Saturday, November 21, 2015

Case #10

Alunan blues yang familiar mengisi bar dari pengeras suara di tiap pojok ruangan. Ramai dan tenang seperti biasa, pelayan berlalu-lalang mengantarkan minuman kepada pelangannya yang berkumpul di mejanya masing-masing atau mereka yang menyendiri, merapat di sisi ruangan. Atraksi lincah tangan-tangan para bartender di balik konter menjadi penghibur di akhir hari yang melelahkan.
B&D’s Star. Saya sampai rela pulang kerja duluan demi minuman yang satu ini,” ucap salah satu pelanggan yang duduk pada kursi konter.
Hari ini berbeda. Yang terlihat di tempat Rengganis biasanya, kini ada satu lagi bartender baru—tidak baru juga karena ia hanya muncul tiap dua minggu sekali, menyajikan menu khas dari racikan tangannya sendiri. Seorang wanita berusia sekitar dua puluh tiga tahunan, berparas anggun dengan surai cokelat kepirangan panjang yang diikat ekor kuda, pada masing-masing telinganya digantungi anting gelang dari perak. Kalung mutiara melingkari kerah kemeja putih dibawah rompi hitam beludrunya. Sepasang iris biru pucat berkilat layaknya baja.
Tentunya boleh untuk sesekali seorang manajer terjun ke lapangan menikmati asyiknya mengocok cocktail.
“Menu spesial dua mingguan. Seperti biasa.” Seulas senyum tipis mengembang di bibir pria lain dengan surai gelap berjas kelabu panjang yang menghampiri konter, cahaya lampu menampakkan kilatan biru pada tiap helaiannya. Wanita itu mengalihkan pandangannya pada tamu yang ia tunggu, dua pasang piringan biru baja kembar bertemu.
“Naharis,” sebut Dania. Tangannya kemudian dengan cekatan menuangkan cocktail ke gelas kemudian menghidangkannya di hadapan pria tersebut. “Kukira kamu akan lupa,” ucap Dania.
“Tidak, tidak. Aku tidak akan melewatkan kesempatan seperti ini,” balas Naharis yang kemudian mengambil gelas cocktail spesialnya. “Cheers.”
Dania tertawa kecil. Pria ini tak banyak berubah, pikirnya.
Apakah rasa yang terbersit di hati pria ini juga masih sama seperti dulu?
Dania menggelengkan kepalanya. Naharis yang baru meminum setengah dari gelasnya kemudian mengangkat satu alisnya saat sekejap menangkap gelagat tak biasa dari Dania.
“Apa? Mengangkat alismu seperti itu... Apa ada yang aneh?” Dania melipat kedua tangannya di atas meja konter tepat di hadapan Naharis.
“Tidak. Kamu...” Naharis melihat kiri dan kanan dengan canggung lalu berbisik, “Kamu tampak luar biasa. Tak banyak berubah.” Di bibir wanita itu kemudian terselip tawa pelan, sementara Naharis berusaha menahan senyum canggungnya.
“Nahar, apa di kantormu tidak ada wanita cantik lain yang bisa kamu goda?” balas Dania.
“M-menggoda? A-aku memujimu tahu, bukan menggoda. Bukan,” ungkap Naharis kaku sebelum menyisip minumannya lagi. “Lagipula, departemenku gersang. Tahu maksudku, kan? Aku masih normal.”
Kembali tawa pendek terselip. “Aku tahu, aku tahu. Maka dari itu kamu ke sini kan? Untuk mencari wanita-wanita itu?”
Alis tebal Naharis terangkat sebelah. “Sembarangan, kamu membuatku terdengar seperti pria hidung belang. Enak saja.”
“Lalu? Apa kamu ingin kukenalkan dengan bartenderku?” Kini Dania menopang dagu, semakin dekat jarak wajahnya dengan Naharis.
“Tidak, terima kasih. Cukup lah, bertemu dengan bartender istimewa yang ada di hadapanku ini. Aku sudah senang.”
Dania mengalihkan pandangan, senyum getir terbentuk di bibirnya. Satu pelanggan lagi meminta menu yang sama darinya, maka ia tinggalkan Naharis sejenak untuk mempersiapkan pesanan sambil membatin kalimat yang barusan ia dengar.
Di pojok pandangannya, ia lihat Naharis sedang melepas jaketnya, memperlihatkan kemeja putih lengan panjang yang kemudian ditekuk hingga di atas siku. Dania baru menyadari ada sesuatu yang berbeda.
Selesai dengan pesanannya, ia kembali menghampiri Naharis. “Jadi… ini alasanmu menghilang beberapa minggu ini?” tanya Dania hati-hati, pandangan mengarah pada lengan kiri Naharis yang tak lagi tersusun atas tulang berbalut daging dibawah lapisan kulit. Lengan artifisial, berkulit putih keras dari logam ringan dengan sendi-sendi mekanikal.
