpuk kertas berada di tangan si pemuda berambut merah.
“Ada apa?” Gama memulai.
“Saya kira kau akan tertarik,” kata Dana, meletakkan kertas tadi di atas meja Gama.
“Dana menemukan adanya orang yang tahu dan menyebarkan kabar tentang proyek ini dan memintaku untuk mengumpulkan informasi detail mengenai mereka,” tambah Reza lalu menahan tawa. Tawa pahit. “Aku tak menyangka… mereka…”
“Siapa?” potong Gama tidak sabar.
“Adrian Adinata Anmar, seorang lulusan sarjana baru dan detektif Radheya Ali Surya—bekerja dengan Kepolisian Daerah Ayodya,” jawab Dana.
“Kenapa kau tidak menyebut Adrian dengan embel-embel ‘temanku’?” canda Reza yang dibalas dengan lirikan tajam Dana.
Gama kembali duduk di kursi kerjanya dan mulai memindai halaman per halaman. “Seberapa besar resiko yang kita dapat dari dua orang ini?” tanyanya tanpa melepas fokus.
“Sebenarnya tidak besar, kecuali detektif ini berpotensi mempengaruhi seluruh kepolisian untuk membongkar kedok kita, Pak,” kata Reza.
“... Oh. Kalau begitu kita tidak perlu khawatir.” Gama beranjak menuju sebuah almari kaca di salah satu sisi ruangan dan mengambil sebuah map. Map pun dibuka di hadapan kedua pemuda itu, Gama tersenyum melihat mata keduanya melebar melihat sertifikat yang masih rapi di dalamnya. “Pemerintah sudah menyetujui proyek ini tiga bulan lalu, tenang saja,” ungkap Gama.
“Bahkan pemerintah menyetujui kita menggunakan fasilitas ‘itu’? Wow,” Reza berdecak kagum.
“Benar. Jadi, tidak perlu risau dengan dua orang itu.”
“Tapi mereka tetap akan ikut tes,” Dana menyela, “Bagaimana jika kita ‘loloskan’ pada tahap beta-testing... lalu kita jadikan kelinci percobaan?” usulnya kemudian, sebuah sunggingan kecil senyum timpang terbentuk di bibirnya.
Gama memiringkan kepalanya sedikit, menatap bos muda mafia itu seolah tidak menyimak penuh. “Maaf?”
“Ya, anggap saja mereka menjadi boneka yang menari di telapak tanganmu. Hitung-hitung juga mendapat hasil yang lebih akurat.”
“Bagaimana kau bisa yakin?”
“Ada orang dalam, entah siapa, mengundang Adrian ini untuk ikut serta dalam tes. Ia sendiri menyatakan bahwa Adrian memiliki potensi. Selain itu, mempermudah kita untuk membungkam mereka agar kedok proyek ini tidak bocor ke dunia luar.” Manik rubi itu berkilat kejam, tanpa ampun.
“Tak kusangka kamu setega itu sama teman sendiri,” Reza berbisik hanya untuk diacuhkan oleh Dana.
Tiba-tiba ponsel Reza berbunyi, ia buka pesan singkat yang masuk. “Dari mentorku, Kak Ganes. Ada baiknya aku segera ke sana sebelum dia marah lagi. Aku duluan, Dana. Mari, Pak Gama,” ucapnya sembari menganggukan kepala kemudian segera pergi ke luar ruangan.
Gama memperhatikan punggung pemuda itu menghilang begitu pintu tertutup.
“Kau ini tidak begitu akrab dengannya ya, Dana?” Gama berkomentar pada pemuda berambut merah itu.
“Tidak begitu,” jawab Dana singkat. “Paling tidak dia tidak semenyebalkan satu orang tertentu…”
“Adrian?” tebak Gama. “Apa relasimu dengan pemuda itu?”
“Bukan Adrian. Beda lagi. Adrian… hanya seorang kawan.”
Gama hanya tersenyum tipis. “Kau sadar dengan yang kau katakan tadi, kan?” tanyanya kemudian.
“Yang mana?”
“Menjadikan dua orang tadi sebagai kelinci percobaan. Padahal salah satunya temanmu. Kalau aku di posisimu, tentu aku akan berpikir dua kali.”
Dana nampak mengalihkan pandangannya sekilas, ia ambil kursi kosong di depan meja kerja Gama dan menyandarkan puinggungnya. Kedua tangan saling mengaitkan jari-jemari, sorot mata datar ke lantai. “Adrian sendiri yang menginginkannya,” ungkapnya.
Pria berambut gelap itu mengangguk pelan, memahami.
“Adrian... adalah orang pertama yang kudapati berbeda dari orang-orang di sekitarku. Selama ini kulihat, apapun yang ia lakukan murni kehendak dirinya sendiri,” lanjut Dana, memutar kursinya menyamping dan menopang dagu dengan kedua punggung tangannya. “Tidak sepertiku.”
“Oh…” Gama merasakan atmosfer ruangan yang mulai tak nyaman. “Apakah ini tentang… keadaanmu sekarang?” tanyanya hati-hati.
Dana merespon dengan anggukan singkat.
“Pasti susah ya, berada di… dunia bawah,” ujar Gama, mencondongkan tubuhnya sedikit mendempet tepi meja sambil menyilangkan lengan di permukaannya. Mata kelabunya mengarah menyamping menghadap lantai. “Kita seperti bermain petak umpet. Kau butuh tempat, momen dan strategi yang tepat agar dirimu tetap utuh. Melelahkan, bukan?”
“Tapi kau sendiri bermain atas keinginanmu sendiri,” balas Dana. “... Sudahlah.”
Tawa kecil kaku merambat keluar dari tenggorokan Gama. “Maaf,” ucapnya, “Uh… Kembali soal Adrian… Apa kau benar-benar yakin dengan kata-katamu tadi?”
