Sunday, November 8, 2015

Case #9.2

Jemari pemuda berambut pirang itu menari di atas keyboard laptopnya. Terkadang ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kata demi kata ia rangkai dan ketikkan. Jendela tampilan pada layar berganti-ganti, ia sedang menulis laporan mengenai program sistem distribusi yang dia bersama beberapa rekan timnya kerjakan. Sembari serangkai jemari satu tangan sibuk dengan aktivitasnya, tangan lainnya sesekali meraih segelas besar softdrink keempatnya di sore ini.
Tunggu.
Yang keempat.

Ia menatap gelas besar yang kini tinggal terisi seperlimanya. Sepasang manik keperakan itu lalu melirik ke sisi meja yang lain, ditiga gelas styrofoam kosong dan lima bungkus cheeseburger yang sudah habis ia lahap. Aneh, tiada rasa puas. Tak ada kenaikan berat badan pula. Mendadak nyeri sekilas pada tengkuk itu kembali muncul, seperti yang sudah-sudah.
Tiga hari Nico mengalaminya. Seharusnya ini tidak normal… kan?
Tiba-tiba perutnya berbunyi lagi. Baru saja setengah jam lalu ia menghabiskan makanan kesukaannya. Ia mengelus perutnya dan beranjak ke dapur, pikiran teralihkan dari pekerjaannya. Pintu kulkas dibukanya sedikit tak sabar. Meski sudah menyisakan banyak ruang kosong, itu tak mencegah Nico untuk mengambil sisa makanan kecil yang tersisa.
Setengah sadar, ia jilat bibirnya sendiri. Tak mungkin menyelesaikan pekerjaan dalam kondisi perut kosong.
Benar-benar kosong, seolah apapun yang dimakannya justru jatuh ke dalam lubang tak berdasar.


= = =

Variable X

Case 9.2: Vices II

= = =



“Kamu yakin tidak ada sesuatu yang lain lagi, Venn?” ucap lelaki berjas itu setelah meminum sedikit kopinya.
Mata hijau toska pemuda bernama Venndra itu melirik ke arah lain, gelisah. “Sayangnya tidak, Surya. Selain itu—”
“Keterbatasan informasi, lagi?” potong Surya yang seakan dapat menebak apa yang akan diucapkan lawan bicaranya, karena sedari tadi pun hanya itu yang menjadi jawaban Venndra atas semua pertanyaannya.
“M-maaf, Surya. Setelah kejadian dibobolnya database Paramayodya, juga, ehm, beberapa hal yang membuat mereka curiga bahwa ada orang dalam yang membeberkan informasi proyek Homunculus ke masyarakat, semua staf semakin ketat diawasi termasuk perubahan alur informasi. Semuanya menjadi terpusat sehingga tidak ada celah,” Venndra berucap kemudian mengambil cangkir berisi teh hangat dengan kedua tangan dan meniupnya.
Surya menghela napas, ia memandang keluar jendela kaca. Terlihat gedung-gedung pencakar langit dan salah satunya sangat ia kenali, gedung pusat Paramayodya. Semakin lama ia menatap gedung itu, seakan ada sebuah awan kelabu menutupinya. Seperti kebohongan yang terlihat biasa menutupi sebuah kebenaran. Dahinya mengerenyit.
“Kamu tahu, Venn? Aku sudah mulai jenuh dengan kasus ini. Rasanya aku mengerjakan semuanya sendiri.”
“Tidak, kamu tidak sendiri. Ingat sepupumu dan teman-temannya? Mereka bilang ingin membantumu kan?” Venndra berucap setelah menaruh cangkir tehnya.
“Ya, ya... Anak muda dengan keingintahuannya. Logika dan spekulasi mereka tentang proyek ini cukup masuk akal. Namun di hadapan hukum, tanpa adanya bukti hitam di atas putih, kata-kata mereka hanya akan dianggap igauan belaka,” ucap Surya dengan tanpa sadar mengepalkan tangannya erat-erat.
Venndra memahami betul apa yang Surya rasakan, semua jelas dari ekspresinya. Kasus ini hampir tidak menemui titik terang. Buntu.
Venndra juga hanya ingin melindungi dirinya sendiri.
“Siapa sangka mereka akan menggunakan kedok terapi penyembuhan massal sebagai jalan eksperimentasi pada manusia, dan tidak ada orang yang curiga hingga sekarang ini?” Pria berkulit gelap itu memicingkan matanya. “Ratusan nyawa dalam bahaya, Venn. Kamu tahu pasti berapa banyak orang yang ikut dalam terapi tersebut.”
Jeda hening sejenak, karena Venddra tahu itu pertanyaan retoris yang tak perlu ia jawab.
Surya tertawa getir. “Bahkan kepolisian yang awalnya mencurigai proyek kesehatan kantormu itu kini malah berbalik mendukungnya.”