“Begitulah, kecelakaan kerja,” ucap Naharis yang kemudian menepuk lengan bionik-nya(1). “Tapi rasanya tak jauh berbeda dengan lengan sebenarnya, kok.” Pria itu tertawa kecil.
“Kenapa kamu tidak bercerita padaku?” ucap Dania sembari perlahan menyentuh punggung tangan logam milik Naharis. Seakan ingin menggenggam namun ragu.
“Uh… belum… sempat? Entahlah. Selesai fase penyesuaian aku langsung diminta mengerjakan proyek lagi.”
Dania mengangguk pelan, tidak menyangka Naharis sampai begini karena pekerjaannya. Bongkar-pasang, merancang, membuat ini dan itu untuk kemudahan orang banyak di bawah bendera IO Technologies. Ia genggam tangan kiri pria itu. Dingin. Namun tidak sedingin sepasang piringan biru yang kini kembali beradu dengan iris peraknya.
“Bram apa kabar?” Naharis memulai.
“Kamu bukannya sering bertemu dengannya di kantor?”
“Kata siapa? Terakhir ketemu dua bulan lalu, dua hari setelah lenganku ini tersiram air keras.”
Sekali detakan keras menyesakkan dada Dania. “Bram… Demikianlah,” ucapnya.

= = =

Variable X

Case 10: The Curse

= = =




Pukul 09.38, 330 kilometer timur laut dari jantung Kota Ayodya, pulau kecil di tengah lautan.
Setelah perjalanan udara yang cukup lama, nampak bangunan besar berdiri kokoh di atas sebidang tanah luas, putih beraksen kelabu dan emas, membentuk sebuah segienam dengan tanah lapang di tengah-tengahnya. Gama duduk tenang di kursinya, memperhatikan bagaimana jet pribadi milik orang tertinggi IO Technologies itu mendaratkan rodanya di runway terdekat. Kedua tangan mengatup pada pangkal tongkat yang sedari tadi dibawanya, jari mengetuk-ngetuk antusias.
Gama amati sejenak tongkat itu; berbatang ruas hitam mengkilap, ujung bawahnya dibalut emas dengan pangkal berupa bulatan berlapis logam yang senada. Ia tersenyum. Kini ia tak perlu lagi terlihat canggung ketika berjalan di depan umum akibat sarung tangan kulit yang awalnya ia kenakan untuk menahan aliran listrik di dalam tubuhnya agar tidak keluar berlebihan. Tak perlu lagi khawatir orang lain akan tersetrum ketika menjabat tangannya, tongkat ini berhasil membantu mengendalikan energinya yang masih belum begitu stabil.
Mungkin lain waktu ia harus memberikan tanda terima kasih secara pribadi pada Naharis.
Sesampainya, sang kepala proyek Homunculus itu melangkah turun, jas hitam panjangnya berombak tertiup angin yang cukup kencang. Tepat di belakangnya turun pula satu pria jangkung kaukasian pirang dan satu pria yang lebih pendek dengan iris keemasan—keduanya dengan dandanan necis. Ketiganya lalu dihampiri oleh seorang pemuda bersurai merah dengan bekas luka menyilang di dahi yang mengawal mereka masuk ke dalam.
“Ternyata pengembangan tempat ini begitu cepat, ya,” komentar Daniel sembari melihat-lihat koridor kaca. Sinar matahari menembusi koridor yang merupakan jalan masuk sebuah fasilitas penelitian rahasia milik Paramayodya.
“Tanpa didukung peralatan dari IO Technologies, infrastruktur sistem digital untuk akses informasi dan keamanan tidak akan selengkap ini dalam waktu singkat. Aku berterima kasih untuk itu,” ucap Gama.
“Ah, tidak masalah. Ini sudah menjadi bagian dari perjanjian. Bukan begitu, Daniel?” balas Bramantya Wijaya, CEO dari perusahaan pengembang teknologi ternama itu.
Langkah mereka mencapai sebuah pintu kaca yang tebal dengan alat pindai biometrik di sisi kirinya. Gama mendekati alat tersebut dan menaruh ibu jarinya. Sidik jarinya terpindai, kemudian muncul alat pemindai retina.
“Cukup merepotkan ya?” komentar Bram.
“Gama menginginkan fasilitas ini benar-benar aman. Proyek ini tidak main-main. Terutama blok ini menyimpan salinan seluruh basis data Paramayodya serta tempat para eksekutif dan supervisor bekerja saat di fasilitas ini,” suara yang dalam menanggapi, iris rubi itu menampakkan sorot dingin.
“Ya, karena sudah banyak perkembangan besar semenjak setahun proyek ini dimulai.” Pria bermanik kelabu itu kemudian menggesek kartu identitas dan memasukkan password.
Pintu kaca tersebut bergeser terbuka, mereka berempat melangkah masuk. Di ujung koridor ada sebuah ruangan oval dengan jendela-jendela kaca yang menghadap ke pemandangan alam.
