Thursday, February 25, 2016

Case #13.1

Sejuk. Ringan. Segar. Berada dalam sebuah ruang kecil berdinding kaca fiber, Rico menengadahkan kepala, menikmati rintik deras air yang menghujani kepalanya, turun menelusuri tiap senti kulitnya hingga ujung-ujung jemari kaki. Mendadak kenikmatan itu teralihkan.
Bukan soal Rico yang satu sisi merasa lega bisa berada lebih dekat dengan kakaknya. Bukan.
Rico ingat ketika ia datang tiga hari lalu, diantar malam-malam dengan feri bersama Adrian dan beberapa partisipan lain dari pelabuhan di pesisir utara menuju sebuah pulau. Rombongan bus khusus kemudian menjemput dan membawa mereka pada bangunan besar yang nampak luarnya tidak jauh beda dengan pangkalan militer atau penjara kriminal kelas hiu—terlalu berlebihan bagi kakap jika diberikan keamanan super ketat macam tempat ini, ia pikir. Ponsel disita. Entah para petugas berpakaian serba hitam itu menyimpannya di mana, dan Rico teringat bahwa ia belum sempat pamit kepada ayah-ibunya. Ia terlalu sibuk bertanya pada orang-orang di sekitarnya soal kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di depan.
Paling tidak ia cukup terhibur saat bertemu kembali dengan teman-temannya lagi di beberapa jam setelahnya. Namun tetap saja.
Dengar-dengar, sepuluh kilometer di timur tempat ini ada sebuah kota kecil.
Tapi kabur bukan pilihan mendapati seramnya senapan-senapan yang ditenteng oleh para petugas keamanan (orang-orangnya pun nampak menyeramkan) serta deteksi sistem yang Kirana sendiri sebut amat sangat beresiko utuk diretas.
Di sisi yang lain, Rico berpikir jika para penculiknya ini begitu baik... Mungkin terlalu baik?
Kamar tiga kali empat meter. Kamar mandi dalam. Air conditioner. Ranjang yang membuat orang tenggelam dalam kenyamanannya setelah lima detik merebahkan diri di atasnya. Rak buku di salah satu tembok, di sampingnya terdapat meja dengan PC yang tersambung dengan internet (kecuali jejaring sosial yang terblokir. Sudah Rico duga). Dan entah apa yang ada di pikiran mereka, memberi sebuah kolam ikan kecil di sudut ruangan dengan air mancur mini dengan percikan airnya yang menenangkan. Ibu-ibu peneliti dengan senyum ramahnya yang kerap mampir untuk memeriksa selalu mengingatkan agar jangan lupa memberi makan ikan-ikan itu pula dengan pakan yang ditaruh di meja. Jamuan sarapan, makan siang, dan makan malam bersama partisipan lain di sebuah cafetaria seluas ballroom. Jam bebas beraktivitas tiap pukul tujuh sampai sebelas malam.
Ia teringat masih ada Pengukuran Parameter Fisik setengah jam lagi sampai sebelum makan siang nanti.
Mau sampai kapan Rico ada di tempat ini? Dia masih ada kuliah. Sampai ada mata kuliah yang mewajibkannya untuk mengulang, Paramayodya harus bertanggungjawab.
Menyusul deretan pemikiran yang barusan lewat, Rico mendadak mengacak-acak rambutnya sendiri hingga air yang menempel terpercik ke segala arah. “Aaaaagh! Binguuung!” keluhnya, lalu menghela napas lelah.
Mendadak lampu ruangan berkedip-kedip remang. Kemudian samar-samar terdengar suara seseorang berseru sesuatu. Suara benda menghantam permukaan keras—pintu ruangannya, lebih tepatnya—menyusul dan membuat Rico terlonjak kaget. Terdengar lagi seruan-seruan, makin jelas ketika ia sengaja mematikan aliran air.
Ada dua hal berbeda yang Rico pikirkan bersamaan. Pertama; mengingat tebal tembok ruangan dan jarak posisi antara ia berdiri dengan pintu dan sumber suara, menandakan pendengarannya yang makin menajam. Kedua; sesuatu di luar bukan hal baik. Orang-orang itu panik dan mengerang sakit. Ia sudahi mandinya dan cepat-cepat mengeringkan diri.