“Bagaimana tidak, proyek ini sudah memiliki ijin hingga ke pemerintahan...” Venndra berucap sedikit lirih.
“Ya! Tidak salah memang, namun mengapa mereka dengan mudahnya percaya hanya dengan sekali lihat? Tidakkah terbersit dalam pikiran mereka, para petinggi kepolisian, yang seharusnya menegakkan hukum, mencari dan mengungkap kebenaran, untuk menyelidiki lebih dahulu ijin tersebut yang tiba-tiba Paramayodya dapat seperti hujan di siang bolong? Keadilan dalam hati mereka sepertinya sudah menumpul!” nada bicara Surya mulai meninggi.
“Surya...”
“Memang akses untuk berkas kasus ini dalam kepolisian tidak dibatasi. Namun, tetap saja, tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Semua bersih, rapi!”
Seluruh penjuru ruangan dikagetkan dengan permukaan meja yang digebrak keras oleh kepalan tangan Surya.
Venndra menciut, punggungnya melekat rapat pada sandaran sofa. Gelas teh hangat dipegang erat oleh kedua tangannya, panas yang menjalar seolah mencoba menenangkan detak jantungnya yang mendadak berpacu kencang melihat sahabatnya yang naik darah.
“Sial. Seharusnya tidak seperti ini, tidak ada kebohongan busuk seperti ini. Seharusnya keadlian dite—Akh!” Spontan Surya memegangi tengkuknya. Jenis nyeri yang sama ketika ia dikecewakan oleh rekan-rekannya sendiri di kepolisian saat meminta kasus ini diselidiki lebih dalam—kali ini lebih sakit. Ya, mereka menganggap Surya gila, karena ia mengungkapkan kebenaran yang memang susah diterima akal sehat. Mereka lebih memilih untuk percaya pada kebohongan.
Suasana terasa begitu canggung sekarang. Venndra menelan ludah, menengok kaku pada kanan-kirinya atas sorotan tiap pasang mata penghuni kafe lain yang menuju mejanya. Ia luruskan punggungnya untuk kembali ia condongkan kedepan, wajah menunduk pada secangkir teh yang kembali diletakkan diatas meja, enggan dilepaskan dari telapak tangannya.
“Venn, kuharap kamu punya penjelasan atas denyutan menyebalkan ini tiap aku merasa kesal,” gumam Surya, nada bicaranya terdengar belum tenang.
“Ya. Tapi…” Venndra mencondongkan tubuhnya ke depan mendekati Surya, sambil berbisik ia melanjutkan, “... tidak di sini.”
“Huh, sesuatu yang confidential, ya?” ucap Surya tertawa kecil menahan nyeri.
Venndra memiringkan kepalanya, “Tidak juga… Ini ada kaitannya dengan kondisi medis subjek, dan…” senyum tipis merekah, dengan suara setengah berbisik ia lanjutkan, “Ada beberapa hal yang aku rasa sebaiknya kamu harus tahu.”
===
Theo menenggak habis minumannya, menyisakan beberapa buah es batu yang berdenting ketika ia menaruh gelasnya di meja. Ia menyeka sudut bibirnya yang basah, beberapa tetes mengenai bajunya.
Gemerlap cahaya perkotaan ganti mengisi hari, semburat ungu sudah semakin surut di horizon. Di salah satu pojok jalan, sekelompok anak muda memasuki sebuah restoran. Mereka berangkat langsung dari gelanggang olahraga kampus, merayakan kemenangan atas pertandingan dua jam lalu (meski ada sepasang saudara kembar dari tim lawan yang kalah, itu tidak menyurutkan mereka untuk berkumpul dan kembali bercengkerama seperti biasanya).
“Theo, minumnya pelan-pelan bisa, kali...” Stella menghela napas melihat kelakuan pacarnya itu. “Mentang-mentang lagi kehausan, juga pas ditraktir.”
“Theo kan emang gitu, Ste,” ucap Aldo setelah meneguk minumannya sendiri. “Kalau habis main terus ada yang traktir, minumnya nggak tanggung-tanggung.”
“Oh iya, ya. Makasih ya, Do!” Pemuda berkucir kuda itu lalu mengangkat tangannya dan memanggil pelayan, “Root beernya satu lagi!” Pelayan tersebut mengiyakan dan segera ke konter untuk menyiapkan pesanan.
“Astaga… Ini sudah gelasmu yang ketiga, dasar galon.” Stella memukul pundak Theo, dibalas dengan senyum lebar.
“Sekali-kali lah, nggak setiap kali jalan juga kan,” ucap Theo mencubit pipi gadis berambut violet itu, yang kini merona merah.
“Nggak usah pamer kemesraan bisa, lho,” komentar Aldi yang menopang dagunya.
“Nanti ada yang iri,” Aldo menanggapi celetukan kembarannya dengan tawa pendek.
“Hah? Siapa? Bukan aku lho, aku nggak ngiri kok,” Rico tiba-tiba menimpali. Semua yang ada di meja tersebut kecuali Kirana, melirik Rico sambil menyunggingkan senyum tinggi.
