Thursday, August 20, 2015

Case #7

Mentari mulai tenggelam di ufuk barat, seorang pemuda dengan bandana biru yang menahan rambut coklatnya tengah berlari. Sehelai handuk putih disampirkan di lehernya, earphone yang terpasang di telinganya memainkan lagu berirama cepat. Napasnya stabil walau sedikit terengah. Bulir-bulir keringat mengalir pada dahi dan pelipisnya, kaos biru tanpa lengannya basah.
Rico melihat ke smartwatch-nya sembari berlari, layar arloji itu menunjukkan detak jantung serta jarak yang sudah ditempuh olehnya saat jogging sore ini.
“Oke, sudah waktunya,” ia bergumam. Langkahnya sampai pada lobi apartemen sebelum memasuki elevator menuju lantai 14. Ia sapa salah satu tetangganya yang kebetulan berpapasan dan sampailah ia di ruang 313.
“Aku pulang!” ucapnya sembari membuka pintu. Di tengah ruangan, duduklah kakaknya Nico di sofa dengan sepiring penuh donat dan sebuah laptop di atas meja kaca. Sambil mulutnya menggigit donat dengan krim coklat, ia tampak sibuk mengerjakan sesuatu.
“Hei, Ricky,” sapa Nico setelah mengunyah potongan donatnya. Adik yang disapanya itu kemudian duduk di sebelah Nico sambil mengelap keringatnya dengan handuk. “Gimana jogging?” tanyanya basa-basi.
“Ya begitulah. Kak, udah kubilang jangan banyak manis-manis…” Rico menghela napas.
“Ayolah, Ric… Bilang aja kalau kamu juga mau,” Nico menyodorkan piring di hadapan adiknya, “Sesekali!”
“... Terserah, lah. Sisakan satu buatku nanti, kak. Ngomong-ngomong, Ibu masih di luar?” Rico membalas tanya.
Nico menggigit sepotong kecil, menjawab, “Di balkon, menyiram tanaman.”
“Oh? Kukira jadi pergi keluar sebentar sama Bu Linda, tadi.”
“Bu Linda ada urusan mendadak, katanya besok pagi ke sini lagi.”
Nico membuka sebuah file dan menyalakan koneksi nirkabel pada laptopnya. “Ric, tolong nyalakan printernya,” ucapnya.
Rico langsung beranjak, menyalakan alat cetak yang disebut di ruang sebelah. Mesin itu pun mulai menyesuaikan diri sebelum rentetan kertas putih ditumpahi tinta membentuk baris demi baris tulisan, halaman demi halaman.
Setelah selesai, Rico mengambil lembar demi lembar dan membacanya. Terpampang di bagian atas sebuah kop dengan tulisan, “IO Technologies...” gumam Rico. Iseng, ia buka halaman isinya dan menemukan tanda air. Tanda yang sama ia temukan di halaman-halaman berikutnya.
Top Secret.
Dahi Rico mengerenyit.
“Udah selesai, Ric?” sahut Nico dari ruang tengah. Rico menghampiri kakaknya dan menyerahkan berkas tersebut. “Thanks,” ucap Nico dengan isyarat tangannya. Rico duduk di sebelah saudaranya itu dan akan membuka mulut untuk bertanya, ketika Nico berucap, “Hebat, kan? Baru sebentar bekerja di IO, aku udah diberi tugas untuk membuat sistem distribusi barang.”
Nico terkekeh. Rico menggelengkan kepala, lucu rasanya seakan Nico bisa membaca pikirannya.
“Barang apa yang kakak distribusikan? Smartphone? Multimedia player?”
“Hahaha! Bukan lah, Ricky. Barang ini… spesial, dan amat penting. Sebuah chip.”
“Chip? Keripik kentang?” ucap Rico setengah bercanda.
“Bukan, adikku yang konyol!” Nico menjitak kepala Rico. “Chip medis! Hasil kerjasama IO Tech dengan Paramayodya.”
“Paramayodya… Tunggu, Paramayodya yang itu?”
Nico mengangkat satu alisnya, “Yang itu… apa?”
“Eh, bukan, lupakan.”
Nico mengambil lembar terakhir dari berkas itu dan menunjukkannya pada adiknya, di lembar itu terpampang gambar sebuah benda seperti kapsul dengan pola-pola sirkuit di dalamnya. Di bawah gambar itu tertulis nomor seri dan fungsi, bahkan cara aktivasinya. Mata Rico terbelalak.
Waktu itu di acara wisuda. Rico benar-benar paham sekarang.
Adrian memang tahu.
Eksperimen itu, proyek itu, nyata.
“Kira-kira apa kabar si Adrian, ya? Belum nongol juga batang hidungnya. Katanya sudah punya banyak tawaran? Sementara aku di sini sudah akan mengerjakan sebuah bagian dari satu proyek besar~” Nico berseloroh.
Juga, Nico terlibat di dalamnya.
“Oke, jadi… Chip ini untuk terapi medis. Semacam penyembuhan menggunakan energi alam atau apalah. Seperti yang ada di berita-berita terbaru televisi,” ujar Nico.
“Apa kakak tahu chip ini akan disebarkan ke mana saja?” tanya Rico.
“Iya, lah. Kantor-kantor cabang Paramayodya, instansi kesehatan, militer...”
“Militer? Buat apa?”
“Yaah... paling mungkin pertolongan pertama pada prajurit yang terluka saat perang, kan?” Nico mengangkat bahu. “Err, atau mungkin pertolongan kecelakaan latihan atau apalah. Lagian, sekarang sedang tak ada perang. Oh! Ini bonus katanya—tahu orang yang menghampiriku saat wisuda kemarin? Daniel? Dia memberiku kesempatan untuk mencoba. Tesnya lusa, hari kedua. Besok ini hari pertama, untuk mereka yang membutuhkan lebih dulu. Boleh diambil boleh tidak, sih.”
Jeda sekian detik sebelum Rico menanggapi, “... Jawaban kakak?”
“Aku ambil.”
Rico menatap lurus ke arah lantai, merenung.
“Ya, gimana ya—ayolah, mungkin setelah chip ini terpasang di tubuhku aku tak perlu ragu lagi menikmati cheeseburger favoritku.”
Mendapati sang adik tak merespon, tiba-tiba telapak tangan Nico dikibaskan di depan wajahnya. “Oi, Ric. Jangan melamun,” ujarnya.
“Ah... haha, tidak apa-apa. Aku hanya berpikir.”
“Tentang?”
Sekian detik Rico terdiam, kemudian berkata, “Kakak membiarkan aku melihat isi dari sebuah dokumen yang… sangat rahasia.” Satu helaan napas dan tatapan lurus, “Aku takkan melakukan itu kalau ada di posisi kakak sekarang.”
Nico mengalihkan pandangan, mengedikkan bahu lalu membalas, “Kamu pikir ini tindakan bodoh?” Ia menggeleng dengan senyum lebar merekah di wajahnya. “Haha. Ricky, Ricky. Kupikir kamu berhak tahu. Kamu adikku, kan? Aku percaya padamu. Bukannya kita selalu berbagi rahasia? Selama ini kita juga menjaganya baik-baik. Kenapa aku harus khawatir? Ini hanya diantara kita berdua juga, kan? Aku mengenalmu, Ric. Aku tahu kamu takkan mengambil kesempatan.”
Rico mengangguk pelan, dengan sebuah senyuman yang (sedikit) terpaksa ia mengucapkan, “Selamat ya, kak.”