Saat Rico melangkah keluar dari kamar mandi, kegaduhan itu tak terdengar lagi. Sempat ia sengaja berdiri diam, sebelum memastikan bahwa memang benar-benar sudah berhenti. Ia kenakan setelan serba putih yang baru, seragam harian untuk kelompok orang seperti posisinya sekarang di laboratorium besar ini. Terbesit olehnya untuk melangkah keluar melihat keadaan, namun ia urungkan setelah menyadari sesuatu.
Keheningan yang begitu kental di balik pintu ini.


Penasaran, Rico berjinjit sedikit untuk melihat lewat jendela kecil yang terletak agak sedikit tinggi di pintu. Ia menyesalinya. Spontan ia membalik badan, punggung menempel erat pada permukaan pintu berat itu. Lututnya mendadak lemas. Mata menatap lebar ke tanah, pupil mengecil.
Lantai merah. Darah di mana-mana. Meski sekilas, Rico melihat tubuh seorang staf tergeletak kaku di lantai, mata membelalak namun buta. Jas dan kemeja putihnya membuat rembesan tinta merah dari luka sayatan yang menganga tercetak sangat jelas.
Apa yang terjadi? Ke mana suara alarm?!
Ruangan ini aman. Ruangan ini aman. Rico merapal kalimat itu dalam hati bersamaan dengan tubuhnya yang merosot turun, terduduk ke lantai. Pintu ini hanya dapat dibuka dengan password tertentu dan biometrik pemilik ruangan atau kode khusus yang dimiliki oleh staf yang berwenang. Bahan penyusun pintu pun turut meyakinkan dirinya bahwa ruang pribadi ini dapat melindunginya.
Benaknya bertengkar. Rico berharap ketika ia melongok keluar lagi, seorang petugas keamanan telah datang dan membereskan kekacauan ini segera. Perasaan lain mengatakan, lebih baik jangan. Naiklah ke ranjang. Selimuti tubuhmu. Tidur!
Setelah satu helaan napas, Rico kembali berjinjit. Penyesalannya berlipat sekarang.
Panjang, merah jambu semu warna kulit, elastis seperti cacing. Sisi bawahnya terdapat lekukan ke dalam, beruas-ruas yang tepiannya mengeluarkan deretan tulang berujung tajam, mirip susunan gigi karnivora. Dua-tiga ‘Sesuatu’ itu melilit tubuh staf yang terbujur kaku tadi, diseret pelan, meninggalkan jejak darah di lantai keramik putih.
Alarm berbunyi nyaring sesaat kemudian. Lorong diselimuti pendaran cahaya merah. Telat! Rico panik. Tiba-tiba kakinya kembali mendapatkan kekuatan untuk mendorong tubuhnya naik ke ranjang. Ia tarik selimutnya, matanya terpejam erat.
Semua kenikmatan di tempat ini bohong. Ruangan ini palsu. Ada makhluk aneh di balik pintu sedang memangsa manusia. Ayahnya selalu bilang, monster itu tidak ada. Semua ini hanyalah ilusi, mimpi buruk. Ia harap ketika membuka mata, ia sudah kembali ke kamarnya di rumah. Ia gigit bibirnya sendiri. Sakit. Tempat ini penjara—bukan. Neraka. Wajahnya makin ia benamkan pada bantal, barisan harapan bertabrakan dengan keputusasaan, pikiran logisnya bertarung dengan konspirasi dan irasionalitas.
Keheningan itu pecah ketika Rico mendengar suara dua orang tengah bercakap-cakap di koridor. Syukurlah.
“PAK! AWAS!” Kemudian suara bedebak, disusul suara seperti logam ringan yang memantul-mantul bising di lantai.
Satu orang baru bersuara. Pola suara orang ini terdengar familiar. Orang itu kemudian terbahak. Kemudian kegaduhan. Seseorang terlempar ke tembok. Satu lagi berteriak menantang.
Rico membuka selimutnya sedikit. Ia merasa lega petugas keamanan datang. Namun rasa penasaran itu tetap di sana, keberaniannya pun pulih. Berjalan pelan mendekati jendela pintu, kemudian terhenti ketika lampu ruangannya kembali berkedip-kedip—lebih tajam dari sebelumnya. Kemudian ia mendengar dengungan, disusul oleh cahaya terang yang berkilat-kilat. Seseorang berteriak kesakitan. Pendar nyala-mati ruangan kini tak berhenti. Rico kembali mengintip, kini jelas siapa pemilik ‘cacing’ tadi yang kini tengah bertarung dengan seorang pria yang tidak tampak seperti petugas keamanan.