“Wah kode keras, tuh,” goda Stella pada Kirana. Gadis berambut merah muda itu menaikkan bahunya. Aldi menyikut Rico dan mengangkat alisnya. Ace tim basket universitas itu meringis canggung.
“Udah kalian segera resmi aja, nggak perlu sembunyi-sembunyi,” celetuk Theo setelah meminum setengah gelas root beer barunya.
“A-apaan sih, Theo!” balas Kirana dengan wajah memerah. Spontan seisi meja tertawa melihat reaksi Kirana yang begitu ketara.
“Udah-udah, ganti topik aja. Kasihan dia,” ucap Rico dengan isyarat mengibaskan tangan. “Gimana kalau kita membahas… misi rahasia kita saja? Aku penasaran kita sudah sampai mana, hehe…”
“Dari mana? Lingkungan atau diri sendiri?” Aldo bertanya balik.
“Maksudmu?”
“Lingkungan ya, kondisi di luar. Diri sendiri… mungkin kamu merasa ada yang berbeda dengan dirimu atau apa. Ayolah, bukannya tiap jangka waktu tertentu kita check-up?”
“Lainnya tengkuk suka mendadak nyelekit? Belum ada.”
“Ah, iya. Kemarin terakhir periksa, dokternya bilang kalau itu reaksi tubuh menanggapi chip yang sedang bekerja,” Rico menjelaskan. Kemudian matanya melebar, menyadari sesuatu. “Nyerinya muncul setiap aku memiliki emosi yang kuat. Jadi… apa? Masa’ juga mempengaruhi hormon?”
“Uh, bicara tentang hormon… Beberapa waktu lalu, Adrian bilang dia jadi sering mimpi yang aneh-aneh sejak sebulan setelah diinjeksi,” Kirana menambahkan. Mimik wajahnya seperti menahan tawa geli.
“Mimpi aneh gima—”
“Harusnya kamu tahu lah, Rick,” Kirana melirik Rico sambil tersenyum simpul.
Pipi atlet muda itu memerah, suasana meja mendadak sedikit canggung. “T-t-terus? Itu normal, kan?”
Man, kata ‘sering’ untuk ‘urusan itu’ rasanya bukan seperti Adrian,” Theo menyanggah, ia sandarkan punggungnya di sofa. “Itu anak terlalu alim biar bisa menyebut ‘sering itu’, hahahaha! Eh, nyebut nggak, siapa tamunya—ouch!
Satu tamparan keras dari Stella di lengan mencegah Theo untuk menyerocos lebih jauh.
Kirana tak dapat menahan dirinya lagi untuk terkikik, “Harusnya aku kasihan sih, mimpinya sampai bikin Adrian merasa balik ke masa-masa labil… Tapi ini hiburan juga buatku, hehehe...”
“Hiburan,” Aldo mengulang dengan nada menurun, alisnya naik tajam. Mengenal Kirana, ia dapat menduga apa yang dimaksud. “Gimana sebuah chip kesehatan justru membuat mentalnya… uh... nggak sehat?”
“A-apa…? Adrian…?” Theo melanjutkan dengan gestur tangan kiri digerakkan berbelok arah.
Kirana mengedikkan bahunya, meringis. “Sebut aja bingung sama diri sendiri.”
“Sepertinya tiap orang bereaksi beda-beda, ya…”
“... Dia mungkin tahu,” gumam Aldi tiba-tiba.
“Dia siapa?” tanya Aldo.
“Itu lho, Mas Haris.”
“Oh… Jangan sebut ‘Haris’, nanti dia marah.”
“Nyebut ‘Naharis’ rasanya aneh. Jadi... Penasaran cara kerja chipnya, kan? Mungkin aku nanti bisa tanya dia,” usul Aldi.
Kirana menyela, “Oke, jadi siapa ‘Mas Naharis’ ini?”
“Mas Naharis itu insinyur terbaik perusahaanku. Dia yang menyimpan blueprint bentuk fisik chipnya,” jawab Aldo.
“Tuuunggu dulu,” Aldi menyela. “‘Perusahaanku’, kamu bilang?”
“Secara teknis belum, tapi besok...” Aldo menatap saudara kembarnya lurus. “... setelah kita singkirkan Si Korup itu—akh, mulai lagi…” Ia tahan sensasi tusukan jarum dari dalam tengkuknya itu sampai hilang sedikit demi sedikit. “Kapan ini mau berhenti?”
Theo menatap Aldo dengan tatapan yang sama, seperti ketika Rico merasakan nyeri sebelumnya. Tiba-tiba terbersit pertanyaan dalam pikiran pemuda berambut panjang itu.
“Hei, Rick, ingat saat tadi merasakan nyeri setelah bertanding?”
“Err, ya jelas lah. Kenapa?” Setelah mendengar pertanyaan Theo, seisi meja mengalihkan pandangan pada sang andalan.