= = =

Variable X

Case 7: Minutes


= = =





Pukul enam pagi, hari pertama.
Koridor remang Arya susuri, langkah sepatu botnya terdengar lantang ketika bersentuhan dengan lantai logam. Dinding bajanya membuat suasana sedikit sesak. Senapan otomatis disampirkan pada punggung untuk jaga-jaga. Arya menyapa seorang rekan yang berjalan dari arah berlawanan, melakukan patroli bersamanya di area yang sama.
Sebenarnya bukan area yang Arya senangi. Namun apa kata Dana, si surai merah itu menyuruhnya untuk memimpin penjagaan di area sini.
Arya benci tempat karantina. Jauh dari peradaban, bawah tanah, pula. Rasanya seperti berada di koridor rumah sakit jiwa dengan pasien penderita kejiwaan kronis—namun lebih buruk. Tak jarang bulu kuduk pria kecil itu berdiri ketika melewati satu atau dua ruang dan mendengar lenguhan, geraman, dan semacamnya dari balik pintu-pintu baja.
Mendadak salah satu pintu dan dinding baja itu dihantam keras dari dalam, mengagetkan Arya dan nyaris kehilangan keseimbangan. Tangan spontan menekan dadanya yang naik turun kuat mencoba mengembalikan udara ke dalam paru-parunya serta kerasnya pacu jantung yang terdengar jelas di telinganya.
“Dana brengsek!” rutuknya sambil menghantamkan kaki ke lantai sebelum kembali melangkah.
Arya telah hidup di dunia bawah yang jarang sinar dunia luar menembus sampai sana cukup lama. Tak kenal dengan istilah ‘sad ending’ apalagi ‘happy ending’ mengingat semua orang yang ditemuinya berakhir sama—tidak berada di sisi keduanya. Tak jelas mana iblis, mana malaikat, mana buruk, mana baik, mana yang sengsara dan mana yang bahagia.
Langkah Arya terhenti sejenak di depan salah satu pintu kurungan, menoleh pada jeruji ventilasi kecil di pintunya.
Kekuatan? Mananya yang kekuatan jika berakhir menjadi monster mengerikan seperti manusia-manusia hilang akal di balik kurungan baja ini?
Dana sedikit bermasalah, Arya melihat itu. Namun ia tak sampai pikir jika Dana berencana mengambil ‘kekuatan’ itu saat mengantar Wira pulang ke markas setelah insiden bar kemarin malam.
“Aku mengikuti proyek ini hanya untuk kekuatan, Arya.” Dana angkat bicara setelah separuh perjalanan hanya deru mobil yang terdengar. Pandangannya lurus menatap ke jalan, tangannya mantap memegang roda kemudi.
Arya yang duduk di kursi sebelahnya mengangkat sebelah alisnya, “Maksudmu?”
“Kau tahu untuk mencapai evolusi dengan alat itu, kau harus memiliki keinginan kuat.”
“... Dan… yang kau mau adalah...?”
“Aku ingin lebih kuat.” Manik rubi Dana berkilat terkena lampu jalanan. “Jika aku dan Wira berhasil, aku akan bawa kalian untuk memakainya juga.”
“A-apa?!” Arya menoleh tajam. “Kau gila?!”
“Mereka yang selamat dari eksperimen itu memiliki tujuan jelas untuk hidupnya, Arya. Chip itu bukan sekedar chip kesehatan. Chip itu memperkuat. Kau tahu? Para alpha-tester yang selamat diketahui memiliki ‘hadiah’, muncul dua-tiga bulan setelah diinjeksi. Menariknya, mereka tetap manusia utuh. Waras. Hadiah yang mereka dapatkan itu disebut-sebut dari hasil tes psikologi mereka.”
“Lalu…” Arya menelan ludah dan bertanya hati-hati, “Setelah kau mendapatkannya… Mau kau apakan?”
“Ada kabar pergerakan dari Pesisir Utara. Ini kesempatan kita untuk memberi mereka pelajaran.” Seringai lebar merekah pada bibir Dana. “Kupikir para veteran akan senang juga dengan kesempatan ini.”
Pesisir Utara. Dana pernah menyebut itu sekali waktu. “Siapa?” tanya Arya lagi. Genggaman tangan Dana yang mengepal pada roda setir memberitahunya bahwa kelompok itu tak meninggalkan kenangan bahagia.
“Tujuh tahun yang lalu...” Dana bergumam, menarik napas dalam-dalam. Masih terpatri dalam ingatannya kejadian dini hari itu.
.
Datang bagai sambaran petir siang bolong. Desingan peluru, suara kaca yang pecah berserakan, erangan dari para rekan ayahnya yang gugur ketika timah panas menembusi badan mereka.
Remaja lima belas tahun itu menggenggam erat belati perak pemberian ibunya sembari berjaga di tempat tidur. Tak lama ia mendengar derap langkah tergesa menuju kamarnya. Ia bangkit dan berjalan ke arah pintu dengan kaki gemetar, peluh dingin membasahi tubuhnya. Meski tubuhnya sudah terlatih, mental belum siap menghadapi situasi perang seperti ini.