Tenggorokan Rico tercekat, mencegahnya untuk menyebut nama orang itu.


= = =

Variable X

Case 13.1: Awakening (Heads)

= = =



Dua puluh tiga menit sebelumnya.
“Dengan demikian, pertemuan pagi ini kita sudahi dulu. Selamat bekerja, kita akan bertemu lagi lusa.”
Gama mengakhiri, tepuk tangan meriah mengisi seluruh sisi ruang oval itu. Sang Ketua Proyek pun berdiri dari kursinya, diikuti para ketua divisi peneliti yang hadir dan telah memberikan laporan-laporan berdasar pengamatan mereka sejak dua hari lalu.
Nana berdiri di samping suaminya (yang dengan satu tangan masih memegang tongkat) yang sedang menyalami satu per satu orang-orang berjas putih itu; turut memberi senyum dan bungkukan tanda terima kasih. Sesekali melirik pada satu-satunya pria bersetelan gelap di ruangan ini. Masih hangat, cerah, seperti biasa. Namun yang ia pikirkan bukan keadaannya detik ini, melainkan beberapa menit—mendekati satu jam—yang lalu.
Sepasang manik abu baja yang tahu segalanya. Suaranya yang berubah. Bukan pada jangkauan nada antara bariton ke tenornya itu, melainkan pada jeda dan alirannya. Jauh lebih mulus dan tertata. Begitu percaya diri dan membius.
Manusia paling takut terhadap perbedaan dan apa yang tidak mereka ketahui, pada suatu hari suaminya itu pernah berkata. Hal wajar, tapi tetap saja.
Juga, soal apa yang mereka bicarakan saat rapat. Ia cukup kesulitan mengambil intisari akibat banyaknya istilah-istilah yang terlalu teknis, mengingat latar belakang pendidikannya yang berbeda dengan orang-orang di sini.
Ah, sudahlah. Catatan notulen perlu secepatnya ia susun. Dan, urusan-urusan lain.
.
Area 7, di waktu yang bersamaan.
Semilir angin sepoi meniup surai pirang kecoklatan pemuda yang tengah duduk bersila dan memejamkan mata di atas sebuah batu datar. Sesekali bibirnya menggumamkan sesuatu, seolah sedang berbicara kepada angin yang bergerak melewatinya. Napas dalam ia tarik, ia hembuskan perlahan. Teratur.
Langkah kaki mendekat. Pemuda itu mengernyitkan dahi, seperti sesuatu yang ia rasa asing mendatanginya. Beberapa hewan kecil, seperti burung-burung dan tupai, yang awalnya mendekati lelaki muda itu tiba-tiba pergi. Seakan mereka juga merasakan sesuatu yang berbeda.
Mengancam?
Sebuah tarikan napas dalam dan Darien membuka kelopak matanya, tanpa menoleh ia berucap, “Anda kemari untuk mencari jawaban, bukan?”
.
Mereka berjalan berdampingan keluar ruangan di baris paling belakang, menyusuri lorong pendek sebelum tiba di lobi percabangan.
“Mas, aku langsung duluan, ya. Setelah ini Mas mau langsung cek ke koridor khusus EXT juga, kan?” ucap Nana.
“Ah, iya, iya. Baiklah... Sekarang, di mana Dan—” Gama ingat terakhir kali meminta Pimpinan Keamanan itu untuk menunggu di salah satu sofa panjang di lobi ini. Maka bingunglah ia ketika mendapati pemuda bersurai merah itu tidak ada di kursinya… hingga Gama melihat dia berada dalam beberapa meter di depan, sedang asyik mengobrol dengan dua staf wanita di dekat pot besar yang bersebelahan dengan jendela mengarah ke lapangan tengah.
Spontan otot pipi Gama menarik sebuah senyuman lebar, disusul dengan dengusan. Menggeleng heran. “Dana, Dana…” sebutnya pelan. Kedua wanita berseragam lab itu terlonjak melihat bosnya, salah satu menepuk pundak Dana. Pemuda itu langsung berbalik, namun bukannya berjalan mendekat, ia justru memanggil kedua wanita tadi untuk dibisikkan sesuatu. Sebuah seringai. Mereka nampak senang sebelum cepat-cepat berlalu (dan membungkuk canggung pada Gama).
.
Sebuah tawa pendek menjadi balasan, pria dengan rambut biru gelap itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Tidak disangka, kau memang seperti yang orang-orang katakan, seorang cenayang.”