Pria-pria petinggi proyek itu kemudian melangkah masuk sementara Dana, kepala divisi keamanan, berjaga di luar pintu kaca ruangan oval. Tiga kursi putar berwarna putih sudah tersedia mengelilingi meja oval yang berwarna senada.
“Baiklah, silahkan duduk… Sejauh ini, apa yang sudah kalian rasakan?” Gama membuka pembicaraan, mengambil kursinya sendiri.
“Selain rasa nyeri yang terkadang muncul di tengkuk dan mimpi yang berulang, belum ada. Terakhir kali aku mendengar penjelasan dari stafmu yang masih muda itu… Siapa? Venndra? Nah. Emosi manusia ada kaitannya dengan reaksi chip ini pada tubuh, apa itu benar?” Bram menanggapi.
“Secara tidak langsung,” Gama memulai. “Setiap makhluk hidup memiliki energi, Bram. Begitu juga lingkungan sekitarnya. Tidak berwujud, memang. Oleh karena itu belum semua orang paham tentang hal ini. Tapi ada di sana sejak lahir, takkan bisa dimusnahkan dengan cara apapun. Energi ini dapat bersinkronisasi dengan energi yang ada di alam.”
“Eh, Gam… Ada baiknya kamu bicara dengan bahasa yang lebih… umum?” Daniel menyela, tersenyum canggung. “Kalimat-kalimat sederhana akan lebih mengena untuk orang awam, bukan? Kau tahu maksudku.”
Tawa kecil terselip di antara bibir Gama, satu helaan napas singkat ia kembali menjelaskan, “Ketika kamu memberikan pikiran positif, alam akan memberikan energi yang baik padamu dan juga kepada yang lain. Begitu pula dengan pikiran negatif. Tak perlu contoh yang sulit—Kemarahan? Kekecewaan? Keputusasaan? Kamu pelihara itu terus, maka tubuhmu akan rapuh sedikit demi sedikit.”
“Jadi penyakit, kriminalitas, kejahatan, dipicu oleh pikiran-pikiran negatif yang terkumpul dari banyak orang?” tanya Bram ingin tahu.
“Entahlah. Mungkin pertanyaanmu mengenai sinkronisasi energi alam dengan perilaku manusia bisa terjawab, tetapi bukan olehku,” ucap Gama. Bram dan Daniel saling berpandangan sejenak, menyiratkan pikiran yang sama: Siapa?
“Menurut Willem, emosi tertentu dari subjek dapat mempercepat kerja chip dalam menulis ulang genetik kita. Hasrat, emosi yang kuat, yang menyiratkan keinginan atau bahkan jati diri dari seorang individu inilah yang membangkitkan Homunculus dalam diri kita. Aku, agaknya, sudah mulai membangunkan sisi itu,” ucap Gama yang kemudian meletakkan tongkatnya di atas meja.
“Gam, tongkat itu bukan tongkat biasa, kan?” tanya Daniel.
Terdengar bunyi pelan mekanisme mesin kecil sedang berjalan, tongkat tersebut menyusut menjadi sebuah bola. Bram mendengar dengungan di telinganya, seperti dengungan listrik di udara.
Kemudian, dari kedua tangan Gama muncul percikan-percikan listrik yang mengenai permukaan bola logam tersebut. Makin lama makin banyak, perlahan bola tersebut melayang dari permukaan meja.
Daniel menarik napas dalam-dalam.
“Naharis benar-benar tahu apa yang diinginkan orang, eh?” sebut Bram, bersandar pada kursinya sambil menyeringai.
“Ini masih permulaan,” ungkap Gama, senyum halusnya masih terpatri rapi di air mukanya yang menyiratkan kepercayaan diri yang tinggi.
Bola logam itu melayang di atas tangan kanan Gama, kemudian perlahan turun ke genggaman pria itu bersamaan dengan suara dengungan yang perlahan menghilang.
Beberapa detik berlalu sebelum terdengar tepukan tangan yang perlahan mengeras disusul dengan, “Luar biasa!” dari Daniel. “Brilian. Ini brilian! Bisakah kau melakukan hal lain?”
“Merasakan gerakan setiap elektron di udara dan memanipulasinya menggunakan pikiranku, itulah inti dari elektrokinesis(2) milikku. Kemungkinan kedepan, aku juga bisa memanipulasi elektron, muatan, atau bahkan impuls syaraf dalam tubuh orang lain, selama orang itu tidak memiliki kendali penuh atas tubuhnya.”
“Apakah ini berarti, kau bisa mengendalikan seseorang, ketika orang itu sedang tidak sadarkan diri?”
“Secara teori, aku mampu. Belum pernah kucoba, tentunya,” ucap Gama kemudian memutar kursinya miring sehingga ia dapat menghadapkan wajahnya ke jendela, kedua tangannya menggenggam bola logam yang kini perlahan kembali ke bentuk tongkat. Senyum tipis yang menunjukkan kepuasan terulas. Dapat ia rasakan aliran energi yang kembali bergejolak dalam dirinya.
