Monday, August 3, 2015

Case #6




Angin sepoi bertiup, taman yang teduh dengan sebuah pohon rindang yang besar di salah satu sisinya. Matahari bersinar di sela gulungan kapas putih di langit, rumput hijau yang dipangkas rapi seakan lembut ketika kau menginjaknya dengan bertelanjang kaki.

“... Sayangnya tak dapat kunikmati berjalan dengan kaki saya sendiri. Iya kan... suster?”

Ibu perawat itu hanya tersenyum kemudian mendorong kursi roda yang diduduki oleh seorang pria muda ke dekat kolam koi yang ada di tengah-tengah taman. Surai pirang kecokelatannya yang disisir ke belakang mulai berantakan diterpa angin.

Manik zamrud lelaki itu melihat ke kiri dan kanan, pagi itu taman rumah sakit agak sepi. Dua orang pasien dengan infus tampak bercakap-cakap di salah satu bangku. Wajah mereka nampak senang, mungkin mereka segera diperbolehkan pulang. Sebuah senyum kecil terkembang, turut senang meski dirinya sendiri masih dalam kondisi yang sama sejak dua bulan lalu.

Ia kira dirinya kelelahan pada awalnya, membantu mengurus usaha perkebunan keluarga disambi meniti gelar Master-nya di bidang pertanian. Saat itu ia sedang berjalan menyusuri kebun kopi milik sang ayah ketika merasakan kakinya kesemutan yang berangsur menjadi sensasi tusukan-tusukan jarum. Mata mulai tak mampu melihat jernih, sesekali bayangan benda mengganda. Hari demi hari berlalu, sensasi itu datang dan pergi hingga pada suatu hari ia nyaris tak dapat merasakan jari tangan yang tengah memijat kaki kanannya sendiri.

Semua akan baik-baik saja, terus dan terus ia berkata demikian dalam hati. Kemudian tiba di mana ia membuka matanya di pagi hari mendapati dirinya begitu susah untuk bergerak, panik yang menjadi pun merasukinya. Lalu ketika telapak kaki hendak menapak, rasa sakit menusuk kuat sebelum tubuhnya terkulai mencium lantai.

Tubuh muda yang dulunya tinggi tegap itu telah kehilangan nikmatnya. Tak dapat ia rasakan keberadaan pinggang sampai ujung kakinya lagi. Sampai saat ini.
“Anda berbeda ya, Darien.”
Lelaki di kursi roda itu sedikit menolehkan kepalanya pada si perawat. “Bagaimana?”
“Anda tampak… tenang. Santai. Banyak pasien lain tidak demikian.”
Darien tertawa pelan dan kembali memperhatikan koi-koi besar yang berenang di bawah air kolam yang jernih. “Kau tidak tahu bagaimana saat saya mengalami gejala besarnya, Suster. Terlebih lagi… setelah tahu kalau… penyakit saya ini... langka(1)… yang sampai detik ini pun… belum berhasil ditemukan obatnya. Jadi, saya tidak merasa berbeda dengan mereka itu,” ungkapnya.
“Ah, m-maksud saya…”
“Ah, iya… Berada di taman membuat saya merasa damai.”
Sorotnya tenang, mengikuti pergerakan-pergerakan koi yang berkumpul di sisi kolam yang dekat dengan posisi Darien sekarang. Senyum tipis pria muda itu tak pernah lepas dan hanya inilah yang bisa diperhatikan si perawat yang kehabisan kata-kata.
“Saya hanya berharap, suatu saat nanti akan ada obat atau metode penyembuhannya. Walau mungkin pada saat itu saya sudah… yah, lebih dahulu berpulang.”
Bukan sebuah kata-kata pemanis; Darien sungguh berharap demikian.
Darien tak menghitung detik maupun menit yang berlalu, hanya ia nikmati saja waktunya dengan mendengarkan gemericik air yang berjatuhan dari pancuran di tengah-tengah kolam. Matahari berangsur kian terik, menjadi pengingat untuk kembali ke ruangannya. Tepat saat kursi roda sudah sekian senti di depan pintu, Darien berseri melihat sepasang sosok orang terkasih yang datang menjenguk putranya.
Sebuah vas putih berisikan tulip kuning di atas kabinet menyambut Darien yang tengah dibantu untuk membaringkan tubuhnya kembali di tempat tidur. Ia sapa ayah ibunya dengan senyum lebar dan ucapan-ucapan sederhana seolah semua baik-baik saja.
“Permisi,” seseorang berucap memohon izin untuk memasuki kamar. Ayah Darien menyambutnya, seorang pria berjas putih berusia lima puluh tahunan dengan uban yang hampir menggantikan rambut kepalanya. Ia sapa Darien sambil tersenyum.
“Siang, Dokter Erwin,” balas Darien.
“Bagaimana keadaanmu hari ini?”
“Yah, masih demikian ini, dok. Paling tidak belum muncul nyeri berat lagi.”
Dokter Erwin mengangguk-angguk, senyumnya kian mengembang. “Bagus, bagus. Syukurlah,” ucapnya.
Darien menyadari satu hal tak biasa yang sedang terjadi, maka bertanyalah ia, “Uhm, sebelumnya, bukan apa-apa, dok, tapi… Waktu check-up saya kan masih satu jam lagi?”
“Iya, saya tahu itu, Darien. Jadi, saya kemari untuk menyampaikan kabar baik untukmu. Ada kesempatan bagimu untuk sembuh.”
Sunyi.
“... Sembuh bagaimana, dok?” Ibu Darien bertanya, bingung. “B-bukankah… penyembuhnya—”
“Itu dia, tapi kami… sungguh tak mengiranya. Penelitian untuk cara ini sebenarnya sudah berlangsung lama. Memang belum sempat dipublikasikan, tapi telah ditemukan cara terapi baru. Beberapa waktu lalu ada pasien yang kami rekomendasikan untuk mengikuti terapi itu—dia mengidap distrofi(2) otot—dan dalam waktu kurang dari tujuh bulan kelainan itu hilang secara bertahap. Dari keberhasilan itu, kami merekomendasikan beberapa pasien lain yang memiliki penyakit kronis untuk menjalani terapi yang sama,” terang Dokter Erwin yang kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan singkat cara kerja terapinya.
“Lalu… resiko apa yang mungkin terjadi? Tidak mungkin ini tidak ada resikonya kan, dokter?” kali ini giliran ayah Darien yang bertanya.
Dokter Erwin menjawab setelah menghela nafas, raut mukanya menunjukkan sedikit ketidaknyamanan nampak dari senyuman yang sedikit dipaksakan, “Resiko… Mungkin Darien harus menjalani rehabilitasi. T-tapi saya pikir hal itu takkan terjadi. Darien sudah siap sembuh, kan?”
Lelaki muda lumpuh itu belum merespon apapun sejak dokternya memberinya kabar selain melempar sorot mata mengikuti suara sahut-sahutan percakapan yang ia dengarkan.
Darien hanya ingat dirinya berharap penyembuh itu ada setelah ia tiada. Bukankah seharusnya ia sudah tak berada di sini lagi sejak waktu yang telah lalu dan kemudian baru terwujudlah harapan?
Darien, apa-apaan pikiranmu.
Harapanmu tepat di depan mata.
Tidakkah kau sangat menginginkan dapat kembali menapak lembutnya hamparan rumput hijau dan pelukan lumpur dengan telapak kakimu?
“Darien?” ia dengar ibunya memanggil pelan, terpadu sedikit kekhawatiran di sana.
Tawa singkat menyelip keluar, Darien angkat wajahnya menghadap Dokter Erwin dan berkata, “Tuhan kadang memang suka bertindak secara misterius, ya…”
= = =