“Lengkap dengan baju panjang putih, bersemedi di tengah hutan. Seperti di film-film, bukan begitu, Pak?” Darien berdiri dan berbalik, mendapati Surya yang menatapnya dengan air muka yang menyiratkan rasa penasaran. Ia lalu tersenyum, “Ngomong-ngomong, Anda juga mengenakan seragam yang sama pula. Jadi, bukankah kita sama?”
Surya berkedip bingung sebelum melirik pada pakaiannya. Ia terkekeh. Oh, cenayang ini bisa bercanda juga, rupanya.
“Eeh, Surya saja. Tidak perlu formal begitu. Aku seumuran denganmu, Darien.”
Lelaki berambut pirang itu tersenyum, melangkah mendekat dan menjabat tangan lawan bicaranya. Sebuah energi besar ia rasakan, namun juga ada emosi yang mengganjal di sana.
.
Nana berceletuk kaku, “... Dana memang... populer di antara wanita, ya?”
Gama mengulum senyum canggung. Dana berjalan mendekat, masih dengan seringai kecil di wajahnya.
“A-aku duluan ya, Mas,” ucap Nana dan berlalu.
Gama mengangguk, mengamati punggung istrinya itu sekilas kemudian menghadap pada si rambut merah. Tak mengucapkan sepatah kata pun.
“Mereka yang mengajakku,” kata Dana enteng. “Selalu. Lagipula, duduk diam membuatku bosan, jadi kurasa tak apalah sekali-sekali beramah-tamah.”
“Beramah-tamah.” Gama mengulang.
“Selama ini selalu mereka yang datang. Begitu pula dengan semua wanita yang pernah mendekatiku. Aku hanya memberikan apa yang mereka mau. Mudah.”
.
Setelahnya, Darien mempersilahkan teman barunya untuk duduk bersama di batu tempat meditasinya tadi. Surya meraba-raba batu itu, mengamati warna dan teksturnya, tidak ada yang aneh.
“Apa batu ini khusus? Maksudku, memiliki kandungan mineral tertentu yang bisa meresonansi energi kita?” Surya bertanya sambil mencoba mengingat-ingat artikel yang ia baca semalam.
Darien menyelipkan tawa pendek. “Tidak, ini hanya batu basal besar biasa. Bukan batu yang spesial. Memang ada beberapa jenis kristal yang mampu meresonansi tenaga dalam manusia, tetapi tempat dudukku ini bukan salah satunya.”
“Oh, begitu ya…” Sekian detik terlewati dalam keheningan yang canggung dari Surya sebelum ia kembali bertanya, “Eh… Kudengar, kau mantan pasien penyakit langka.”
.
Mereka saling menatap. Satu menantang, satu lagi membaca. Rasanya seperti ada jarum-jarum kecil tak terlihat sedang menusuki dada Gama. “Yah, jangan sampai mengganggu... produktivitas. Bisa, kan?” pungkasnya sebelum melangkah. Dana mengikuti di belakang.
“Pasti.”
Dari lobi, menyusuri tiga lorong, sampailah pada ruang transporter. Lima menit cukup bagi satu kapsul transporter itu membawa mereka menuju sisi belakang Lab Besar, tepatnya pada selasar dengan pintu baja besar yang diatasnya terdapat tulisan merah besar berbunyi, “AREA 5”. Sebuah blok khusus ruangan peserta eksperimen. Serangkaian prosedur otorisasi tentu harus Gama lalui sebelum desisan mekanisme hidrolik aktif dan membelah pintunya vertikal, memberi jalan menuju lorong sepi berlangit-langit tinggi yang satu sisi temboknya berupa jendela kaca yang mengarah ke hijaunya pemandangan halaman luar.
“Jadi… Akan ada sistem baru untuk mempermudah pemantauan. Sebelum sistem itu selesai dipasang, mungkin ada baiknya aku memberitahumu duluan, Dana,” mulai Gama.
“Ini yang dibahas di rapat tadi? Sistem macam apa?”
“Level. Semua subjek penelitian akan dikelompokkan menjadi empat Level, yang masing-masing Level itu dikategorikan berdasar tingkat kondisi psikis dan fisiknya.”
.
Tawa pendek terselip kembali. “Iya, namun takdir berkata lain. Tanpa terapi dari Pak Gama, mungkin aku sudah… berpindah ke dimensi lain,” Darien tersenyum. Orang ini memang istimewa, Surya pikir. “Aku juga bersyukur didampingi peneliti muda itu. Aku belajar banyak hal darinya.”