Daniel mengangguk-angguk. “Hahaha, sepertinya kita harus mulai hati-hati denganmu, Gam,” candanya, menoleh pada Bram di sampingnya. “Kuharap dengan trik barunya Gama, dia tidak coba-coba main curang. Iya kan, Bram?”
Bram tergelak, mengiyakan sebelum mendadak tertahan ketika menatap kedua mata pria kaukasian itu tertelan oleh warna hitam seluruhnya.
Napas Bram tercekat, Daniel menatapnya bingung, masih dengan mata iblis itu.
“G-Gama, a-apakah yang terjadi pada Daniel s-s-sekarang juga termasuk efek chipnya?” Bram memanggil Gama yang kemudian menoleh pada teman baiknya.
Gama berkedip, bingung. “Apa yang kau maksud, Bram? Tidak terjadi apa-apa pada Daniel.”
“T-t-tapi, baru saja, beberapa detik yang lalu—” Kembali Bram menoleh, ia dapati sklera putih beriris kuning itu kembali di mata Daniel. “... Mungkin aku lelah setelah perjalanan tadi,” gumamnya, menghembuskan napas yang sedikit bergetar.
“Baiknya kita menghirup udara segar dulu sebelum kembali ke sini, mungkin?” ucap Daniel yang kemudian beranjak dari kursi dan meregangkan sedikit badannya.
Gama ikut berdiri dan mengetukkan tongkatnya, “Ah, iya. Ada seseorang yang aku ingin pertemukan dengan kalian.”
“Siapa? Apakah orang yang kau sebut dapat menjawab pertanyaanku tadi?” ucap Bram yang kemudian merapikan jasnya.
Gama menjawab dengan senyum penuh arti dan beranjak dari kursinya, “Aku harap dia sudah selesai dengan sesi meditasinya.”
Ketiga lelaki itu kemudian keluar ruangan, lanjut menyusuri koridor (bersama sang kepala keamanan tentu saja) hingga sampai di sebuah ruang melebar, pada masing-masing kedua sisinya terdapat sebuah kapsul kaca yang terangkai pada rangka rel logam yang mengarah jauh ke area belakang. Menggunakan salah satu dari kapsul itu, mereka berangkat.
Sisi belakang bangunan tak jauh beda dengan bagian yang mereka kunjungi sebelumnya, hanya saja jendela-jendela kaca menunjukkan pemandangan vegetasi yang jauh lebih lebat.
“Hutan?” tanya Bram.
“Benar. Mulai dari titik ini sampai ke ujung utara pulau adalah hutan. Tapi untuk lab ini, kita hanya mengambil sebagian kecilnya saja untuk melihat interaksi subjek dengan kondisi natural,” jelas Gama, tepat saat kapsulnya berhenti. Keempat lelaki itu kemudian melangkah menuju pintu yang membukakan jalan secara otomatis menuju lingkungan serba hijau yang sejuk dan basah. “Mungkin kawan kita masih ada di sekitar sini…”
“Selamat pagi, Pak Gama.”
Sontak mereka memandang ke kanan, di mana ada seorang pria muda mengenakan atasan seperti gamis putih panjang dengan bawahan yang senada, berdiri tinggi tegap di bawah sebuah pohon besar. Rambut pirang kusamnya disisir ke belakang, sedikit helaian pendek yang bandel seolah membentuk rangkaian duri landak. Ia menatap keempat lelaki di pintu dengan senyuman tenang, sorot mata hijau zamrudnya seolah merasuk ke dalam jiwa di balik kesejukannya.
“Perkenalkan, dia adalah Darien Bareksa. Orang pertama yang mencapai kesempurnaan dalam menyatu dengan alam,” Gama memperkenalkan pria muda itu kepada Bram dan Daniel.
“Sungguh kehormatan bertemu dengan kalian, orang-orang besar. Tolong, apa yang diucapkan oleh Pak Gama tadi hanya dibesar-besarkan. Saya hanya manusia biasa, sama seperti kalian,” ucap Darien menjabat tangan Daniel.
Saat telapak tangan mereka bersentuhan, Daniel merasakan balutan energi besar namun juga menyejukkan dari tangan pria muda itu. Untuk beberapa saat matanya terpaku pada pohon besar yang berada di belakang Darien, rasanya seperti ada aliran dari pohon itu sendiri yang merasuk lembut pada tubuhnya.
“Kau juga mendapatkan salam dari kawan besar di belakangku,” ucap Darien yang kemudian tersenyum dan berpindah menjabat tangan Bram, sementara Daniel masih takjub dengan kejadian barusan dan menatap tangannya sendiri.
“Pak Bramantya, benar? Anda benar-benar orang yang hebat, ya?” puji Darien.
Bram membalasnya dengan cengiran yang kemudian sedikit mengkerut ketika pria muda itu memandangnya lembut.