Variable X

Case 6: Fate
= = =



Mesin menderu seiring jalan sedan hitam itu menembus malam. Angin dingin bertiup, lampu jalan yang gemerlap, musik rock lawas diputar di dalam mobil. Lelaki berjambul abu itu berdendang sembari mengetukkan jemarinya pada roda kemudi. Di kursi sebelahnya, pemuda dengan kulit sawo matang memandang keluar jendela, acuh tak acuh dengan rekannya. Rambut gelapnya berkilat indigo saat cahaya mengenai helaiannya.
“Bisa dikecikan volume lagunya?”
Lelaki dengan iris kuning itu menangkap ketidaknyamanan pada nada bicara Wira. Lantas, ia geser tombol hologram pengatur volume pada pemutar musik ke arah kanan, musik yang diputar semakin keras.
Wira berdecak.
“Ayolah, sekali-kali kau perlu menyalurkan emosimu lewat nyanyian, hentakan kaki dan tangan! Bukan hantaman atau bantingan pada anak buah,” Arya terkekeh.
“Diam.”
“Wir, ini Avenged Sevenfold. Favoritmu, kan?”
Wira tak membalas apa-apa, kembali manik matanya menyusuri jalanan. Arya mengangkat alis melihat rekannya. Mungkin proyek yang besok akan dilaksanakan, membuat Wira gugup atau semacamnya.
Atau, Wira masih marah dengan trio Arab bersaudara yang kembali membuat kekacauan sore tadi.
Raihan, Fahri, si bocah kupluk—Farhan, dan satu orang rekan (sebut saja Ivan, dia ditugaskan menjaga tiga cecunguk itu agar insiden sejenis tak terulang lagi) bertugas untuk mengangkut pasokan peledak dari seorang kurir ke gudang mereka. Untuk menghindari kecurigaan, mobil pengangkut memakai penyamaran sebagai mobil box pengangkut berisi kardus-kardus jeruk. Mobil tersebut berhenti di depan sebuah toko yang berjarak sekitar dua blok dari gudang mereka, terpaksa pula mengambil jalan memutar agar tak terlalu mencolok.
“Kardus-kardus berisi granat ini cukup berat,” komentar Fahri sambil berjalan ke gudang mereka melalui gang-gang sempit.
“Jangan keras-keras, bodoh. Kau mau pekerjaan kita kacau lagi dan dihajar oleh Wira?” Farhan membenarkan penutup kepalanya dengan satu tangan.
“Hahaha… Karena kau yang paling sering jadi sasaran amukan bocah itu, iya kan, Farhan?”
“Diam kalian cecunguk. Apa perlu kujejalkan granat ini ke dalam mulut kalian?!” desis Raihan seakan ingin melemparkan isi kardus yang dibawanya (yang isinya adalah high-explosive grenade) pada dua saudaranya itu.
Setelah beberapa kali bolak-balik mengangkut, kardus-kardus kloter terakhir siap diangkut. Namun siapa sangka, dua buah flashbang(3) tidak muat di tempatnya karena terlalu penuh.
“Han, ini gimana...?” tanya Fahri penuh keraguan. “Masa dimasukin kantong hoodie-ku?”
“Udah masukin aja, biar gak repot juga,” ujar Farhan sambil mengangkat salah satu kotak.
“O-oi! Jangan—” Ivan mendesis mengingatkan.
Farhan cepat-cepat menyela, “Terus mau ditaruh di mana lagi?”
Fahri menghela napas. Dijejalkan dua granat itu ke dalam saku hoodie-nya, harap-harap cemas granat tersebut tidak meledak. Ketika ia turun dari truk dengan membawa sebuah kardus, seorang polisi menepuk pundaknya. Dua orang saudaranya sudah lebih dahulu berjalan masuk ke dalam gang.
“Sibuk, ya?” sapa polisi itu dengan senyum ramah.
Fahri spontan terkesiap hingga hampir kehilangan keseimbangan sebelum ia mendengar dentingan kecil dari sebuah benda yang menyelip keluar dari kantong untuk mendarat tak lebih dari dua puluh senti dari posisi kakinya.
Fahri peluk erat kardus yang dibawanya, manik marunnya melirik horor pada flashbang yang tak disangkanya cacat produksi dengan kondisi pin kendor setelah menyentuh aspal.
Sekian detik sebelum mata si polisi menuju ke benda yang terjatuh itu, cepat-cepat Fahri menendangnya ke seberang jalan. Segera ia berbalik dan berlari secepat mungkin bersamaan dengan ledakan cahaya yang begitu terang dari belakangnya. Telinganya sempat berdengung akibat dentuman granat tersebut.
Oh, bagus sekali. Banyak jendela gedung terdekat pun terbuka, menampakkan warga sekitar yang terdengar panik dan geram.
“Aku nggak ikutan!” Ivan berceletuk, melangkah masuk kembali ke mobil dan mengambil langkah seribu, meninggalkan Fahri yang menyumpahinya dari tepi jalan.
Ternyata polisi tadi cukup bernyali juga. Walau sempat matanya dibutakan oleh cahaya ledakan, ia berlari mengejar trio arab bersaudara yang sedang sial itu.
Rentetan kalimat kutukan keluar dari bibir Fahri sembari ia berlari secepat mungkin supaya tidak ditangkap oleh pak polisi yang secara tidak langsung mujur bertemu dengan penjual senjata ilegal yang tengah restock dagangan. Beban yang dibawa lengannya seolah hanyut terbawa arus adrenalin.
“Berhenti!” teriak si polisi yang penglihatannya mulai kembali normal, dengan sigap tangan menarik pistol dari tempatnya, berhenti sejenak dan mengarahkan ke Fahri tanpa ragu.
Keringat membasahi pelipis pemuda berhoodie itu, ia ingat masih ada satu flashbang tersisa di kantongnya. Ketika ia melambatkan larinya untuk mengambil granat itu, desingan peluru terdengar melewati kupingnya. Pupilnya melebar, otaknya memerintahkan kaki untuk kembali berlari.