“Apa yang kau pikirkan atau kau rasakan waktu itu? Perasaan senang? Meluap-luap? Kulihat sih, tadi kamu sedikit hype dengan teknik baru yang kau pamerkan, hehe,” ucap Theo setengah bercanda supaya suasana tidak menjadi canggung.
“Yah... Semacam? Mungkin, hehe, aku sedikit, ehm.. bagaimana mengutarakannya...”
“Prideful?” Sambung Kirana. Rico menanggapi dengan menggaruk kepalanya dan senyam-senyum canggung. Melihat reaksi ini, Theo berpikir sejenak dan melirik ke arah si kembar.
Aldo yang mengerti maksud Theo, berkata, “Apa chip ini bereaksi terhadap emosi tertentu, ya? Seperti tadi waktu Rico merasa… uh, bangga setelah bertanding, dan, yah… barusan aku yang memikirkan betapa banyak keuntungan ketika aku sudah—Sialan, baru saja mau bilang.” Sedetik kemudian Aldo memegangi tengkuknya.
“Yang kau ucapkan tadi membuatmu terdengar mirip dengan Si Koruptor itu tahu,” Aldi berkomentar.
“Diamlah. Kamu kira aku juga mau menggelapkan uang perusahaan? Mana mungkin. Kalau prive(1) sih iya.”
“Oke, Jadi… kaitannya chip ini dengan kondisi emosional…?” Kirana bertanya-tanya.
“Sst, jenius sedang berpikir,” Theo menimpali dengan gaya sok berpikirnya. “Emosi yang mengarah ke diri sendiri atau ego dalam kadar berlebihan akan memicu aktifnya chip dan tubuh menanggapinya dengan rasa nyeri, begitu?”
Mereka kemudian saling memandang, satu sama lain. Bukan tidak mungkin spekulasi Theo salah. Apalagi chip ini merupakan alat bioteknologi yang dirancang sedemikian canggihnya hingga hanya orang-orang tertentu yang dapat memperolehnya melalui berbagai tes.
Tiba-tiba smartphone salah satu dari mereka yang ditaruh di atas meja bergetar, memecah konsentrasi masing - masing dari mereka yang nampak berpikir. “Ah, sorry, itu punyaku.” Rico kemudian membaca pesan yang baru saja masuk, ternyata dari kakaknya, Nico.
Ia mengangkat alis, tak biasanya Nico meminta tolong Rico membawakan makanan hingga jumlah yang banyak dalam tiga hari terakhi inir. Juga dengan kata ‘segera’ yang tertulis di sana, membuat Rico khawatir.
Nampaknya memang ada yang tidak beres.
“Uhh, guys, sepertinya aku harus duluan. Kakakku... Minta tolong sesuatu. M-maaf, ya!” ucap Rico dengan senyum canggung sebelum melangkah cepat keluar, meninggalkan teman-temannya keheranan.
===
Langit semakin meredup setelah terbenamnya matahari di ufuk barat. Setelah melambaikan tangan kepada si kembar Aldo dan Aldi yang berpisah arah di jalan pulang, tinggal mereka bertiga yang masih berjalan bersama, Theo, Stella, dan Kirana. Sepasang kekasih itu mengobrol seakan dunia milik berdua, tak memperhatikan Kirana yang merasa tersisih di samping mereka.
“Lalu bagaimana dengan ekspresi bahagia atau sedih yang mendalam? Theo, apa kau merasakan nyeri ketika kau sangat, sangat bahagia ketika bertemu denganku?” tanya Stella. Kirana menahan tawa yang hampir tersembur mendengar kalimat pacar Theo itu. Mereka berdua masih membahas spekulasi Theo di restoran tadi.
“Nggak, yang aku rasa cuma bahagia pas ketemu kamu,” ucap Theo sembari merangkul si gadis manis bersurai violet. Stella kemudian mendorong Theo sedikit menjauh, terlihat ia sedikit risih ketika Theo melakukannya, namun di satu sisi, hal tersebut membuat pipinya menghangat.
Gadis berambut merah jambu di sebelah mereka memutar bola matanya, peristiwa yang ia lihat terasa sedikit menyebalkan, memang. Tidakkah kau lihat Theo, kalau Stella tidak selalu suka saat kau memperlakukannya seperti itu? Pikir Kirana. Haruskah kau melakukannya di tempat umum seperti ini, dan khususnya di hadapanku?
Seketika rasa nyeri mendatangi tengkuk Kirana dan membuatnya berdesis menahan sensasi itu. Stella yang menangkap ekspresi tidak biasa dari sahabatnya, mendekati dan bertanya, “Kirana? Kamu nggak apa-apa?”
Kirana memegangi lehernya, Stella perlahan mendekat dan akan menyentuh bagian leher Kirana yang ia pikir sakit namun tangannya ditepis oleh Kirana.