“Mungkin… Agaknya Anda butuh waktu untuk sendiri menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam diri Anda saat ini. Khususnya relasi dengan orang yang penting dalam hidup Pak Bram... Karena akar masalah dan penyelesaiannya sebenarnya sudah ada dalam diri Pak Bram sendiri.”
Iris Bram terlihat sedikit meredup mendengar pernyataan Darien, orang ini benar-benar tepat sasaran. Ia menghela napas dan memasang senyum terbaik yang bisa dirinya tunjukkan. Darien membalasnya, kemudian beralih kepada Gama.
“Pak Gama, saya harap anda tidak lupa dengan tujuan dari proyek Anda ini.” Gama menarik napas dalam saat menjabat tangan Darien, energi yang begitu besar merasuk ke dalam dirinya.
Energi alam. Jadi alam memberikan energi pada Gama dan Darien menjadi perantaranya.
.
Aku memang orang yang terpilih.
.
Tengkuk pria beriris kelabu itu berdenyut kuat. Darien dengan cepat juga melepas jabatan tangannya.
“Gama menyengatmu?” tanya Daniel yang terkejut dengan reaksi Darien barusan.
Darien menggeleng. “Ah, tidak. Tidak mungkin, karena Pak Gama saat ini sedang memegang tongkatnya.”
Gama mengelus tengkuknya, Dana yang memperhatikan hal itu menatap Darien dengan iris rubinya yang menajam. “Apa yang kau lakukan padanya?” selidik Dana.
“Saya tidak melakukan apapun, hanya saja...”
“Apa?”
“S-saya sendiri belum paham maksudnya. Energi alam yang saya alirkan pada Pak Gama biasanya dapat diterima lancar. Tapi kali ini, energinya beradu dengan sesuatu di dalam diri Pak Gama dan ditolak.”
“Jangan main-main,” desis Dana dingin dan melangkah maju mendekati Darien. “Kau tahu, sebenarnya aku pun penasaran, seberapa besar kekuatan yang kau punya.”
“Dana. Kau tidak perlu sampai seperti itu, ini bukan masalah. Kau salah paham,” ucap Gama memperingatkan. Bram dan Daniel menahan napas dan berusaha mencerna situasi yang sedang berlangsung.
Dana menyeringai dan menarik cepat sebilah pisau perak.
“Dana!”
Terlambat, pisau telah melesat ke arah mata kanan Darien. Tiba-tiba tanah yang mereka pijak bergetar, sebuah akar tanaman besar tumbuh menyeruak dan melindungi Darien dari pisau yang dilempar.
Dana mendecakkan bibir dan mencabut pisau yang menancap di akar tersebut, iris rubinya melirik tajam pada Darien. Ia sebenarnya tahu, dirinya bukan apa-apa dibandingkan apa yang dimiliki lelaki ini. Jika saja Darien ‘melayani’ Dana untuk bertarung, dirinya dipastikan tumbang dalam hitungan kurang dari sepuluh detik.
“Saya tidak mau mencari masalah,” kata Darien, ekspresinya datar. “Juga, sebaiknya kau berhati-hati dengan hasratmu itu. Kau bisa saja ditelan olehnya.”
Sekian detik sebelum berbalik, hitam sempat membungkus sklera Dana. Ia melangkah menjauh dari Gama dan yang lain.
“Tolong maafkan Dana, dia memang mudah panas dan salah paham,” ucap Gama kepada Darien dan dua mitra proyeknya.
“Haha, dia benar-benar cocok ditempatkan di divisi keamananmu, Gam...” Daniel terkekeh canggung.
“Sejujurnya…” Darien kembali memulai, matanya diarahkan pada tanah. “Akhir-akhir ini, saya berpikir kalau ini bukan ide yang bagus.”
Dahi Gama mengerenyit bingung. “Apanya yang bukan ide bagus?”
“Semuanya. Proyek ini.”
Hanya semilir angin sepoi yang membuat dedaunan saling bersentuhan dan kicauan burung-burung kecil penghuni hutan mengisi sekian detik yang terlewat.
Bram menghela napas sambil menyilangkan lengannya di dada. “Begini… Kau menyetujui untuk menjalani pengobatan, lalu sembuh dari penyakit syaraf fatalmu itu, kemudian kau mengatakan bahwa benda kecil yang tersemat pada tengkukmu itu bukan ide yang bagus. Bisa diperjelas?” tanyanya dengan nada sarkas.
“Tidakkah Anda tahu jika benda kecil itu juga melakukan hal yang lain selain menyembuhkan kaki saya?” balas Darien tenang, dijawab dengan keheningan.
Kemudian Daniel mencoba menebak, “Kau merasa terganggu dengan... kemampuan ekstra.”
Darien menggeleng. “Bukan, saya tidak tahu bagaimana mengatakannya. Sepertinya Anda belum mengalaminya, jadi… Tolong, saya sungguh-sungguh minta tolong agar jangan lanjutkan proyek lebih dari ini,” ungkapnya sebelum bibirnya mengembangkan senyum sedih. “Awalnya saya hanya ingin sembuh. Dan saya hanya ingin kembali bersama ayah saya di kebun. Sungguh, saya tidak tahu jika saya juga akan mendapatkan ‘ini’. Andai waktu bisa dikendalikan... mungkin dulu saya justru menolak. Lebih baik saya menikmati saat-saat terakhir di tempat tidur saja.”