Beberapa desingan peluru kemudian, polisi itu berlari mengejar bagai citah mengejar buruan. Beruntung, Fahri tiba di persimpangan gang. Satu tangannya kini menggenggam flashbang yang tersisa, tarikan giginya mencabut pin, saat ia berbelok ke kanan dilemparnya ke belakang.
Ledakan nyaring kemudian menyusul, Fahri manfaatkan kebisingan itu untuk melangkah lebih jauh. Setibanya di penghujung gang, ia letakkan kotak yang dipegangnya ke tanah dan berjongkok untuk melegakan diri. Saat itulah ia dengar deru mesin kendaraan yang ditumpanginya tadi, disusul dengan sosok Ivan yang bersandar di mulut gang.
“You’re screwed, man.”
Demikianlah yang dilaporkan sang pengawas kepada Wira sebelum beberapa menit kemudian terdengar raung makian atas seberapa imbisilnya anak buah Dana dan bagaimana bisa mereka direkrut pada awalnya.
“Farhan yang usul—”
“MANA ADA ORANG PINTER NARUH BAHAN PELEDAK DI KANTONG HOODIE, HAH?!”
“Udah-udah Wir, ini murni apes dan—”
“MEMANG NAMANYA APES YA, KALAU SENGAJA NARUH GRANAT DI SITU?!”
Sumpah serapah dimuntahkan oleh Wira sembari ia membanting si bocah kupluk-Farhan. Ivan selaku pengawas hanya dapat tersenyum kecut melihat dua saudara Farhan yang lain hanya dapat diam melihat saudara bungsunya menjadi pelampiasan kemarahan Wira.
Bukan berarti pemuda berambut cepak itu melupakan Fahri yang mengiyakan usul tanpa pertimbangan dan Ivan yang tak dianggapnya becus dalam tugas pengawasannya.
Arya yang saat itu sedang menyibukkan diri dengan mengelap senapan di ruang seberang dapat mendengarnya jelas. Ia menggelengkan kepala, dikeluarkan headset dari saku jasnya, ia pasangkan dengan smartphone barunya. Tak lama kepalanya sudah mengangguk-angguk mengikuti irama musik yang dimainkan.
“Saatnya mengelusmu kembali, sayang,” ucap pemuda pendek itu sembari mengambil kembali lapnya.
Kembali ke mobil, Arya menyerah membuat Wira yang masih saja diam memandang keluar jendela agar mau bercerita. Perjalanan ditempuh dalam diam hingga sedan mencapai area pertokoan kota lalu diparkirkan rapi di depan sebuah toko suvenir.
Bukan itu tujuan utamanya. Nampak mereka berjalan ke sela antara toko dengan gedung di sebelahnya. Jalan sempit dengan lampu remang sebagai penerangan menemani tiap langkah, sesampainya di ujung buntu mereka temukan sebuah pintu baja. Arya mengambil dompet di saku celananya, ia cabut sebuah kartu identitas yang lalu ditempelkan pada pemindai yang terpasang tepat di sebelah pintu. Desis hidrolik terdengar bersamaan dengan pintu yang membuka cepat sebelum menutup kembali setelah Arya melangkah masuk. Wira lakukan hal yang sama seperti kawannya lakukan dan tibalah keduanya pada sebuah lorong. Cahaya redup mengiringi keduanya meniti tangga logam menurun hingga tiba di sebuah selasar dengan pintu kaca otomatis yang menampakkan keramaian ruangan di seberang, sesekali beberapa pelayan berlalu-lalang.
“B&D’s,” Arya membaca tulisan neon yang terpampang pada sisi tembok bar yang mereka kunjungi. “Kamu butuh santai, Wir.”
Ajakan Arya hanya dibalas gumaman pelan, mereka berdua melangkah masuk ke dalam bar. Alunan musik blues terdengar ke seluruh ruangan yang cukup besar itu. Arya berjalan dengan santai ke arah konter di mana di belakangnya terdapat salah seorang bartender yang tengah mengelap gelas kosong. Bartender perempuan dengan rambut kelabu yang sama dengan milik Arya.
“Hai, Nis,” sapa Arya kemudian duduk di kursi tinggi. Wira hanya diam berdiri di sampingnya.
“Hai. Temanmu?” Ucap gadis itu sembari menunjuk Wira dengan gelas kosongnya.
“Wira,” yang ditunjuk berucap singkat.
“Yaa… Dia rekanku. Dia perlu hiburan. Omong-omong, orang berambut merah yang kuceritakan tadi di telepon sudah datang?”
“Oh. Dia di sana, bersama wanita-wanita,” dengan serbetnya, gadis bartender itu menunjuk ke salah satu sofa di dekat konter. Arya dapati lelaki yang dicarinya itu—dengan jaket kulit hitam, jeans serasi, sepasang sepatu bot dan kacamata sedang tak bertengger di pangkal hidungnya—sedang membaca sesuatu, di kiri kanannya duduk wanita-wanita cantik dengan dress dan aksesoris yang berkilau.
“Yea, yea,” Arya dengar Wira menyeletuk, dari nada bicaranya jelas jika lelaki yang lebih muda itu memamerkan seringai sambil melihat ke arah yang sama.
Butuh beberapa saat bagi Arya untuk mencerna apa yang dilihatnya sebelum berkata pelan, sebelah alis naik tajam, “... Uh… Dia masih belum puas menghukum Raihan?”
“Kukira kau mengenal Dana jauh lebih lama,” Wira berkomentar.
“Entahlah, tapi…” si bartender wanita itu menambahkan, “Dia masuk, pesan whiskey, duduk diam di sana, menyibukkan diri dengan buku entah apa itu isinya, tiba-tiba dikerubungi.”
Mereka tak mendengar jelas kalimat singkat yang Dana katakan pada wanita-wanita itu barusan, namun mereka seolah tak peduli dengan ekspresi serta nada dinginnya. Arya sedikit berjengit mendengar tawa-tawa genit mereka, ia heran bagaimana Dana bisa tahan. Salah satu dari mereka meletakkan tangan di pundak Dana dan menyandarkan dagu padanya, kemudian muncul lagi perempuan lain yang menggabungkan diri.