“Nggak apa-apa kok, Ste. Cuma pegal sedikit habis suporteran tadi,” ucap Kirana sambil mengelus lehernya sendiri, matanya tak ingin menatap sahabatnya. Akan sangat terlihat jika ia cemburu.
Iri lebih tepatnya, dengan kelakuan dua sejoli yang sedang bermesraan di hadapannya. Kapan ia akan mengalami hal yang sama dengan pemuda yang menunggunya?
“Ah… Maaf, aku sama Theo nggak bemaksud buat kamu iri kok...” ucap Stella yang mengerti dengan situasi hati Kirana saat ini.
“Suatu saat kamu pasti juga bakal ngalami sama Rico,” Theo tiba-tiba menimpali dan dibalas dengan sikutan pelan dari Stella.
“Hahaha, apaan sih? Aku itu cuma capek, kenapa kalian mikirnya sampai situ?” balas Kirana dengan tawa dipaksakan. Setelah beberapa langkah dalam keheningan yang canggung, mereka tiba di persimpangan. Theo yang menenteng ranselnya di satu lengan kemudian mengucapkan perpisahan kepada dua gadis itu yang masih searah dalam perjalanan pulang.
Stella menghela napas, ia melirik pada sahabatnya yang masih menghindar untuk menatapnya. Stella tahu betul ketika Kirana sedang tidak baik hatinya, ia ingin sendiri walau sedang di antara orang-orang. Seperti saat ini, Kirana memilih untuk diam daripada mengeluarkan kata-kata pedas yang mungkin akan menyinggung perasaan Stella.
Sejenak kemudian sebuah tangan yang lembut merangkul pundak Kirana, manik merah jambu gadis itu menatap sahabatnya yang tersenyum. Satu dua tepukan diberikan kepada gadis yang tengah tidak enak hati tersebut.
“Kirana yang aku kenal itu nggak badmood terus-terusan begini karena hal sepele.”
Kirana memberi jeda lalu membalas dengan menghela napas dan tawa pendek, “Udah aku bilang, Ste, aku nggak apa-apa kok. Bukan iri atau semacamnya.”
“Iya, iya. Aku paham kok. Kalau begitu, hanya berarti satu hal, kan?”
Satu hal.
Kirana menunduk, mata kembali enggan menatap.
“Nggak apa-apa. Tunggu saja waktu yang tepat, oke? Eh… Ngomong-ngomong aku duluan, ya. Sampai ketemu lagi,” Stella mengakhiri, melangkah menyeberang jalan dan meninggalkan Kirana di tengah lalu-lalang manusia.
Dadanya mendadak sesak.
Kapan?
Kapan waktu itu tiba? Sampai kapan harus menunggu?
===
“Silahkan, kuenya. Terima kasih!”
Pemuda bersurai gelap dengan kemeja putih dibawah celemek hijau daun yang berdiri di belakang mesin kasir itu melambaikan tangan pada si pembeli dengan ramah. Melihat jam tangannya, mengangguk kecil setelah mengetahui shift-nya berakhir sepuluh menit lagi. Ia amati sekeliling, malam ini cukup sepi. Tidak seperti biasanya, di toko roti kecil tempatnya kerja sambilan ini terdapat paling tidak tiga sampai lima orang memasuki toko tiap empat menit sekali.
Yah, paling tidak malam ini dirinya tidak pulang dalam keadaan sedikit tertekan akan jumlah pembeli yang mengantre di konter. Jarinya bergerak ke pangkal hidung untuk membenahi kacamata—dan baru dirinya ingat jika sudah lama dirinya tidak mengenakannya.
Adrian menghela napas. Mungkin dia bisa menunggu jamnya selesai sambil berjalan keliling etalase untuk melihat-lihat.
Ia tertegun dengan desain salah satu tart cokelat berukuran sedang yang disimpan di dalam lemari pendingin terdekat dari meja kasir. Dilapisi saus cokelat gelap, potongan-potongan pelat keras campuran karamel dan vanilla disusun mengelilingi tepian. Glazing vanilla membentuk titik-titik melingkar di permukaan atas kuenya, ditambah gulungan cokelat yang ditata melingkar dengan taburan gula halus di atasnya. Double dark chocholate? Adrian membaca tiga dari lima kata yang menjadi nama lengkap kue itu.
Membayangkan kombinasi kelembutan, perisa pahit dan manis yang tercampur di dalam gelapnya roti di dalam bersama lapisan luarnya yang senada, manisnya godaan hidangan penutup ini membuat Adrian menelan ludah.
“Permisi.”
Suara berat seorang lelaki di balik punggung Adrian pun menghapus lamunannya. Dirinya berbalik, hanya untuk berpapasan dengan wajah dari pria muda berkacamata dengan surai merah menyala tengah memegang nampan berisi beberapa jenis kue. Sorotan matanya dingin, mengintimidasi. Luka menyilang di dahi hanya memperburuk situasi.
Disayangkan paras tampannya menjadi penyeimbang.