Pintu didobrak dengan keras, Dana terkesiap. Di hadapannya berdiri ayahnya, dengan kemeja berlumur darah. Dari lubang di bahunya mengalir darah, mengalir hingga ke lengan. Manik gelap ayahnya redup menyiratkan kekhawatiran.
“Ayah!” ucap Dana menghampiri ayahnya yang jatuh berlutut di dekat pintu.
“Dana, kamu harus segera pergi dari sini,” ucap lelaki paruh baya itu dengan terengah.
Air mata mulai menggenang di sudut mata Dana, tak kuasa melihat orangtuanya seperti ini.
“Ada apa, Jagoan? Kenapa kamu menangis?” ayah Dana tersenyum tipis. Dana menggelengkan kepalanya, menahan sesak yang memenuhi dada dan pening yang mulai menyiksa kepalanya.
“Di mana ibu? Aku tak akan pergi tanpa kalian!”
Iris ayahnya makin meredup, pandangannya lurus ke bawah. “Maaf, Dan. Ayah tidak bisa melindungi ibu.”
Sekian detik kemudian, letusan pistol terdengar dari luar. Cukup keras hingga membuat telinga Dana berdengung. Darah kembali mengalir, kini dari sudut bibir ayahnya.
Well, well… Sudah kuduga kau berada di sini.”
Pupil Dana melebar. Di luar pintu berdiri seorang lelaki tinggi besar berusia duapuluhan, mengarahkan pistol pada punggung ayahnya. Lelaki itu menyisir rambut undercut pirangnya dengan jemari.
“Tidak sulit melumpuhkan tiga puluh penjaga ketika kau bersama seratus orang.”
“Brengsek!” umpat Dana pada lelaki itu, namun ia sendiri tak dapat melakukan apa-apa. Hanya berdiri diam dengan penuh keraguan.
“Oh, hai, Bocah. Maaf harus membuatmu melihat ini.” Jari telunjuk lelaki itu menarik pelatuk empat hingga lima kali, timah panas kembali bersarang pada punggung ayah Dana. Semakin banyak darah yang mengalir dari mulut ayahnya.
“Ayah!” Dana menjatuhkan belatinya dan memegangi tubuh ayahnya yang akan roboh ke lantai. Dua tangan lelaki paruh baya itu memegang erat pundak Dana, ia tersenyum kembali di hadapan anaknya.
Pandangan Dana mulai kabur karena air mata. Ia menahan diri sekuat mungkin untuk tidak terisak.
“Tetaplah hidup... Jangan ikuti jejak kedua orangtuamu, nak… Kau pasti bisa.”
Sosok yang dianggapnya pahlawan itu, menghembuskan napas terakhir di hadapan Dana. Tak ada lagi cahaya pada iris mata ayahnya.
“Ooooh… Anak malang.”
Mulut Dana terkunci, tak tahu harus bagaimana lagi. Kesedihan dan kemarahan, terhadap takdir yang harus terjadi pada ia dan keluarganya, membungkam suaranya untuk berteriak. Tubuhnya bergetar hebat ketika membaringkan tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa.
Darah. Darah melumuri telapak tangannya.
Gigi Dana bergemeletuk, perlahan ia bangkit walau dengan kaki gemetar. Ia raih belatinya, dan menatap tajam sosok pembunuh ayahnya dengan piringan rubi yang berkaca-kaca.
“Punya nyali juga, bocah. Kau bahkan lebih muda dariku.”
“Diam.”
Dana berlari ke arah lelaki itu dan akan menusuk, ketika kaki kanan lelaki itu melecut dan menghantam sisi perutnya. Dana terpelanting ke arah samping, belatinya kembali jatuh. Lelaki itu melangkah masuk dan mendekati Dana. Ia ambil belati kesayangan Dana dan menarik kerah remaja itu.
“Bangun, Jagoan. Atau ayahmu di alam sana akan kecewa melihat anak yang menyedihkan sepertimu.”
Dana menggeram, ia memegang lengan lelaki itu kuat-kuat mencoba melawan. Yang terjadi kemudian, lelaki itu mencekik leher Dana dan mengangkat tubuhnya. Tercekat, sesak. Dana meronta namun ia tak kuasa. Tubuh remaja bersurai merah itu dibanting ke lantai dan ia mengerang.
“Kau ini memang menyedihkan, tidak berguna. Lembek begini mau jadi penerus keluarga Laut Selatan, katanya? Bersyukurlah kau kubiarkan hidup.”
“I-iblis. Akan kubalaskan kematian orangtua—” kata-kata Dana terputus, berganti menjadi jerit kesakitan ketika ia merasakan perih yang dalam pada dahinya. Lelaki itu menggoreskan luka menyilang dengan belati perak Dana.
“Kuberi kau kenang-kenangan akan kejadian ini, bocah. Jika kau cukup tangguh suatu saat nanti, balaskanlah kematian keluargamu. Ooh, tunggu—mungkin tidak. Ayah tak memperbolehkanmu, kan?” Manik biru langit lelaki itu menghina dan seringai diakhiri tawanya menunjukkan kepuasan.