“Peneliti muda?” ulang Surya. “Seperti apa dia?”
“Yah… muda. Cerdas. Laki-laki, mungkin kisaran 17-18 tahun? Sepertinya dia mudah dikenali karena kulitnya yang pucat… Kukira dia sedang sakit, ternyata natural—”
Surya langsung menyebutkan, “Venndra!”
“Ya! Ternyata kau mengenalnya juga?”
“Yah, dia sahabat masa kecilku.”
Wajah Darien berseri-seri. “Oh, ya, ya… Jika kau bertemu dengannya lagi, tolong sampaikan salamku, ya? Dia guru yang hebat, Surya. Aku belum sempat berbalas budi.”
.
“Semakin tinggi Level, maka psikis dan fisik subjek itu lebih stabil,” tebak Dana.
“Bukan soal stabilitasnya saja,” balas Gama. “Misalkan Level terendah, Level 1, adalah para subjek gagal. Kau sudah tahu bagaimana pemicu dan ciri mereka.”
Dana terdiam sejenak. Ia tak ingin membayangkannya. Kemudian ia bertanya, “Level 2?”
“Stabil secara psikis, namun tidak ada kelebihan atau kekurangan fisik yang signifikan kecuali daya regenerasi dan kepekaan lingkungan mereka yang sedikit lebih baik dari manusia biasa. Umumnya mereka masih mengalami ketidaknyamanan dengan diri mereka sendiri. Misal; emosi labil, keinginan kuat, atau gejala bawah sadar seperti mimpi yang berulang. Sampai saat ini, subjek Level 2 yang jumlahnya masih mendominasi,” jelas Gama.
“Tunggu. Berarti, Level 2 itu titik awal?” sela Dana. “Kita sudah pernah di Level itu sebelum… ‘kelebihan’ itu muncul, kan?”
“Betul. Jadi, ada kemungkinan pula bagi Level 2 untuk naik Level. Aku belum tahu apakah ada kemungkinan untuk turun Level juga. Kita belum menemukan kasusnya. Dan aku juga belum menemukan ada subjek Level 1 yang mampu naik Level.”
Segaris senyum tipis merekah di wajah Dana. “Begitu, ya… Jadi, ada di Level mana kita sekarang, Pak? Level 3?”
Sang Kepala Proyek mendadak berhenti melangkah dan menoleh ke jendela. Dari pantulan kaca, Dana mendapati dua pasang sorotan kelabu baja yang sedikit menajam dan sisi-sisi bibirnya yang naik tak nyaman.
“Pak?”
“Baru segelintir orang yang berada di Level 3. Salah satunya anak buahmu. Wira,” ungkap Gama. Dari pantulan jendela kaca, ia perhatikan bagaimana alis Dana mengerenyit.
“Memangnya ada apa dengan Level 3?” tanya Dana, suara beratnya terdengar was-was.
“Level 3 itu… sulit diprediksi. Satu ciri yang paling menonjol hanya ketika saat bangkit, seolah mereka sedang dikendalikan oleh kekuatan yang mereka miliki sendiri.”
“Wira?”
“Kebangkitan anak itu tidak sebanding dengan kekuatan mentalnya sendiri untuk mengendalikan,” ungkap Gama, senyumnya memudar. “Seperti yang pernah kau ceritakan tentang kejadian di gudang senjata waktu itu.”
Dana mengalihkan pandangan matanya ke lantai.
“Wira… Kasusnya menarik. Entah aku saja atau memang di dalam tubuhnya, Wira memiliki dua inti energi bioplasma. Scanner yang laboratorium ini miliki hanya mampu mendeteksi satu inti. Umumnya, antara satu orang dengan yang lainnya memiliki jarak rerata potensial yang tidak begitu jauh. Sementara ketika scanner itu memindai tubuhnya, terbaca satuan potensial yang berlipat. Tidak heran ia kesulitan mengendalikan dirinya sendiri saat sedang bangkit.”
“Lalu, bagaimana dengan hasratnya?” tanya Dana lagi. “Chip bekerja dengan membaca tingkat hasrat pemakainya, kan?”
“Aku pernah suatu waktu ikut melihat sesi pemeriksaan psikisnya. Wira tidak memiliki hasrat tertentu sepertimu atau yang lainnya. Tetapi, ketiadaan hasratnya berbeda dengan Level 1. Ia tidak memiliki keinginan kuat. Ia hanya membutuhkan... jawaban. Pengaruh emosinya yang meledak-ledaklah yang kurasa membuat Wira berada di Level 3. Marahnya seolah menunjukan harapan kuat, bahwa ia tidak akan menyerah mencari sampai jawaban itu ia genggam. Selama ini, kebangkitan Wira dipicu oleh harapan itu.”