Atmosfer di sekitar mereka terasa memberat.
“Saya paham apa yang sudah terjadi, terjadilah, tapi… Kadang saya tidak bisa berhenti memikirkan entah sampai kapan saya akan... tahan mendengar jeritan ‘mereka’. ‘Mereka’ juga memohon agar proyek ini berhenti. S-saya tidak tahu harus bagaimana, saya bukan siapa-siapa dan tak bisa melakukan apapun… Saya belum cerita apa-apa soal ini karena saya tidak tahu persis dengan apa yang terjadi pada saya...” Suaranya Darien terdengar mulai pecah.
“Gam,” Daniel berbisik pada teman lamanya, “Kau sungguh-sungguh akan mendengarkan dan akan melakukan apa yang dikatakan cenayang ini?”
“Pak Gama,” sebut Darien, menyela. “Tolong… Beritahu saya apa yang sebenarnya ingin Anda capai.”
Tumpukan manuskrip yang tertata rapi pun roboh sesaat disenggol oleh sebuah kursi, membuat halaman yang hendak dibaca pun terselip entah ke mana. Kurang lebih demikian yang ada di dalam benak Gama di balik bibirnya yang tidak juga segera berucap sepatah balasan.
= = =
Pukul 19.53, Gedung Pusat Paramayodya.
Mempermudah aktivitas hidup manusia, itulah alasan mengapa teknologi dilahirkan. Willem adalah satu dari sekian banyak orang yang memutuskan untuk mengabdikan diri untuknya.
Kepala tiga akhir adalah usia yang tak lagi muda, tentunya. Perlukah disebut mungkin sudah saatnya ia mengesampingkan sejenak pilihan hidupnya, menggandeng seorang wanita untuk membangun sebuah rumah tangga? Tidak, itu sudah lewat sekian tahun yang lalu. Willem terlalu menekuni pilihannya hingga ia mengabaikan hal tersebut.
Lagipula siapa pula yang mau dengan lelaki tua macam dia.
“Bagaimana perkembangan para subjek di minggu ini, Venn?” tanya Willem yang menyadari asisten terpercayanya memasuki ruang kerja.
“Stabil. Belum ada perkembangan yang signifikan, kecuali pada...”
“Gama, bukan? Heh, aku sendiri tidak menyangka akan muncul kekuatan seperti itu dari chip.”
“... Dan subjek spesial kita,” Venn bergumam, tepat setelah mendudukkan diri di mejanya dan membuka komputer. “Terakhir aku memeriksa keadaannya… ia…”
“Luar biasa?”
Tidak. Namun Venndra hanya bisa tersenyum mengiyakan.
“Kau tahu, Venn? Jika subjek kita yang satu itu sudah sempurna, dengan mudah kita akan memperoleh kekuatan yang sama. Kau tahu maksudku,” ucap Willem santai.
Menjadikan Darien sebagai batu pijakan evolusi manusia ya, pikir Venndra. Jemarinya yang sempat menari pada keyboard pun berhenti. “Kita tidak perlu bersusah payah untuk mengembangkan subjek yang lain dan hanya perlu mengekstraksi kode DNA miliknya, bukan begitu, Willem?”
“Tentu saja. Dia bagaikan mutiara di antara lumpur. Buat apa kita bersusah payah?” kata Willem, bersandar di kursinya sambil menyisip secangkir teh hangat dengan mata memandang ke luar jendela.
Lalu apa esensi dari penelitian ini sebenarnya? Hanya tebak-tebakan berhadiah untuk menemukan satu subjek berbakat yang bisa dibilang merupakan bentuk evolusi manusia berikutnya?
“Mengetahui orang-orang sepertiku itu ‘berbeda’… Sampai sekarang aku tidak habis pikir,” gumam Venndra.
“Apa maksudmu?”
“Memakai contoh DNA-ku... Kukira apa yang kupunya ini hanya semacam hujan turun dari langit, aku tidak menyangka ternyata—kemudian kita memaksa orang-orang untuk menjadi sepertiku. Apa kalian tidak berpikir?”
“Paling tidak itu membuktikan kalau statusmu sebagai anak indigo benar-benar bisa diturunkan,” balas Willem ringan.
“Tapi tidak semua orang harus menjadi sepertiku juga, Willem! Kau senang jika banyak orang harus mengalami apa yang aku rasakan sebagai anak indigo?” Venndra nampak berdiri dari kursi lewat pantulan pada kaca jendela.