Dana masih meronta dan mengerang, namun semua daya seolah hilang dari tubuhnya. Perih, sakit, marah, sedih, takut, semua terukir jelas pada diri Dana malam itu. Terutama luka di dahi dan darah yang mulai mengalir pada pelipisnya.
Game over.” Sebuah hantaman dan semuanya menjadi gelap.
.
“Orang-orang Pesisir Utara itu memang brengsek,” komentar Arya setelah mendengar cerita Dana. Dana mengangguk pelan, telah ia ceritakan semua kecuali bagian tentang kedua orangtuanya.
“Kemudian… bagaimana dengan... orangtuamu?” Arya lalu bertanya dengan hati-hati.
Dana terdiam sejenak. “Mereka… menikmati masa tua di tempat lain.”
Arya menghela napas, “Baguslah kalau begitu. Sudah sepatutnya mereka beristirahat.”
“Begitulah...”
Deru mobil mengisi sisa perjalanan mereka hingga ke markas. Piringan rubi itu menatap lurus ke jalan. Terkadang berkilat ketika cahaya mengenainya.
Arya, sekarang masih menatap pintu baja yang sama di sebuah koridor area karantina, sekilas menangkap sorot kesedihan dan kekhawatiran dari sahabatnya pada saat itu. Namun, ia abaikan, seolah itu hanya dari pikirnya saja.
===
“Terima kasih,” ucap lelaki berambut panjang berkucir ekor kuda itu setelah menerima pesanannya. Berbalik dari konter, disedot sedikit minumannya kemudian melihat ke sisi gelas plastik yang ia pegang. Ia mendengus pelan, merogoh smartphone-nya dan mengambil foto bagian yang sedikit membuatnya lelah.
“Namaku Theo, bukan Cleo.” Mengedikkan bahu, ia kembali minum.
Siang yang cukup panas untuk berjalan-jalan, namun ia tak akan mau melakukan itu jika bukan karena permintaan sahabatnya. Menduduki satu kursi kosong di cafe itu, ia ambil smartphone di sakunya yang bergetar dan mendapati dua pemberitahuan.
Stella: Good morning, tiger. Have a nice day. :*
Theo tertawa kecil dan bergumam sembari mengetikkan pesan pada chat box, “It’s almost noon already, and you just woke up?”
Terkirim.
Satu notifikasi lagi, dari multi-chat dengan Aldo dan Aldi.
Aldo Tanubrata: Gimana, Theo? Udah ketemu?
Tanubrata Aldi: Kamu tahu, barusan dia update beli es kopi dan namanya berubah jadi Cleo
Tanubrata Aldi: Jelas dia belum nemu kecuali tulisan namanya yang diganti pada gelas plastik
JusTheo: Udah dibilangin pegawai mereka punya pendengaran yang buruk!
Aldo Tanubrata: Terserah lah, kamu di mana?
Theo menatap sekitarnya.
JusTheo: Tempat nongkrong anak kekinian
Tanubrata Aldi: Sudah kuduga
Theo menggelengkan kepala dan menggumamkan apa yang diketiknya, “Kamu bilang di dekat sini ada markas besar Paramayodya?”
Aldo Tanubrata: Ya memang, kantor pusat ada di sekitar situ. Cuma aku lupa di mana
Tanubrata Aldi: Pakai GPS atau peta digital dasar pemalas
JusTheo: Kalian di mana? Lucu rasanya kalau chatting sebelahan
Tanubrata Aldi: Lagi di kantor, bongkar sana sini
Aldo Tanubrata: Aku di rumah
Aldo Tanubrata: Eh ini Rico mau bilang sesuatu
JusTheo: Jebloskan aja ke sini
Aldo Tanubrata: Tunggu. Dia mau PM dulu
Tanubrata Aldi: Cie
Sekian waktu berlalu sebelum username Rico Hendrik masuk ke dalam chatroom.
Rico Hendrik: Gimana?
Tanubrata Aldi: Tanya tuh teman kekinian kita. Cleo.
JusTheo: Sssh, aku lagi cari info
JusTheo: Eh, ini ada beritanya di TV. Lagi.
JusTheo: Masih nggak percaya mereka menggratiskan testing buat khalayak umum. Ya cuma sehari, sih.
Rico Hendrik: GRATIS?! :O
Rico Hendrik: Sehari, pula?!
Rico Hendrik: Wah, besok pasti ramai
JusTheo: Kelompok orang di meja belakangku lagi cerita alat kesehatan itu juga
JusTheo: Kira-kira berapa banyak yang udah dihabiskan, ya...
Rico Hendrik: Tapi Al, ayah kalian sebenarnya tahu nggak, soal ini?
Aldo Tanubrata: Apanya? Produksi apa eksperimen?
Rico Hendrik: Dua-duanya
Tanubrata Aldi: Sepertinya semuanya
Jeda.
JusTheo: … Lalu buat apa khawatir?
Aldo Tanubrata: Kita gak akan pernah tau apa yang akan dilakukan duo licik itu.
Tanubrata Aldi: Err… Bram dan Daniel?
Rico Hendrik: Ayolah, kalian masih mencurigai mereka?
Aldo Tanubrata: Kalian sendiri tahu ayahku cuma jadi pemegang saham, sekarang. Semua aktivitas ayah berikan kontrol ke mereka.
Aldo Tanubrata: Beberapa waktu lalu, lima pegawai divisi riset dikirim ke Paramayodya. Aku kenal tiga di antaranya.
Aldo Tanubrata: Balik-balik, dua orang gak ada kabar.
Aldo Tanubrata: Kukira mereka izin sakit atau apalah, tapi catatan mereka gak ada. Berlangsung selama seminggu lebih.