“Aaah... benar. Oke, Rengganis, aku ke sana. Wira.” Arya beranjak turun dari kursi kemudian memberikan isyarat dengan mengedikkan kepala.
Sebelum mengikuti Arya, Wira berkata pada Rengganis, “Dua botol bir.”
Arya mendengarnya, “Whoa, Wir? Memangnya kamu bisa minum sebotol? Aku ogah tanggung jawab kalau kamu sampai membanting orang lagi di sini.”
“Pedulimu.” Kembali ia berkata pada gadis itu, “Dua botol.”
Dua orang itu kemudian berjalan mendekati sofa di mana bosnya dikelilingi gadis-gadis.
“Wow, lihat siapa yang datang~” Seorang gadis berambut pirang merangkul lengan Arya dan menariknya duduk di sebelahnya.
“E-err, yea, aku temannya Dana. Orang berambut merah ini,” ucap Arya dengan senyum canggung ketika gadis itu mengelus pundaknya. Wira duduk di sofa lain di seberang Dana, disambut tawa genit satu wanita lain yang lebih dahulu duduk di situ namun dibalas dengan lirikan dingin.
Lelaki bersurai merah itu mengangkat pandangan dari buku pada kedua kawannya, senyum tipis diumbarnya lalu mengucapkan, “Hei.”
Arya menatap obyek tebal yang Dana baca. “Apa itu?” tanyanya, dijawab dengan Dana menunjukkan cover bukunya yang hitam dengan tulisan judul timbul berwarna emas.
“Aku tak menyangka ada maniak semenawan kawanmu ini,” ujar salah satu gadis kepada Arya dengan tawa menggoda.
Arya menjilat bibirnya canggung, lalu berkata, “Metafisik? Masih?”
“Ini membantu banyak untuk proyek besok. Kau harus baca,” balas Dana.
“Err... Nanti. Di rumah.”
Dana tertawa kecil, matanya lalu melirik pada Wira. “Cemas, hm?”
Ketika Wira akan membuka mulut untuk menjawab, dua botol bir diantarkan ke meja. Botol pertama mulai ditenggaknya sebelum menjawab, “Tidak juga.”
Arya menggosok kedua telapak tangannya, “Baiklah gadis-gadis, kami perlu membicarakan sesuatu. Bertiga saja.”
Salah satu dari mereka merajuk, “Ayolah, biarkan kami ikut sebentar,” sembari mengedipkan matanya pada Arya.
Dana mengulas senyum tipis, “Kurasa ada baiknya kalian mendengarkan temanku. Kalian bisa bergabung dengan kami lagi nanti. Ini urusan penting kami bertiga.”
Tiga wanita genit itu saling memandang kemudian tertawa kecil, mereka meninggalkan sofa itu dan salah satu dari mereka sempat menggoda Wira dengan mengelus dagunya.
“Menggelikan,” gumam Wira setelah satu tegukan lagi.
“Wir, sekali-kali kau memang perlu ditemani mereka.” Arya terkekeh.
“Kata dia yang bahkan nggak bisa membalas godaan cewek,” cibir Wira.
Dana menutup bukunya dan meletakannya di meja. Raut wajahnya berubah serius. “Ini menyangkut proyek yang akan berlangsung besok,” mulainya.
“Eh? Bukannya sudah jelas?” Arya menyela.
“Bagianmu memang sudah, Arya. Sekarang kuingatkan kau untuk debriefing anak-anak besok pagi,” kata Dana.
“Siap.”
“Tapi yang terpenting…” Dana menatap murid pribadinya, “Tesku dan Wira besok.”
Wira mengatupkan kedua tangannya, wajahnya nampak tegang.
Dana menyipitkan mata, menyelidik. “Sepertinya ada sesuatu yang ingin… kau sampaikan.”
Pemuda berambut gelap itu diam beberapa saat sebelum menghela nafas pelan, “Ya. Kau sendiri sudah menjelaskan padaku salah satu poin penting dalam eksperimen besok. Kau tahu, memang aku berutang budi padamu untuk pekerjaan ini...”
“Langsung ke intinya saja.”
Wira memberi jeda lagi, mengarahkan pandangan matanya ke lantai. “Aku tidak yakin jika eksperimen itu akan berhasil padaku. Cita-cita, hasrat, harapan, apalah… hanya omong kosong yang dibuat untuk menyelamatkan diri dari realita yang keras. Mimpi,” ungkapnya lalu meminum tiga teguk birnya.
“Kau pikir dulu aku juga mempercayainya, Wira? Sampai akhirnya si ilmuwan itu memberikan hasil alpha-testing-nya padaku... aku sangat tercengang. Orang-orang sakit disembuhkan, orang cacat kembali normal. Yah, walaupun ada, sebagian—Ck.”
“...Yang gagal, kan? Mending aku mati daripada berakhir seperti mereka, Dan. Jika benar hasrat yang menjadi kunci keberhasilan eksperimen ini, sudah dipastikan aku tidak bisa.”
“Apa maksudmu tidak bisa?”
“Aku tidak memiliki kunci itu.”
Arya yang ikut mendengarkan melirik ragu pada Dana yang tak menunjukkan perubahan ekspresi apapun.
“Aku tak percaya lagi harapan dapat mengubah hidup seseorang,” lanjut Wira, “Enam tahun aku hidup di jalanan. Tak jelas, tak ada arah untuk pergi. Bahkan kupikir ada baiknya aku mengakhiri diriku sendiri. Hingga kau tanpa sengaja bertemu denganku, dua tahun yang lalu.”
“...Wira, apa kau tak pernah terpikir untuk menjalani kehidupan lain selepas dari pekerjaan ini?” tanya Arya hati-hati.
“Tidak. Aku hanya berusaha membalas budi pada Dana sebaik mungkin. Tak ada bayangan lain. Tak ada figur penting yang lain. Kecuali...”
“Kecuali?”
Wira menggelengkan kepalanya, menenggak kembali birnya yang kini tersisa seperempat botol. “A-aku bertemu gadis ini. Dia… aku, semacam... yah, pernah bertemu. Entah, samar-samar.”
“Siapa? Apa dia seseorang bagimu? Dari masa lalu?” Arya mencoba menyelidiki.
“Mungkin. Rambutnya… sepundak, hitam. Ia berkacamata… Aku bertemu dengannya di jalan, entah di mana. Dia menyapaku, namun aku tidak membalasnya. Tapi, ada yang aneh dari suaranya… mengingatkanku pada… perasaan hangat.”