“Willem… Kita mau kehidupan yang lebih baik, tapi kau sendiri lihat apa-apa yang sudah terjadi? Darien Bareksa yang kita sebut ‘sempurna’, dia tidak merasakan adanya kesempurnaan sama sekali. Perlukah aku juga menyebut mereka-mereka yang gagal bertahan? Sekarang kita masih menunggu subjek-subjek lain yang belum nampak apa-apa untuk berakhir seperti mereka juga? Biarlah kami saja yang dari lahir ditakdirkan menikmati kutukan ini!”
Willem memutar kursinya menghadap Venndra yang terengah. “Kutukan? Bukankah yang kalian punya ini adalah anugrah untuk umat manusia? Untuk menyadarkan yang lain agar lebih peduli dengan alam atau apalah itu kau dulu pernah bilang,” balasnya, sepasang piringan zamrud menyorot datar.
Jengkel, gemas, emosi mendadak menguap yang Venndra tahan sekuat tenaga agar dirinya tidak meledak. Salah, ini salah. Dada pemuda itu terasa sesak, kepalanya pening. “Kau—kau tidak mengerti!” sebutnya.
“Ide bagus. Setelah para subjek lain memperlihatkan kemajuan, aku akan mencobanya pada diriku sendiri.”
“Willem?!”
“Kau menginginkanku untuk mengerti, bukan? Oh, iya. Bukankah salah satu subjek kita dari… ah, sebutlah, keamanan, dia juga sama sepertimu, betul? Sebaya. Data mengatakan bahwa potensi energi bioplasma anak itu adalah yang terbesar dari semua subjek yang kita punya. Kau sendiri lihat bagaimana ketika ia kita periksa. Sayang sekali jika kemampuan dahsyat anak itu tidak digunakan semestinya. Militer pasti akan sangat senang menerima daripada dia berada di organisasi ilegal.” Menyisip tehnya, Willem mengakhiri, “Kira-kira... Bagaimana dengan dirimu sendiri?”
Venndra berharap atasannya ini tidak bermaksud seperti apa yang ia duga.
Hendak membalas, dentingan dari pintu pun menyela sebelum hidrolik menggeser daunnya secara otomatis. Berdirilah seorang staf dengan jas lab putihnya, ia sedikit terengah dan dilihat dari raut mukanya sekarang nampaknya ia membawa hal yang kurang bagus.
“Maaf, darurat! Subjek stabil nomor 343 dilaporkan mengalami breakdown mendadak!”
= = =
Pukul 20.15, Rumah Sakit Umum Kota Ayodya, Unit Gawat Darurat.
Manik kecoklatan Rico menatap lantai gelisah. Kakinya mengetuk-ketuk lantai, tak tenang. Beberapa kali ia mendengar erangan lirih kakaknya, ia memejamkan mata. Tak sanggup rasanya membayangkan rasa sakit yang dialami saudaranya itu. Jemari kedua tangannya saling mengait, tangan bertopang pada kedua pahanya, dahinya ia sandarkan seperti sedang berdoa.
“Rico, kamu sudah menghubungi orangtuamu?” suara tenor pemuda bersurai gelap kebiruan yang duduk bersebelahan dengan Rico bertanya.
Sedikit tersentak, Rico menggeleng dan cepat-cepat merogoh ponselnya dari saku. Ia menjauh sedikit ke tempat yang tidak begitu ramai, memanggil cepat nomor ibunya yang sedang di luar kota.
“... Kira-kira ibu pulang tidak?”
Adrian menghela napas. Ia perhatikan bagaimana Rico berusaha tetap tersenyum dan tegar disamping pundaknya yang turun mendengar balasan dari seberang. Pemuda beriris kobalt itu kemudian mengambil bungkusan roti yang awalnya ia bawakan untuk Nico. Ia sodorkan satu roti dengan krim stroberi kepada Rico yang baru saja kembali duduk di sebelahnya.
“Makasih, tapi aku nggak lapar.” Rico menolak halus. Ia cari lagi satu nomor lain, setelah sekali dua kali tanda sambung berakhir dengan nada sibuk.
Yang Rico harapkan sekarang adalah kehadiran seorang lagi yang ia anggap penting dalam hidupnya.
“Menyebalkan, ya? Ketika kamu mengharapkan orang lain berada di sisimu, mereka justru berada di tempat lain,” gumam Adrian, pandangannya ke arah lantai.
Decak ringan terselip dari antara bibir Rico. “Kalau mereka memang nggak bisa, kita mau apa?”
“M-maaf... Kamu barusan sedikit mengingatkanku saja. Aku tidak bermaksud menyinggung.”
Rico terdiam sejenak, “Mengingatkan?”
Adrian menggaruk hidungnya yang tidak gatal. “Emm, yah, kamu tahu aku tinggal terpisah dengan orang tuaku. Orang tuaku menyuruhku kuliah di sini… giliran aku sudah lulus mereka tidak bisa datang. Apa susahnya meninggalkan pekerjaan sejenak, lihat anaknya diwisuda, dengan pencapaian yang sangat mereka inginkan sejak lama?” Nada bicaranya mulai agak meninggi. “Jadi apa arti kerja kerasku selama ini?”