Aldo Tanubrata: Aku tanya ke tiga orang yang bersama mereka ke lab waktu itu, mereka bilang gak tahu.
Aldo Tanubrata: Besoknya, aku sama beberapa orang kantor pergi ke apartemen mereka. Kosong.
Aldo Tanubrata: Tetangga-tetangganya juga gak tahu keberadaan mereka. Status mereka pula masih checked in di admin apartemen.
Aldo Tanubrata: SEMENTARA, duo brengsek itu gak melakukan apa-apa. Pimpinan perusahaan diam saat anak buahnya hilang. Kebetulan? Nggak mungkin.
Tanubrata Aldi: ...
Aldo Tanubrata: Di, habis kita tahu kapan tanggal eksperimennya, aku mau kamu jaga di perusahaan.
Aldo Tanubrata: Aku akan ikut tesnya.
Hening sekian detik.
Tanubrata Aldi: Kau bercanda kan
Aldo Tanubrata: Buat apa bercanda? Mungkin di sana aku bisa lihat lebih jelas sampai dalam-dalamnya
Aldo Tanubrata: Bagaimana dengan kakakmu, eh? Rico?
Aldo Tanubrata: Yang direkrut langsung oleh Daniel?
Rico Hendrik: Uhh… ini yang sebenarnya mau aku bilang.
Rico Hendrik: Dia ikut proyek itu.
Alis tebal Theo terangkat sebelah. Nicolaas Hendriksen? Terlibat?
Tanubrata Aldi: Osvaldo.
Aldo Tanubrata: Apa
Tanubrata Aldi: Santai.
Detik berselang.
Rico Hendrik: Harusnya aku tidak bilang tapi aku tidak mau kakakku dipasangi alat kesehatan itu
Rico Hendrik: Gimana caranya
Rico Hendrik: Aku harus mencegah kakak
JusTheo: Hah
Rico Hendrik: Top secret
Rico Hendrik: Perasaanku nggak enak
Rico Hendrik: Adrian benar
Rico Hendrik: Kak Nico sudah bilang iya
JusTheo: Oke oke. Tenang. Ceritakan runtut
Rico Hendrik: Oke, dimulai dari kemarin sore.
Rico Hendrik: Sepulang jogging, Kak Nico ada di ruang tengah. Mencetak sesuatu dengan printer dan aku yang mengambilkan.
Aldo Tanubrata: Lalu?
JusTheo: Err… guys, ini udah ketemu kantor Paramayodya. Enaknya masuk ke sana, nggak?
Tanubrata Aldi: Carilah informasi, bocah gondrong.
JusTheo: brb
Theo memasukkan ponsel pada kantong celananya. Ia menelan ludah, melihat gedung tinggi berlapis kaca—mungkin ada empat puluh lantai—dengan logo Paramayodya yang besar di puncak gedung. Dari seberang jalan ia melihat begitu banyak orang berlalu lalang di balik lapisan kaca dari pintu utama besar otomatis dengan sepasang penjaga di sana. Pintu itu diapit oleh jendela kaca besar pada masing-masing sisinya, pada sisi depan jendela yang menghadap keluar ditumbuhi semak-semak hias.
“Sekarang atau tidak sama sekali,” gumam Theo mengedikkan kepala. Ia menyeberang jalan dan menaiki tangga menuju pintu masuk. Mendekat ke penjaga berseragam, pemuda berambut panjang itu bertanya, “Err... Di mana pusat informasinya?”
Si penjaga mengangkat alis, “Masuk, di ujung ruangan kau akan menemukannya. Konter diapit dua pintu kaca.”
“Terima kasih.”
“Kau pasti mencari informasi tentang terapi kesehatan ini, kan? Anak muda seusiamu—”
“Ini untuk nenekku,” potong Theo cepat.
Penjaga itu diam sejenak, kemudian mengangkat bahu. “Baik, selamat datang di Paramayodya.”
Theo mengangguk kemudian masuk ke lobi gedung yang penuh dengan orang berlalu lalang. Kebanyakan adalah orang-orang lanjut usia dan pasien-pasien dari beberapa instansi kesehatan. Theo mengetahuinya, melihat dari seragam yang mereka gunakan. Rumah sakit, klinik, laboratorium swasta.
“Mereka semua tidak tahu apa yang ada di balik semua ini, eh,” gumam Theo sambil terus berjalan.
Tiba-tiba ia membentur seseorang, yang kemudian membenarkan kacamatanya. “Oi, lihat-lihat kalau jalan!” semprot lelaki bersurai pirang pendek yang hendak keluar dari dalam gedung itu, sepasang piringan zamrud itu menatap Theo tajam.
“M-Maaf… uh, Kak? Emm.. Mas? Err… Dek?”
“Ahh, terserah!” sentak pemuda pendek itu kemudian berlalu pergi.
Theo diam sejenak sembari melihat punggung pemuda tadi menjauh, mencoba memahami apa yang salah dari ucapannya. Namun, agaknya kejadian itu terjadi terlalu cepat untuk otaknya dapat mencerna (atau dia memang sedang malas berpikir).
Langkahnya tiba di pusat informasi, disambutlah ia oleh seorang wanita muda dengan surai hitam sebahu. “Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?” resepsionis itu menyapa dengan senyuman ramah.
“Emm, yeah. Tentang terapi kesehatan ala Paramayodya ini...”