Arya berusaha menahan tawanya yang hampir terselip keluar, tak menyangka rekannya bisa seperti ini. Dana yang mengetahui itu melirik Arya dengan tajam.
“Sebelumnya lagi, dahulu, ketika aku masih kecil. Hari dimana aku dibuang oleh ibuku yang brengsek… aku berpapasan dengan gadis itu. Ia… nampak… ingin membantu, bersimpati. Ah, mungkin itu pikiranku saja. Mana ada orang yang ingin membantu anak dari keluarga nggak jelas. Apalagi waktu itu dia masih seorang gadis kecil,” Wira tertawa getir. “Tapi kurasa wanita tua itu ada benarnya. Aku sudah gila.”
“Gila gimana? Kau ini bicara apa, Wira?” tanya Arya skeptis.
Manik hijau pucat itu membalas pertanyaan dengan sorotan dingin. “Aku melihat hal-hal yang seharusnya tidak kulihat.”
Dana sedikit memiringkan kepalanya, penasaran. Arya hanya berkedip, semacam berharap dirinya tidak salah dengar.
“Tiap siang. Tiap malam. Mereka di mana-mana. Sejak aku kecil, mereka mengelilingiku dengan tampang yang sama sekali jauh dari kata ‘manusia’. Sejak kecil aku selalu berpikir jika anak-anak yang lain juga melihat hal-hal yang sama sampai mereka… menatapku… demikian.” Suara Wira terdengar pelan dan sedikit tergesa saat mengungkapkan ini. “Ibuku sangat membenciku karena ini. Dia bilang aku ini makhluk dari neraka atau semacamnya.”
Kedua lelaki yang duduk di seberang Wira masih hanya mampu memperhatikan.
“Jadi…” Sorot mata Wira berubah, diarahkan pada tembok di belakang sofa yang diduduki Arya dan Dana. “Kalian tahu kalau sekarang di belakang kalian ada seorang wanita cantik mengenakan gaun putih?”
Setetes keringat dingin menuruni dahi Arya mengetahui cara Wira memandang tak ditemukan niat canda sama sekali. “Wir. Sofa ini berjarak lima senti dari tembok,” bisiknya.
“Kamu tidak salah. Aku cuma melihat apa yang kulihat. Cantik, rambut hitam panjang, tatapan dan senyumnya baik… tapi kurasa kalian tak mau melihat kondisi perutnya.”
Arya membisikkan satu kata kutukan.
“Itu baru satu, Arya. Di depan pintu kamar mandi ada ular. Pojok ruangan, dekat pintu masuk juga ada. Ujung konter, salah satu meja di tengah ruangan, pojok kiri ruangan dekat tiang penyangga, terus—”
“O-oke, oke, oke. Wira, stop,” sela Arya dengan gestur tangan yang satu arti.
“Sudah kuduga,” gumam Wira sebelum menghabiskan sisa bir dalam botol pertamanya. “Makanya aku tak pernah cerita. Kalian tidak bisa melihat mereka, kan? Sekarang aku yakin kalian sudah menganggapku gila juga.”
“Tak ada orang gila yang mampu bercerita serunut itu, Wira,” ujar Dana. “Mata tak bisa berbohong.”
Senyum kecut tersungging di bibir Wira yang lalu mengucapkan terima kasih dengan singkat. Sela waktu sekian detik sebelum percakapan kembali dibuka.
“Lalu, tentang gadis berkacamata tadi... Kau menyukainya, Wir?”
“Hah...? Suka? Jangan bodoh, Arya… Mana ada yang mau menerima sampah sepertiku. Apalagi anak baik-baik seperti dia.” Wajah Wira memerah sekarang, minuman keras yang diminumnya sudah mulai bekerja. Tiba-tiba ia benamkan wajah pada telapak tangannya, dengan nada bicara sedikit melantur ia berkata, “Astagaa… Setelah apa-apa yang terjadi… Kenapa? Kenapa harus aku?”
Dana dan Arya saling melirik satu sama lain seolah bertelepati menanggapi anggota termudanya itu.
“Tapi, jika dia dalam bahaya atau masalah ketika aku ada di sana, aku akan membantunya. Aku bersumpah,” ucap Wira sambil menggebrak meja.
Arya merasa tergelitik, “Haha… Kau ingin membantu gadis yang bahkan tidak kau kenal dengan pasti? Oh iya, karena dia gadis kecil dari masa lalumu? Your first puppy love?
Mendadak Dana merasakan atmosfer yang sedang berubah. “Arya...” sebutnya mengingatkan.
“Arya, kau tak berhak… ugh… berkomentar tentang dia. Bahkan kupikir kau tak pantas untuk memunculkan wajahmu di hadapannya,” mata Wira memicing tajam, namun efek alkohol sedikit melemahkannya.
“Bagaimana denganmu, sampah? Kau sendiri yang bilang dirimu seperti itu. Aaah… mungkin gadis itu pun akan jijik padamu.”
Dana menaikkan suaranya, “Arya!”
Wira bangkit, ditariknya kerah Arya dan menggeram, “Setidaknya cebol, aku punya niat, untuk melindunginya. Walaupun dia hanya seseorang dari masa laluku.“
Man, sudah kuduga. Satu botol bir terlalu banyak untukmu, bayi.”
Sebuah pukulan menghantam pipi Arya, hingga ia membentur sofa. Arya bangkit, dari sudut bibirnya keluar darah. Ia mengedikkan kepala, “Boleh juga.”
Wira menggeser meja di antara mereka dengan kaki, botol-botol di meja pecah berjatuhan. Tangannya mencengkeram leher rekannya. Dengan satu tangan ia angkat tubuh Arya itu hingga melayang beberapa senti dari lantai. Dengan cepat, kaki kanan Arya menendang ulu hati Wira hingga pemuda itu terdorong dan melepaskan cengkeramannya.
Pengunjung bar mulai bereaksi. Beberapa dari mereka tampak melangkah pergi keluar ruangan, sebagian justru antusias dengan hal yang sedang terjadi. Segelintir mulai menyoraki.