Lelaki dengan tatapan piringan semerah darah yang tajam itu tersenyum tipis, berkata, “Saya mau bayar.”
Suara dari bibir Dana yang cukup lama tidak Adrian dengar membuat konsentrasinya sedikit buyar. Salah dirinya juga yang terlalu fokus pada tart menggiurkan itu sampai tidak mendengar ada pelanggan memasuki toko. Sedikit terbata, Adrian mempersilahkan Dana membawa kue-kue yang dipilihnya ke kasir untuk dihitung.
Semenjak lulus mereka jarang bertemu, mungkin karena kesibukan Dana dalam bisnis jasa pengantaran barangnya. Di balik meja kasir, Adrian sekuat tenaga menahan perasaan aneh dalam dirinya yang tiba-tiba meluap karena kehadiran lelaki yang ia rindu—lama tidak ia lihat.
Kecuali pada ‘saat-saat’ tertentu. Imaji. Panas, basah.
Bagus. Mendadak terjadi arus pendek di dalam kepala Adrian, membuatnya lupa kalimat basa-basi yang biasa dia ucapkan, digantikan dengan kesunyian dari bibirnya dan darah yang terpompa cepat hingga menaikkan suhu permukaan pipinya.
Tentu saja bersama dengan nyeri tajam di leher.
“Kamu pasti begitu senang melihatku lagi… sampai-sampai lehermu sakit,” Dana memulai dengan seringai tipis.
“Apa-apaan, t-tidak ada hubungannya sama sekali, tahu,” Adrian menyanggah sambil mengelusi tengkuknya sementara memindai satu demi satu belanjaan Dana. Banyak juga, pikirnya.
Dana terkekeh pelan. “Ayolah, kamu pikir aku juga tidak mengalaminya? Jika doktermu belum bilang, sebenarnya itu pertanda bagus.”
“Chipnya bekerja, aku tahu,” sela Adrian.
“Dan efek sampingnya membuat nyeri pada titik injeksi hasil lonjakan emosi ketika si pemilik memikirkan suatu hal yang sangat mempengaruhinya.”
Pemuda jangkung itu mendadak menghentikan aktivitasnya. Benak berkecamuk, pupil mengecil, tak berani menatap lawan bicaranya.
“Jadi… Kamu masih juga di sini?” Dana memulai lagi.
“B-begitulah, mengisi waktu luang.” Adrian menjawab dengan sebisa mungkin tidak terlihat canggung, kembali dirinya menghitung lima roti yang tersisa di nampan.
Luang?” ulang Dana. Alisnya naik, heran. “Untuk seorang cum laude? Masih bekerja sambilan di tempat macam ini?”
“K-kamu sendiri juga masih jadi kurir, kan?”
Dana terdiam sejenak. “Dari mana kamu tahu?”
“Ah, begini,” Adrian melirik sekilas ke langit-langit, sambil masih menghitung beberapa kue terakhir. “Beberapa waktu lalu waktu check-up di lab, aku bertemu dengan seorang dokter yang katanya jadi langgananmu… Dia puas karena bisa mengirim barangnya sampai luar pulau, cepat, tanpa cacat dengan jasamu.”
Gama, batin Dana. Lelaki bersurai merah itu berharap si bos tidak bercerita banyak tentang sisi gelapnya pada Adrian. “Oh… Pak Itu… Selain itu, dia bercerita apa lagi?” Dana menyelidik.
“Eh… Tidak ada. Hanya bercerita tentang tangannya yang terluka.” Adrian berusaha mengingat-ingat percakapan itu. Tangan pria itu yang terbungkus sarung tangan kulit masih menjadi tanda tanya dalam pikirnya.
Seulas senyum misterius terpampang. Gama memang pintar membuat alasan. Namun tidak mungkin orang seperti Adrian akan percaya begitu saja, pikir lelaki bersurai merah itu.
“Ah, Iya. Total belanjamu 67 Motic(2), Dan,” ucap Adrian yang kemudian menyerahkan kotak berisi kue-kue pilihan kawan (sungguhkah pantas lagi disebut kawan atas fantasi-fantasi yang sering berkelana dalam pikirnya? Cercaan ini muncul dari suara lain, entah sudah berapa kali) yang harumnya menggoda, manis, dan lezat. Adrian berharap itu dapat memuaskan Dana, ucap suara dalam pikirnya yang mulai mengarah ke hal tidak-tidak.
Adrian menggelengkan kepala sekilas, mencoba menyingkirkan racun yang hendak menginfeksi ketika menerima kartu pembayaran dari pelanggan istimewanya tersebut. Lelaki beriris kobalt itu kemudian memindai kartu tersebut dan meminta Dana memasukkan pin.
“Kusebutkan saja. Enam, satu. Enam tiga kali. Satu. Terakhir, tiga.”