===


“... Mereka cari-cari nggak ngajak-ajak coba, Za!”
Pandangan Kirana fokus pada layar laptop, tangan kanan menggerakkan langkah karakter yang ia mainkan dengan mouse. Jemari tangan kirinya bersiaga pada huruf-huruf tertentu pada keyboard. Di satu meja yang sama, mahasiswi tomboy itu duduk bersebelahan dengan seorang pemuda sebaya bersurai hijau gaya ekor bebek yang juga sibuk dengan laptop yang tengah menampilkan game online yang sama.
Berada di apartemen Reza, ini adalah kesempatan langka dari kedua kawan sehobi itu untuk menghibur diri di sela kesibukan yang padat. Koneksi kilat di ruangan itu sungguh-sungguh mereka manfaatkan.
“Kalau Rico nggak cerita mungkin—HEH, KURANG AJAR!” Kirana memekik kaget ketika dua karakter musuh mendadak muncul dari balik pepohonan dan melumpuhkan karakternya, disusul dengan sebuah serangan yang nyaris membuat nyawanya habis. Beruntung efek lumpuhnya tidak lama, ia masih menyempatkan diri untuk kabur kembali ke markas.
“Hehehe, makanya ceritanya nanti aja,” kekeh Reza, melirik Kirana yang sedikit terengah.
Beberapa menit kemudian, “Sialan,” umpat Reza ketika tower terakhir lapis kedua markasnya hancur dan karakternya berhasil dibunuh oleh rekan tim Kirana.
Kirana tersenyum licik, Reza mendengus.
Sejenak kemudian tim Reza dan tim Kirana saling berhadapan di daerah markas Reza. Saling melumpuhkan, saling serang. Hingga akhirnya tiga karakter rekan Reza terbunuh, tersisa Reza dan temannya.
“Bagaimana, Game Warlord?” ejek Kirana.
Reza tampak tegang, ia coba tutupi dengan sebuah senyuman yang justru nampak dipaksa. “Masih belum…” gumamnya.
“Oh, ya?” Tiba-tiba karakter Kirana mengaktifkan skill pamungkasnya. Karakter Reza mendapat begitu banyak damage hingga akhirnya ia harus menunggu satu menit lebih sebelum kembali muncul dan ia kendalikan.
Suprise, surprise...” Reza memutar bola matanya. Bersandarlah ia pada kursi, mengistirahatkan punggungnya yang pegal. “Nganggur semenit, nih. Kamu bilang apa tadi?”
“Rico tadi cerita. Eksperimentasi manusia yang dulu pernah kamu angkat itu lho,” balas Kirana.
Please, jangan ingatkan aku sama itu lagi. Udah masuk susah-susah, yang kudapat cuma sampah. Maunya masuk lebih dalam lagi, tapi… ck, aku bukan Kak Ganes.”
“Ganes siapa?”
Jeda sepersekian detik sebelum Reza menjawab, “Kakak tingkatku. Dia jenius. Aku apaan, cuma butiran debu.”
Kalau dirimu butiran debu, aku sendiri apa, Kirana membatin. “Oookay… Tapi kalau bukan karena ulah isengmu, kita nggak akan sampai sejauh ini.”
“Maksud?”
“Omong-omong, GGWP(1). Tak perlu maju lagi. Lihat, bangunan utama markasmu sudah hancur.”
“Sialan.” Reza mengambil satu potong brownies dari piring kecil disebelahnya. Melirik kesal pada Kirana yang tersenyum lebar dan kemudian memakan potongan brownies dari piring yang sama.
“Jadi...” Kirana kembali memulai. “Rico tadi—”
“Bilang aja cowokmu.”
Rona merah tipis muncul pada pipi Kirana. “BEL—maksudku, BUKAN!” Satu tarikan napas tajam, Kirana melanjutkan, “Dia cerita kalau udah ada petunjuk tentang eksperimentasi manusia yang dilakukan Paramayodya. Rapi, kuakui.”
“Petunjuk? Sejauh mana?”
“Begini… kamu tahu kan, akhir-akhir ini banyak orang hilang?”
“Yang katanya ada orang dari IO Tech yang hilang setelah masuk ke Paramayodya?”
“... Kok tahu?”
Reza mengangkat bahu, “Rumor. Di tempat ke—kuliahku yang baru banyak yang membicarakan tentang itu.”
Kirana mengangkat sebelah alisnya.
Tawa canggung terselip dari bibir Reza. “Apa?”
“Enggak. Lanjut, aku punya teman. Kebetulan dia, eh, mereka… anak bos besarnya IO Technologies. Mereka menemukan bukti investasi yang nggak jelas ke mana bermuara. Sampai muncul berita tentang terobosan baru alat kesehatan dari perusahaan itu yang bekerjasama dengan lab.”
“Umm... Bukti lain?” tanya Reza sambil mengunyah sepotong brownies lagi. “Ini enak, omong-omong. Thanks, Kirana.”
“Terima kasih. Buatan sendiri.”
Reza berhenti mengunyah, dibalas tatapan bingung dari Kirana.
“Apa? Kau tak percaya itu buatanku sendiri?”
Reza mendengus, “Aku rasa ini percobaan sebelum kau membuat kue ini untuk Rico.”
Please deh, Za. Okay, kemudian… teman-teman akan datang ke tesnya. Besok.”
“Tes? Siapa yang memberitahu kalian?”
“Errr.. Bukankah itu sudah ada di media? Terapi kesehatan? Bahkan Theo kemarin sudah ke kantor pusat Paramayodya, bertanya bahkan mengambil brosur.”
“Tapi kalian kan nggak sakit.”
“Bukannya ada yang khusus untuk orang sehat juga? Semacam terapi pencegahan, begitu katanya. Kau ini memang kekurangan informasi ya?” Kirana memasang ekspresi heran.
Reza berdehem. “Sori, aku memang sibuk di tempat baruku.” Selang beberapa saat sebelum ia menyambung, “Memang apa yang memotivasi kalian ikut? Bukannya itu bodoh kalau kamu tahu itu eksperimen manusia dan ikut begitu aja?”
Kirana mengatupkan kedua telapak tangannya, sedikit menunduk dan berkata, “Teman-temanku berangkat. Aku rasa aku juga. Sisi lain, dulu kita sudah semacam janjian mau melihat kasus ini bersama-sama, sih.”
“Bilang aja kalau mau jalan sama Rico,” cibir Reza.
Satu tamparan mengenai tepat pada pundak Reza. “ENGGAK!”
Reza terkekeh melihat semburat merah di pipi sahabatnya semakin jelas.