“... Tidak apa-apa.”
“Begitu… Sepertinya kau harus melihat ini dulu,” Gama menyentuh ikon yang menyala di meja kerjanya, sebuah layar terproyeksi di atas meja kerja Gama. Layar tersebut memainkan rekaman dari sebuah ruangan semacam sel penjara. Gelap, tidak terlihat apapun di sana hingga pintu baja sel itu terbuka dengan suara desis pompa hidrolik. Kemudian ruangan dipenuhi cahaya, dua orang dengan seragam dan pelindung lengkap masuk, keduanya membawa senjata yang terlihat canggih. Di sudut ruangan, dekat tempat tidur, seorang pria duduk di lantai memeluk kakinya.
Salah satu dari petugas itu mendekat, dikeluarkannya borgol. Tiba-tiba petugas itu terpental bersamaan dengan kebasan tangan dari pria tersebut. Petugas itu mengerang saat tubuhnya membentur tembok baja. Petugas yang satu menodongkan senjatanya, laras senjata itu seperti terbelah dua dan muncul percikan-percikan seperti listrik di celahnya. Ia seperti meneriakan ancaman pada pria itu.
Pria tersebut berdiri, memperlihatkan wajahnya yang bersisik seperti ular, mata yang merah dan kuku hitam yang panjang. Beberapa sela antar sisik mengeluarkan pendaran cahaya tipis, membentuk seperti pola retakan tanah. Satu kebasan tangan, petugas itu terpelanting seperti kawannya. Pria tadi lalu hendak melangkah menuju pintu keluar, namun dengan cepat si petugas dengan senjatanya yang terisi melumpuhkan si pria—tunggu, yang seperti ini tak pantas disebut manusia lagi—dengan beberapa tembakan peluru energi. Pria bersisik itu pun mengerang sakit dan roboh di lantai. Petugas satunya lanjut memasang borgol pada pria tadi dan memukul kepalanya dengan senapan dan membuatnya terkapar.
“... Apa-apaan itu tadi?” Dana tak mampu mengeluarkan suara yang lebih dari bisikan. Matanya melotot lebar pada tayangan, alis melengkung tajam. Gama menghilangkan layar tadi dengan sekali tekan pada tombol, pandangan tak percaya Dana pun kini mengarah padanya. “Sebenarnya apa yang kau—”
“Dia subjek gagal,” sela Gama cepat, iris kelabunya berpesan lebih meski tengah menyorot datar. “Kami memindahnya ke fasilitas lain segera setelah mendapat izin dari pemerintah.”
“Dan semuanya akan menjadi seperti itu nantinya jika gagal?”
“Empat puluh persen dari alpha-tester iya. Willem dan Venndra berusaha mengurangi angka itu saat beta-testing nanti.”
“... Kau mengerikan.”
“Jangan kira aku tega dan tak merasa iba. Akulah yang menanggung dosanya, Dana.”
Dana menatap lurus ke lantai. Dalam dirinya berkecamuk, semua perasaan tercampur menjadi satu. Ketakutan, kekhawatiran, ngeri, bahkan ia merasa miris.
Gama menopang dahi dengan kedua jempol tangannya, menghela nafas berat. “Ini teramat berat dan sakit. Apa yang harus aku katakan kepada keluarga dari pegawaiku yang gagal saat menjadi subyek eksperimen? Semua ini kutanggung sendirian demi umat manusia.”
Tiga hari lagi seperti berjalan menuju gerbang kematian.
“Mungkin seperti ini rasanya, yang orang-orang sebut bermain menjadi Tuhan.”
Kedua lelaki itu pun diam, tenggelam dalam benak masing-masing. Terus berlanjut hingga salah satu dari mereka mencoba memecahkannya.
“Jangan kehilangan harapan,” ungkap Gama. Dana angkat wajahnya, bertemu pandang dengan wajah pria di hadapannya yang menampakkan tekad bulat. “Itu kunci satu-satunya. Apa keinginanmu, Dana? Cita-cita? Mimpi?”
Dana terkesiap sebelum ia lempar pandangan pada langit-langit.
Mimpi…
“Aku juga akan ada di sana besok. Bersama tiga yang lainnya. Jangan kehilangan mimpimu, kita pasti melewatinya,” pungkas Gama.
Dana hanya melihat bayangan Adrian sedang meniti langkahnya yang bebas.

# # # Continued in the Next Chapter # # #

(A/N)
FDA: So this is the longest chapter so far??
Agon : The storm is coming… Can’t wait for them beating up each other.
Sekali lagi, PAF hanya milik Mimin Beruang seorang, kita hanya minjem mereka buat jadiin aktor di sebuah AU (?)



Kritik/Saran boleh sekali~

@F_Crosser | @agonps

1 comment:

  1. "Secara umum, hal ini disebut hasrat. Keinginan subjek untuk sembuh dan menjadi lebih baik mempengaruhi aktivitas energi bioplasma itu untuk menyembuhkan diri mereka sendiri, chip mengkatalisasinya sehingga membuat efek berlipat. Mereka yang gagal terjerumus pikiran negatif mereka sendiri"

    This may have something to do with the psychological theory of self-efficacy & the fixed/growth mindset theory by Carol Dweck! Or maybe it has something to do with the tightness-looseness of culture on individual level...

    Also there's a ted talk that talks about consciousness embedded in the physical body hehe.

    ReplyDelete