Rico sendiri tak bisa memberikan tanggapan apa-apa. Ya, apalagi ketika suasana hatinya sedang kacau seperti ini. Ia hanya menghela napas dan menepuk pundak pemuda yang lebih tua darinya itu.
“Um… maaf,” ucap Adrian canggung.
Iris kobalt itu melihat begitu jelas air muka Rico yang tidak karuan. Adrian menghela napas dan melihat ke pintu ketika lima orang dengan jas putih memasuki ruang UGD. Seorang perawat menghampiri mereka dan menunjukkan jalan ke salah satu ruang triase(3). Dua dari mereka mengikuti perawat tersebut, tiga lainnya menuju ke bagian administrasi. Adrian mengernyitkan dahi, mengingat arah yang ditunjukkan perawat tersebut adalah ruang dimana Nico berada.
“Ric, mereka itu siapa?” Adrian menepuk pundak pemuda di sebelahnya dan menunjuk ke arah dua pria yang baru saja kembali keluar dari ruang triase. Salah satu dari mereka mengeluarkan tablet dan yang satu masih berbicara dengan perawat rumah sakit. Ekspresi mereka nampak tergesa oleh sesuatu. Tak lama tiga orang yang lain kembali bersama dengan dua petugas paramedis yang biasanya mengendarai ambulan. Seorang dari kelompok berjas itu dengan pin di bagian dadanya (yang kelihatannya pemimpin kelompok mereka) mengatakan sesuatu pada petugas paramedis, yang kemudian bergegas keluar ruangan.
“Tunggu, logo pada tablet itu sepertinya aku mengenalinya.” gumam Rico yang kini juga ikut mengamati. “Bintang, mirip bintang dengan dua belas arah cahaya...”
Adrian tercekat. Ia ingat beberapa bulan yang lalu melihat tablet yang sama dipegang oleh sahabat sepupunya yang bekerja di Paramayodya. Mereka pasti juga dari tempat yang sama. Impuls dalam otak Adrian merambat cepat.
Paramayodya. Nico. Chip. IO Tech. Semuanya terhubung pada satu hal.
Proyek Homunculus.
“Ric, mereka dari Paramayodya. Tidak salah lagi, pasti chip itu. Sepertinya ada hubungannya dengan kondisi kakakmu saat ini.” bisik Adrian.
“Hah?”
Tiba-tiba Adrian merasakan tengkuknya sedikit memanas. Rico juga mengalaminya. Saat itu juga petugas dari Paramayodya yang memegang tablet melihat ke arah mereka. Ia berkata pada rekannya dan mereka berdua perlahan berjalan mendekati Adrian dan Rico. Kedua pemuda itu dengan canggung berdiri dan memberi salam.
“Selamat malam. Singkat saja, kami dari Paramayodya diberi tugas untuk membawa Nicolaas Hendriksen ke gedung pusat dikarenakan kondisi abnormal pada tubuhnya yang tidak bisa ditangani oleh instansi medis biasa.” ucap wanita muda berambut pendek sebahu yang memegang tablet.
“Apakah kalian bisa menyembuhkan kakakku? Atau ada hal lain yang akan kalian lakukan padanya?” ucap Rico dengan perasaan yang semakin bercampur aduk antara sedih, khawatir, dan geram.
“Tenang saja, Rico Hendriksen. Kami tidak akan melakukan apapun pada saudaramu, asal kalian ikut bersama kami. Ya, Adrian Adinata Anmar, anda juga ikut bersama kami.” Pria dengan rambut pendek itu berkata.
“Kenapa kami juga harus ikut? Apa karena kami orang-orang terdekat  Nico?” selidik Adrian.
“Tentu saja. Selain itu sebagai bentuk upaya pencegahan hal yang sama terjadi, mengingat kalian juga mengikuti tes yang sama dengan Nicolaas. Atas kejadian malam ini, kami perlu memonitor ketat perkembangan para tester kami.”
Kedua pemuda itu saling pandang. Gugup. Detak jantung mereka berdetak sama kencangnya apalagi ketika melihat tempat tidur pasien dari salah satu ruang triase didorong keluar oleh dua orang perawat dan tubuh Nico yang lemas terkulai di atasnya.

# # # Continued in the Next Chapter # # #


  1. Bionik: Ilmu atau cara mengganti struktur anatomik atau proses fisiologi dengan komponen mekanik atau elektronik. (https://en.wikipedia.org/wiki/Bionics)
  2. Elektrokinesis: Ilmu batiniah untuk mengendalikan energi, arus listrik, dan membuat listrik dengan pikiran. (http://psi.wikia.com/wiki/Electrokinesis)
  3. Ruang triase: Ruang pemilahan pasien di UGD sesuai keadaan dan kedaruratan pasien.

(A/N)
Fay: Oh yeah mulai case depan, kita akan memasuki Arc baru.
Agon: Yes, Arc baru. *smirk* Enjoy, folks.



No comments:

Post a Comment