===


“Sekarang atau tidak sama sekali.”
Hari kedua. Surya memandang gedung laboratorium yang sepertiga ke atasnya memantulkan bayangan gedung seberang dan barisan awan di langit biru. Angin sepoi pagi yang sejuk menerpa lembut wajahnya, ujung jas cokelat mahoni sebetis yang dikenakannya ikut sedikit berkibar mengikuti arah angin.
Langkah demi langkah, ia memasuki lobi gedung Paramayodya. Masih pukul delapan sudah mulai padat juga. Melihat ke salah satu sisi ruangan, ia melihat sekumpulan anak muda tengah bercakap-cakap, ia mengenali salah satu dari mereka. Adrian. Ia panggil sepupunya itu.
Yang disebut pun menoleh, dengan sebuah senyuman cerah ia menyapa balik, “Surya!”
Surya menyalami Adrian dengan satu genggaman kuat kemudian berkata, “Jadi, kamu benar-benar serius. Hm?”
“Kesempatan seperti ini takkan datang sekali,” ucap Adrian. Ia lalu berbalik pada lingkar anak muda yang mengobrol dengannya tadi. “Teman-teman, ini Surya. Sepupuku yang kemarin aku ceritakan.”
Empat anak muda lain itu pun memperkenalkan dirinya satu per satu. Surya pun berusaha mengingat—ada pemuda pirang bernama Aldo, satu lagi Theo yang berpostur tinggi dengan rambut kucir ekor kuda, seorang wanita muda bernama Kirana dan Rico si pemuda enerjik, terasa dari genggaman tangannya yang mantap saat bersalaman bersama dengan sebuah senyum antusias.
“Baiklah. Jadi… Adrian bilang kalau dia menceritakan sesuatu tentangku pada kalian?” Surya memulai.
“Ah, itu… Iya, Adrian cerita kalau kau bekerja di kepolisian? Detektif?” balas Rico.
Surya mengedikkan bahu, kedua tangan ia selipkan masuk ke dalam saku jaketnya. “Demikianlah. Tapi sekarang aku sedang libur. Kumanfaatkan saja untuk ini. Mumpung gratis,” ucapnya diakhiri senyum simpul.
“Jadi… Nanti kau akan ikut tes juga?”
“Boleh jadi.” Surya menghela napas. “Aku ingin dengar dari kalian, apa alasan kalian untuk ikut terapi kesehatan ini?”
Mereka diam kemudian memandang satu sama lain. Theo perlahan mengangkat tangan dengan canggung seperti sedang sesi kuliah, seakan ingin mengatakan sesuatu.
“Kami sudah dengar tentang kasusmu,” sebut Aldo setengah berbisik, sedikit cepat.
Surya menoleh pada pemuda pirang itu, alisnya terangkat sebelah, bingung. “A-apa?”
“Kami akan membantumu,” kata Aldo lagi. Sorot manik biru langitnya menunjukkan kesungguhan.
Surya pandangi mereka satu per satu, yang mana dibalas dengan pandangan balik pada dirinya. “Uh, oke. Ada yang bisa menjelaskan?” tanya Surya ragu, iris kobaltnya melirik sekilas pada Adrian.
Adrian melempar pandangan ke lantai, menghela nafas. Ia lalu isyaratkan lingkaran kecil itu untuk lebih merapat. “Mungkin kebetulan kita sedang mengerjakan kasus yang sama di sini. Bahkan mungkin sebelum kami tahu kalau kau juga sedang melakukannya,” jelasnya pelan.
“Kami sadar ada sesuatu yang sedang terjadi belakangan ini… dan itu kami pikir cukup mengkhawatirkan karena sudah ada orang terdekat yang terlibat,” bantu Kirana.
“Ya, orang itu adalah…”
“Kakak saya. Ia terlibat proyek ini, di IO Tech.” Rico menyambung perkataan Aldo. “Saya ingin membawanya keluar dari situ, tapi saya tak tahu harus bagaimana.”
Theo mengangkat tangannya lagi, “Saya ikut ke sini untuk membuktikan apakah terapi ini lebih efektif daripada terapi korset magnet batu alam.” Semua menatap Theo dengan tatapan apa-kau-serius-dengan-alasanmu.
“Bercanda, aku hanya ingin membantu Rico.” Mereka masih belum melepas pandangan heran pada Theo. “Ayolah, apa itu salah?”
“Saya juga ingin membantu. Salah satu teman saya menemukan informasi mentah tentang ini, saya yang menyebarkan sampai sejauh ini,” ungkap Kirana, lalu dengan suara lebih pelan ia menyebut, “Homunculus Project.”
Alis Surya terpaut mendengar istilah itu.
“Saya anak dari pemilik IO Technologies,” ungkap Aldo, seketika kelopak mata Surya melebar. “Akhir-akhir ini kepolisian sibuk dengan kasus orang hilang, bukan? Dua pegawai perusahaan dilaporkan hilang setelah datang ke sini.”
“Omong-omong, mereka sudah membuka pendaftaran.” ujar Theo menunjuk ke balik punggungnya. Terlihat beberapa orang mulai mengantre di pusat informasi.
Surya mengedikkan bahu, “Ada baiknya kita ke sana.”
Pria berkulit sawo matang itu diikuti lima yang lainnya pun mengambil posisi. Sambil menunggu giliran, ia amati lingkungan sekitarnya. Terbagi menjadi tiga baris antrean, berbagai kalangan mengisi keragaman. Anak muda dan orang dewasa mendominasi, diikuti lansia. Di salah satu antrean terdapat satu atau dua anak yang berusia sekitar sepuluh hingga dua belas tahunan. Surya terkejut akan beberapa orang yang mengantre mengenakan seragam dinas militer negara.
Pukul setengah sembilan pagi, Surya tinggal selangkah lagi mencapai meja resepsionis. Ia menoleh ke belakang dan kagum dengan antrean sudah hampir sampai pintu masuk utama. Beruntung dirinya berangkat pagi. Semakin mendekati waktu gerbang pendaftaran ditutup pada pukul sepuluh, makin padat pula peminatnya.
“Surya!”