“Bangsat!” Wira meraih kerah Arya dan melempar tubuh rekannya ke kursi-kursi tinggi dekat konter minuman. Arya mengerang ketika punggungnya membentur kaki kursi yang terbuat dari logam itu. Beberapa detik kemudian, Arya melindungi kepalanya dari botol-botol yangi Wira lemparkan sambil berjalan mendekat, seenaknya mengambil botol minuman dari meja-meja yang ia lewati.
Wira mengambil satu botol besar minuman di meja konter dan dipecahkannya dengan pinggiran meja. Arya berusaha bangkit, sedikit terkejut rekannya ini masih cukup kuat walau sedang mabuk.
Wira mengarahkan bagian yang tajam dari botol yang pecah itu ke wajah Arya. “Sebaiknya kau tarik kata-katamu tadi, keparat.”
“Whoa, aku takut,” cibir Arya.
Wira meraung, ia berkali-kali mengayunkan botol pecah itu ke arah kepala Arya. Pipi Arya sedikit tergores oleh botol kaca itu. Satu kesempatan ketika Wira akan mengayunkan botolnya, Arya memukul pergelangan tangan Wira sehingga botol itu terlepas dari genggamannya.
Sorakan lambat laun berhenti. Tak seorangpun berani maju melerai.
“Ups,” Arya meringis. Sekian detik kemudian Arya berhasil mendaratkan beberapa pukulan ke wajah Wira yang sempat termangu. Beberapa pukulan ke ulu hati, yang membuat pemuda berambut cepak itu sempat membungkuk menahan sakit. Namun, amarahnya seakan membuat rasa sakit itu tak begitu terasa. Ia lemparkan dua kursi kayu terdekat ke arah rekannya, namun si pendek itu berhasil menghindar lagi.
Wira menghujani Arya dengan pukulan dari kedua tangannya. Arya dengan gesit menghindar dan terkadang menepis pukulan yang melayang ke arahnya. Bahkan ketika pukulan Wira mengarah langsung ke wajahnya, ketika ia tahan dengan kedua tangan, badannya sedikit terdorong ke belakang. Sekejap, ia melihat sebuah celah.
Ia menunduk pada pukulan Wira yang berikutnya. “Dasar orang mabuk,” ucapnya sambil melayangkan upper-cut ke dagu Wira. Terdengar gigi Wira saling berbentur akibat pukulan tadi. Kepala Wira seakan terlempar ke belakang.
Arya memanfaatkan kesempatan itu untuk menyapu kaki Wira dengan kaki kanannya. Pemuda yang lebih tinggi darinya itu hilang keseimbangan dan kemudian ambruk di salah satu meja. Arya mendekat, menggulingkan meja itu hingga rekannya jatuh ke lantai, kemudian menarik kerah rekannya yang mabuk itu, tangannya mengepal erat.
“Sori, Wir.”
Pandangan Wira menjadi gelap.
Hening. Kecuali musik blues yang masih dengan santainya bermain lewat sound system.
Sebuah helaan napas, “Bagus,” ucap Dana dengan nada tajam. Arya menoleh pada bosnya yang menampakkan diri dari balik pojok tembok—entah sejak kapan dia berada di sana, kini melotot padanya. “Gaji kalian kupotong buat ini.”
Sejujurnya pula Dana tak mampu menghentikan Wira jika sedang dalam kondisi seperti tadi. Lebih dari satu orang untuk menahan amukannya, justru entah bagaimana makin besar kesempatan bagi Wira untuk mematahkan tulang Dana dalam hitungan detik.
Bocah ini seperti tak lagi menganggap mana kawan mana lawan di saat marah. Cukuplah terjadi pada anak buahnya yang lain pada waktu yang sangat tak menguntungkan.
Wira tidak gila. Dia hanya tidak biasa, Dana melihat itu sejak bertatap mata untuk pertama kali. Kini makin ia sadari adanya sebuah mekanisme yang Dana sendiri tak bisa menjelaskan bagaimana.
Dan perasaan apa pula yang sempat keluar tadi, menyuruh Dana untuk menjauh dari Wira. Sungguh-sungguh melangkah menjauh.
Sepasang piringan semerah darah itu lalu melirik buku hitam tebal yang dibacanya tadi.
“Pertengkaran lagi?”
Seluruh pasang mata mengarah pada kemunculan seorang wanita muda, derap langkah hak tingginya pada tangga di salah satu sisi ruangan di dekat konter terdengar jelas. Surai pirang kecoklatannya yang panjang dikucir ke belakang, blazer kelabu merangkul kemeja putihnya dengan rapi. Manik-manik putih mengkilap layaknya mutiara (atau mutiara sungguhan?) mengalungi lehernya yang jenjang. Rok kain selutut memperlihatkan betis putihnya yang ramping dan mulus. Langkahnya berhenti di penghujung tangga sebelum bersandar pada langkan, kedua lengan lalu disilangkan. Sepasang iris metalik dengan tajam menyisir isi ruangan.
“E-eh… Nyonya Dania…” sebut salah satu bartender.
Mengikuti wajah-wajah yang menghadap pada satu tempat, wanita itu pun menemukan apa yang dicarinya.
Dana bangkit berdiri kemudian mendekat pada wanita yang ternyata pemilik bar tersebut.
“Maaf nyonya, akan kuganti kerugiannya.”
“Bagus. Kau menyadari perbuatan bodoh anak buahmu itu, bukan?”
Manik rubi Dana melirik ke arah Arya yang duduk dengan napas terengah di badan Wira.
Dana mengangguk singkat. “Ya, tentu. Akan kubuat mereka lebih mengerti nanti.”
Mau bagaimana, Dana harus merelakan isi dompetnya nyaris kosong. Cepat-cepat lalu ia keluar dari ruang manajer, membawa Wira layaknya menggendong sak beras dan dengan langkah lebar ia berjalan keluar bar, Arya mengikuti di belakang. Malu, rasanya.
Masih ada satu hal lagi yang ingin ia sampaikan. Melihat kondisi, sepertinya ia sebut ketika Arya sedang menyetir bukan masalah.
===
Kantor Pusat Paramayodya. Pukul 09.00.
“Sudah lama, Gama?”
Terdengar langkah kaki dan desis pintu hidrolik yang tertutup. Pria dengan iris keemasan itu melihat sekeliling ruangan, semacam peron yang hampir semuanya terbuat dari kaca. Ia hampiri sosok orang yang disebutnya tadi yang berdiri mengamati aktivitas di bawah sana.