Alis Adrian terangkat sebelah. “Kamu menyukai angka enam, hm?” komentarnya sambil mengetikkan angka-angka tersebut pada komputer. Tepi bibir Dana naik sepersekian senti.
“Angka keberuntunganku. Seperti beruntungnya aku bertemu denganmu.”
Adrian berharap dirinya salah dengar. “D-Dan... Kau bisa kan, sekali saja tidak mengatakan hal yang menyeramkan?” pintanya dengan senyum kaku.
“Hm?” Dana mengangkat sebelah alisnya, “Kukira kau sudah terbiasa denganku yang begini.”
“Y-yaa, aku tahu kamu bukanlah orang yang tidak begitu memperhatikan personal space tapi bukan, maksudku—kenapa harus aku? Oke, kuakui kita bersahabat, tapi bukankah itu agak sedikit… aneh? Kenapa kamu tidak begini juga dengan orang lain?”
Merah dan biru saling bertatapan lurus, tak satupun dari keduanya yang hendak angkat bicara.
“Oi, Adrian, sebentar lagi waktu jagamu habis.” Seorang lelaki sebaya Adrian masuk dari pintu samping toko yang bertuliskan ‘Khusus pegawai’, tepat saat smartphone di saku Adrian bergetar.
“Iya. Eh, tolong lanjutkan proses transaksi di sini, ada panggilan masuk,” ucap Adrian pada rekan kerjanya sambil menunjukan ponsel yang baru saja ia keluarkan dari saku. “Permisi, Dan,” pamitnya cepat pada pelanggannya. Ia beranjak dari konter dan pergi ke luar toko lewat pintu tadi.
“Nicolaas Hendriksen?” gumam Adrian sambil melihat nama yang tertera di layar. Ia geser ikon hijau dan mendekatkan speaker pada telinganya.
“Yooo bocah jenius penjaga toko roti!” Suara riang dengan nada menyebalkan terdengar dari seberang. “Sudah menulis proposal proyek dengan saus coklat di atas lembaran roti tawar? Aku pesen lima, dong! Hehehehe...”
Spontan Adrian menekan ikon merah di layar. Si bodoh, pikir Adrian sambil memutar bola matanya. Baru saja akan melangkah masuk kembali ke toko, sebuah panggilan masuk.
Adrian menghela napas. Si jambul pirang konyol itu lagi. “Apa?” ucap Adrian segera setelah mengangkat panggilan Nico yang kedua.
“Kau tersinggung dengan candaan roti dan saus coklat? Kalimat terakhir itu beneran, by the way.”
“Satu lusin roti lagi perlu kuantarkan ke apartemenmu, ha?”
“Hehehehe… Ya nggak selusin juga. Aku bilang lima. Oke? Nanti kubayar, nggak perlu khawatir! Yang perlu kau khawatirkan justru perutku.”
“Kenapa? Perutmu akan meledak seperti balon? Kuharap demikian.”
“Jahat.”
“Dari dulu.”
“Tapi, ini sungguhan—aku butuh itu, man. Sebenarnya aku tadi udah minta tolong beli makan malam juga ke adikku tapi rasanya aku udah nggak kuat. Ah, roti apa aja lah, terserah. Lima biji. Kirim ke apartemenku, oke? Cuma lima puluh meter, juga.”
Adrian mengacak-acak rambutnya gemas, menghela napas lelah. Sambil meletakkan satu tangan di pinggang, ia membalas, “Nic, serius. Ada apa dengan dirimu dan nafsu makanmu akhir-akhir ini?”
“M-mana aku juga tahu?! Ini lucu—aku nggak mengalami sedikitpun kenaikan atau penurunan berat badan, dan aku nggak tahu kenapa setiap selesai makan aku selalu merasa masih lapar layaknya orang nggak makan selama—h-hei, a-aduh… Ini kenapa mendadak...” Nico mendesis di seberang sana.
“Nic. Please.
Nico merespon dengan desisan dan aduhan.
“Uh, Nic. Aku habis ini ada tamu, jadi aku duluan—”
Erangan dari seberang terdengar tidak main-main. Tiba-tiba seperti terdengar benda keras jatuh ke lantai, disusul berdebak yang cukup keras. Adrian mulai berkeringat dingin.
“... Nico?”
“T-tolong…”
“Oke, aku harap kamu tidak main-main. Aku ke sana.” ucap Adrian kemudian mengakhiri panggilan. Saat berbalik jantungnya seakan ingin meloncat. Ia temukan sepasang manik rubi berjarak hanya beberapa inci dari wajahnya. Cukup dekat untuk membuat wajahnya merah padam.
“Siapa?” ucap lelaki berambut merah itu sambil memicingkan mata.
“I-itu… Teman kuliah dulu. Oh iya, dia sedang sakit dan aku diminta m-menjenguk. Sekarang. J-jadi, bisakah, err, Dan, kamu...”
“Oh, tentu. Silahkan. Tapi, apa aku boleh ikut? Mengantarmu, mungkin.”