Suara itu begitu familiar. Setelah sekian lama ia tak mendengarnya, perasaan lega segera mengisi ketika menoleh pada sumbernya, seorang pemuda bersurai toska, berkulit putih pucat dengan jas lab putih. Sebuah tablet didekap di dada.
Ia bersyukur Venndra masih berdiri sehat. Tepat saat itu pula gilirannya mendaftar.
“Selamat pagi. Hendak mendaftar beta-testing?” sapa si resepsionis.
“Iya.”
“ID Anda, tuan?”
Surya rogoh dompet yang ada di balik saku dalam jas dan mengambil benda yang diminta. Ia letakkan pada meja, membiarkan kartu itu untuk dipindaikan. Kemudian muncul nama lengkap Surya, alamat, kontak, dan segala informasi lain pada daftar yang diperlihatkan pada layar di atas meja.
Kolom status dengan dua subkolom pada daftar itu mengusik benaknya setelah mendapati sebuah lingkaran hijau berada pada salah satu subkolom yang sebaris dengan data miliknya. Checked in? Checked out? Entah apa yang membuat lab ini menerapkan sistem penginapan untuk pendaftaran, Surya harus mencari tahu.
“Baik, sudah terdaftar,” ucap si resepsionis. “Sebelumnya, apakah Anda sudah tahu tahap utama dalam beta-testing ini?”
“Uh, kalau tidak salah ada dua, kan?” Surya sebenarnya masih ingat, ia hanya ingin memastikan.
“Benar. Hari ini adalah tahap seleksi fisik dan psikologis. Tahap ini sedikit berbeda dengan yang sebelumnya di mana kami lebih banyak melakukan penyesuaian untuk terapi kesehatan bagi pasien. Kali ini kami akan melakukan beberapa tes tertentu untuk mendata kondisi Anda. Jika kondisi memenuhi kriteria, Anda mendapatkan akses untuk tahap kedua.”
“Jika tidak memenuhi?”
“Maaf, kami rasa Anda tidak dapat melanjutkan.”
Surya mengangguk paham.
Si resepsionis kemudian menunjukkan ke arah pojok lobi yang terdapat pintu kaca ke ruangan lain. “Ruang tunggu ada di sebelah sana, nanti kami akan memanggil nama Anda. Terima kasih!”
Surya tersenyum singkat dan melangkah ke samping, mempersilahkan urutan berikut (‘rombongannya’, lebih tepatnya) untuk mendaftar. Ia hampiri segera Venndra yang tampaknya memang berdiri untuk menunggu.
“Venn, kamu baik-baik saja, kan? Berbulan-bulan tak ada kabar,” tanya Surya, nadanya khawatir.
Venndra hanya memalingkan pandangan, sebuah senyuman paksa terbentuk di wajahnya.
“Venn. Ada apa?”
“A-aku…” Lelaki yang lebih muda itu terbata, “Aku tak tahu harus mulai dari mana. Nanti, ya?”
Ruang tunggu itu begitu luas, deretan kursi berbaris pada dua sisi ruangan dan tengah-tengah. Di depan tiap baris kursi terdapat barisan meja kaca, tumpukan buku, majalah, dan camilan mengisi permukaannya. Venndra mendapat kesempatan untuk mengantarkan Surya bersama Adrian dan kawan-kawan masuk sembari mengobrol hal-hal trivial dengan peneliti muda dari lab itu.
“Hai, Adrian.” Suara berat dan dalam menyapa lelaki bersurai biru itu. Seorang lelaki sebayanya, iris rubi di balik kacamata yang ia kenakan, menyandarkan punggung di dinding.
“Dana? Kamu tiba lebih dulu?” Adrian berhenti melangkah dan menyapa balik. Mereka yang berjalan bersamanya pun turut berhenti.
“Seperti yang kamu lihat. Akhirnya kamu memutuskan untuk ikut, hm? Bahkan membawa teman-temanmu.”
“Yah… Mereka memutuskan untuk ikut. Mungkin kamu kenal beberapa dari mereka—”
“Beberapa kali aku lihat mereka selama di kampus. Kita bersama mereka saat wisuda kemarin. Mana mungkin aku lupa.”
“Ah, iya ya… Jadi, sudah lama menunggu?”
Dana merekahkan sebuah seringai tipis. “Menunggumu? Lumayan.”
Kirana terkikik geli ketika melihat pipi lelaki dengan iris kobalt itu merona tipis. Sedikit canggung, Adrian menepuk pundak lelaki paling tua di dekatnya, “A-ah, iya. Kenalkan Dana, ini sepupuku, Surya.”
“Senang berkenalan dengan sahabat-sahabat Adrian,” ucap Surya sambil berjabat tangan erat dengan Dana. Dana tersenyum, manik rubinya menatap wajah pria itu tajam-tajam.
“Senang berkenalan dengan Anda,” balas Dana dengan nada datar.
Mereka berkumpul di salah satu meja, mengobrol sembari menunggu giliran tes. Aldo dan Rico membicarakan tim basket mereka. Theo dan Kirana, sepertinya sedang berdiskusi. Venndra melirik ke arah Dana yang duduk di sebelah Adrian, sekilas ia menemukan sorot mengancam dari mata pemuda bersurai merah itu ke arah Surya.
Ini sangat tidak bagus.
Venndra tepuk pundak Surya erat, memberinya sebuah senyuman yang mengisyaratkan sahabatnya bahwa semua akan baik-baik saja. Surya balas kembali senyuman itu sebelum Venndra pamit dan kembali ke laboratorium.


# # # Continued in the Next Chapter # # #


  1. GGWP: Good Game, Well Played. Ungkapan yang biasa diucapkan setelah selesai match oleh gamer, khususnya DoTA.


(A/N)
Fay: Alright, alright, jadi mulai dari sini arc berikutnya mulai.
Agon: Harusnya emoticon titik dua bintang itu buatku. //slap
// Anyhoo, sorry for the long wait. We’ll update some character files too, soon.
Sekali lagi, PAF hanya milik Mimin Beruang seorang, kita hanya minjem mereka buat jadiin aktor di sebuah AU (?)
Kritik/Saran boleh sekali~


@F_Crosser | @agonps

No comments:

Post a Comment