“Seperti di dalam akuarium, ya?” canda Bram kemudian ditanggapi oleh tawa pendek dari Gama.
Hari pertama. Pada Beta-testing ini pasien penderita penyakit yang sukar disembuhkan, didahulukan untuk menerima ‘terapi’.
“Jadi… dari hasil tes kemarin. Chip spesial ini pada akhirnya bisa membuatmu kebal terhadap segala penyakit, kelainan, atau semacamnya. Heh, mungkin bisa menambah masa hidup sampai ratusan ta—” Bram memulai, kedua tangan ia pautkan di balik punggung.
“Tidak membuat kita hidup abadi,” Gama menyela. “Ya, misalkan terluka parah di kepala,  jantung, atau saraf tulang belakangmu rusak, selesailah sudah. Ditembak, contohnya. Kecepatan regenerasinya tidak bisa mengalahkan kerusakan yang sefatal itu, sayangnya.”
Senyum di wajah Bram bergerak turun. “... Oh. Berarti… tes sebelumnya… ada yang…”
“Benar,” Gama menghela nafas pelan. “Kemarin itu… kita mengambil lima dari yang gagal. Paling tidak itu mengakhiri penderitaan mereka.”
Jeda keheningan terjadi antara mereka, entah karena topik yang tiba-tiba menjadi berat, atau mereka sibuk memperhatikan para pasien yang sedang dipersiapkan untuk menjalani terapi. Dari balik kaca sebuah ruangan khusus di lantai dua, dua pasang mata tersebut mengamati tes fisik dan psikologis yang diatur oleh staf Paramayodya beserta beberapa petugas kesehatan dari kota. Pasien yang datang cukup banyak, mereka semua direkomendasikan oleh instansi-instansi kesehatan di kota Ayodya. Khususnya penderita penyakit genetik dan yang sukar disembuhkan.
“Selamat pagi, Pak Gama, Pak Bram,” suara lembut Nana terdengar begitu ia memasuki ruangan.
Bram membalikkan badan dan tertawa kecil, “Tidak perlu formal begitu, panggil saja seperti biasa.”
“Baiklah, Mas Bram. Sudah lama di sini bersama Mas Gama?”
“Ah, belum, belum. Baru saja. Apakah ada sesuatu yang harus disampaikan atau kau memang khusus bertugas mendampingi suamimu hari ini?”
Nana menunjukkan sebuah map di tangannya. “Keduanya.” Nana kemudian berjalan mendekati bos sekaligus suaminya itu yang masih mengamati kinerja para staff-nya di bawah sana.
“Mas, ini menyangkut pasien khusus yang direkomendasikan dari rumah sakit pusat,” ucap Nana sambil memberikan map tersebut.
“Darien… Bareksa. 24 tahun. Menderita multiple sclerosis... Bagaimana? Apakah dia sudah hadir di sini?”
“Sudah, ia sedang menjalani tes fisik—” Sebuah bunyi denting terdengar dari meja di tengah ruangan. Ada lingkaran berkedip-kedip di tengahnya. Nana mendekati meja tersebut dan menyentuh lingkaran tersebut. Layar hologram terproyeksi di meja tersebut.
“Pak Gama, tes fisik untuk Darien Bareksa sudah selesai dijalankan. Berikut kami kirimkan hasilnya...” Suara seorang wanita (salah satu staff Paramayodya) kemudian menjelaskan secara garis besar kondisi fisik pemuda bernama Darien tersebut. Gama yang masih memandang ke luar ruangan, mengangguk-angguk pelan, menandakan ia paham betul apa yang dialami si pasien.
“Saat ini, tes psikologi sudah dimulai. Kami akan memberi informasi selanjutnya.”
“Baiklah, lanjutkan.” ucap Gama menutup percakapan dengan staffnya tersebut.
Bram yang sempat berjalan-jalan mengitari ruangan, kembali mendekati sang kepala proyek Homunculus. “Multiple sclerosis ini… penyakit yang sukar disembuhkan dan belum ada obatnya bukan? Ah… kuharap chip ini memberikan dampak yang baik untuk pemuda itu,” ucapnya.
“Ya. Semoga.”
“Juga, dampak baik untuk sekian tahun ke depan. Dari apa yang sudah kudengar di luar sana, jika proyek ini berhasil, grafikku akan naik tajam.”
Sepasang suami-istri di ruangan itu kompak memindah pandangan ke arah Bram.
“Apa?” Bram tersenyum simpul, balas memandang keduanya. “Benar begitu, kan? Sesuai kesepakatan, kau akan kuberi 60% karena dirimu yang punya ide brilian ini. Baiklah, aku pergi dulu. Sampai bertemu esok hari. Tak sabar impianku untuk terwujud.”
Satu lambaian tangan dan Bram melangkah keluar ruangan, meninggalkan Gama dan istrinya yang masih menatap pintu yang menutup dilewati si pebisnis tadi.
Senyum kecut tipis merekah. Ia tak pernah merasa membahas soal diri sendiri untuk proyek ini, Gama pikir.
===
Fasilitas Riset Paramayodya. Suatu area, pukul 13.00.
“Kita sampai, tuan Darien.”
Pintu hidrolik terbuka, kursi roda pemuda berambut pirang kecokelatan itu didorong masuk oleh seorang staf pemuda berambut hijau toska. Di tengah-tengah ruangan oktagonal tersebut terdapat sebuah alat bedah dengan lengan-lengan robot. Di sisi kiri dan kanan, ada komputer pengendali.
“Selamat datang, Darien. Anda beruntung direkomendasikan untuk ikut serta.” Seorang lelaki paruh baya dengan kacamata dan rambut klimis coklat menyambut pasien tersebut.
“Venndra, sebaiknya kau menyiapkan alatnya. Lebih cepat, lebih baik.”
Venndra mengangguk pada rekan sesama ilmuwannya itu. Sejenak ia memandang Darien, sebuah senyuman ia berikan.
Darien membalasnya dengan senyum tipis.
Ia masih memiliki harapan untuk dipegang.