“T-tidak, tak usah repot-repot. Aku duluan, Dan.” ucap Adrian sedikit tergesa masuk kembali ke dalam toko.
Sudut bibir si merah terangkat sedikit.
===
Rico baru saja akan membuka pintu ketika mendengar erangan dari dalam apartemen. Tidak salah lagi, itu pasti kakaknya. Menggunakan kunci cadangan, cepat-cepat dirinya bergegas masuk.
Ruang tamu nampak berantakan. Laptop kakaknya masih terbuka, bungkus kosong beragam makanan berserakan di atas meja. Kemudian ia temukan tubuh saudaranya tertelungkup di lantai, menggeliat kaku sambil memegangi perutnya. Tangan satunya lagi menjulur ke depan, jemarinya melebar dan menekuk seolah mengais tanah.
Pupil Rico melebar, adrenalin mulai terpompa dalam aliran darahnya. Panik. Bingung. Hingga barang bawaannya pun terjatuh ke lantai.
“K-kak? Kak Nico!” Rico menghampiri kakaknya yang setengah sadar mengerang kesakitan. Sebuah tanda asing terlihat di tengkuk kakaknya; pendaran oranye seperti tanah kering yang terpecah-pecah.
“R-Rico, untung—akh…” Erangan Nico melemas, makin terdengar layaknya seseorang yang belum makan selama seminggu. Seluruh daya tubuhnya lenyap begitu saja. Jantung Rico melewatkan satu degupan, melihat tanda aneh yang ada di tengkuk kakaknya itu perlahan bergerak menjalar di leher.
“K-K-Kak, i-ini apa?!” ucap Rico panik sambil berusaha menghilangkan tanda aneh itu dari kulit kakaknya. “Kakak punya penyakit apa?!”
“A-aku tidak tahu, Rick. Aku—merasa sangat lemas, dan sakit. A-akh...!” Tubuh Nico terkulai lemas, ia hampir-hampir tidak bisa membuka mata. Napasnya berat, keringat dingin membasahi tubuhnya. Pendaran oranye aneh itu mulai merambat naik ke pipinya.
Rico bergegas menarik lengan kakaknya dan memapahnya perlahan namun pasti ke pintu. Terbersit olehnya untuk meminta bantuan. Namun, pada siapa?
Koridor apartemen malam itu sepi, aneh sekali. Rico sama sekali tak berpapasan dengan siapapun saat menuju ke lift. Selama di dalam, dirinya tak sabar ingin segera mencapai lobi utama. Tak tega untuk batinnya mendengar desis dan erangan lemas dari sang kakak yang sudah setengah sadar.
Baru saja mereka berdua keluar dari lift, mereka tiba di lantai dasar. Rico berucap pada kakaknya, “Tenang, Kak. Aku akan segera memanggil—” Ia melihat harapan pada seseorang yang baru saja melewati pintu kaca lobi apartemen. Pemuda dengan iris kobalt itu rupanya juga menyiratkan kekhawatiran pada matanya. Makin terlihat ketika ia melihat Rico memapah Nico dalam kondisi sekarat.
Pupil Adrian melebar, ia tak menyangka kondisi si pirang menyebalkan itu akan separah ini. Ia hanya berjarak dua meter dari mereka berdua. Ia terdiam sejenak, seakan kakinya melemas mengikuti kondisi Nicolaas.
“Nico?!”
“Adrian…? Hei, bocah jenius, kau bawa pesananku? Hehehehe...” Sebuah candaan yang sempat - sempatnya terselip keluar dari bibir pemuda beriris perak itu, yang cahayanya Adrian lihat seakan makin meredup.

# # # Continued in the Next Chapter # # #

  1. Prive (akuntansi): Tindakan mengambil uang perusahaan oleh si pemilik sendiri untuk keperluan pribadi.
  2. Motic: Sistem mata uang di universe ini, berupa saldo yang disimpan dalam sebuah kartu. 1 Motic = 1000 Rupiah. Asal-usul katanya berasal dari Basa Jawa Walikan “muthik” yang berarti dhuwit (b. Jawa) atau uang.
(A/N)
Agon: Maafkan karena lama updatenya, kesibukan lain dan blabla, cukup menghambat tahap penulisan untuk chapter ini. Harapannya chapter berikutnya bisa lebih efektif hehe. Hope you enjoy!
/whispers/ Oya. Banyak hiburan kan di chapter ini?
Fay: *menonton dari jauh* *smiles*

2 comments:

  1. *squeals*
    *flip*
    DANADRIAN ASTAGAAAAA
    Trus apa2an itu pin nya Dana memuaskan fangirl banget xD
    Tapi akhirnya cukup nggantung aaaa penasaran apa nico mati- *ngga*
    Ditunggu ya lanjutannya~
    Ciao ( >uO)/

    ReplyDelete
  2. KALIAN KEJAM BYE
    (loljk aku masih penasaran sama nasib papah)

    ReplyDelete