# # # Continued in the Next Chapter # # #

  1. Multiple sclerosis: Penyakit langka akibat sistem kekebalan keliru menyerang selaput pelindung sel saraf pada otak dan saraf tulang belakang sehingga muncul pengerasan di bagian yang rusak. Sinyal saraf menjadi terhalang, koordinasi anggota tubuh pun terganggu dan kondisi parahnya dapat menyebabkan kelumpuhan. Penyebab belum diketahui pasti (kemungkinan ada pada faktor lingkungan, genetis, virus, atau infeksi mikroba) begitu pula dengan obatnya. Komedian (alm.) Pepeng meninggal karena penyakit ini. [v] [w]
  2. Distrofi otot: Kelainan genetis yang menyebabkan pelemahan otot pengendali gerak tubuh. Secara bertahap serat otot melemah hingga penderita kehilangan kemampuan bergeraknya. Belum ada obat yang bisa menyembuhkan ini. [x]
  3. Flashbang: Sejenis granat yang tidak merusak melainkan mendisorientasi indera. Ketika meledak akan menimbulkan cahaya menyilaukan (flash) dan dentuman yang sangat kuat. [y]
(A/N)
Agon: Phew, alright. Lebih banyak karakter dan konflik yang kita tampilkan di sini, hope you enjoy it!

Fay: Oke, satu lagi karakter baru. Ivan dan Dokter Erwin hanya orang lewat hahaha

Sekali lagi, PAF hanya milik Mimin Beruang seorang, kita hanya minjem mereka buat jadiin aktor di sebuah AU (?)

Kritik/Saran boleh sekali~

@F_Crosser | @agonps

2 comments:

  1. Aaah, ceritanya keren!! *gelundungan* Konfliknya menarik, perkembangan cerita yang tetap tapi penuh kejutan bikin makin penasaran sama kelanjutannya! Walau masih agak megap-megap mengingat karakternya, tapi tetep asyik dibaca. Nggak sabar nih nunggu case 7... xD

    Ah iya, typo untuk "trio arab bersaudara", itu 'Arab'nya kapital, karena itu menunjuk 'ras' mereka (yah, walau bukan ras asli sih... atau memang Arab?) :3
    sama penyebutan suster di akhir percakapan yg pertama sendiri, "suster" nya nggak kapital. Mungkin kalo yg itu autocorrect...

    Mungkin sekian dari Lily... met ketemu di chapter berikutnya, ciao~ OuO)/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai, Fay di sini~

      Waaah makasih banyak! Iya karakternya emang buanyak hahaha
      Ah iya typo-nya. Bukan typo juga sih, waktu itu kita emang agak ragu mana tulisan yang bener hehe...

      Sekali lagi makasih udah mampir! :D

      Delete