“Lalu… Berarti kita—” Dana kembali memulai setelah jeda sekian saat.
.
Mendengar cerita Darien, kedua sisi bibir Surya tertarik dalam sebuah senyuman. Bangga. Nampaknya Venndra harus bercerita banyak, nantinya. “Jadi… Terapi.” Surya memulai topik baru. “Jadi kau menganggap semua hal ini biasa, seperti—”
“Hanyalah topeng belaka,” potong Darien, mengejutkan Surya. “Ada sesuatu yang disembunyikan, ada tujuan yang sudah menyimpang.”
.
Gama kembali tersenyum, memotong, “Level tertinggi. Level 4.”
Tepat saat Dana hendak bertanya lebih lanjut, lorong mendadak diselimuti cahaya merah dan disusul oleh bunyi nyaring.
Sekejap kedua pasang telinga mereka mendengar jerit tertahan, seperti tercekat. Sesuatu yang sobek, melilit erat dan menarik kuat. Berterima kasih kepada kemampuan pendengaran mereka yang kini jauh lebih peka dari manusia biasa, mereka segera berlari ke belokan lorong paling ujung, menemukan sumber bunyi tak biasa itu dengan cepat.
“I-ini...” Gama masih mencoba mencerna apa yang ia dapat di salah satu koridor blok hunian ini.
.
“Aku kira—ternyata kau sepikiran denganku, Darien. Lalu, mengapa tidak lari saja?”
Darien memandang jauh, memandang langit dengan awan yang berarak. “Lari? Lalu bagaimana dengan orang-orang yang kehilangan jalannya di sini? Aku tak ingin meninggalkan mereka sendirian.”
“Jadi, kau menganggap dirimu penunjuk jalan? Penyelamat?” tanya Surya.
.
Merah di mana-mana, sobekan kain, alat-alat medis yang berserakan di lantai. Barisan tubuh tak bernyawa. Beberapa orang berseragam hitam seperti Dana juga nampak tergeletak bermandikan darah.
“Pantas saja,” desis Dana, menyadari alasan sepinya lorong tadi. Saat itu juga, alat komunikasi yang terpasang di telingannya berbunyi. “Hei, jelaskan kenapa—”
“Oh ast—kresek—ga! Unt—kresek—tersambung!” sahut suara di seberang.
“Sinyal komunikasi di sini terhalang…” gumam Dana, sebelum kembali berbicara sedikit keras, “Oi, kau dengar?! Ada apa ini? Banyak orang mati di sini! Bunyi alarm juga terlambat!”
“Apa?!—kresek—vital mereka—kresek—tes! Halo—kresek—sinyal vital mereka hilang!”
Dana mengamati dan menemukan sebuah bekas seretan, menuju ke sebuah kamar di ujung koridor. Aneh, pintu hidroliknya tertutup rapat.
“Alarm ini berbunyi ketika sistem keamanan khusus mendeteksi fluktuasi energi bioplasma yang kelewat tinggi…” kata Gama. “Jangan-jangan...”
“... ada yang bangkit,” desis Dana sebelum menyadari jika bosnya tengah berjalan masuk duluan lebih jauh. “Pak, pak, biar aku saja yang—”
Gama meraih sesuatu dalam sakunya ketika tiba-tiba salah satu lempengan logam yang menutup langit-langit koridor terjatuh tepat di depannya. Sepasang benda elastis dengan warna merah muda dengan cepat melesat menuju wajahnya.
.
Wajah Darien berubah masam. “Itu terlalu berlebihan,” balasnya. “Aku hanya ingin membantu. Aku sudah mendengar semuanya, dari mereka. Mereka ingin proyek gila ini dihentikan.”
.
Dana berteriak dan mendorong tubuh Gama, menyelamatkannya dari sergapan benda asing tadi.
“Aaah~ Sayang sekali, padahal sebentar lagi aku mendapat makanan lezat~” Sepasang iris berpendar oranye menatap dari langit-langit koridor. Sepasang sulur-sulur elastis tadi perlahan bergerak naik kembali ke pemilik suara itu.
“Hoo… Dua hidangan utama, dua inti besar… Mujurnya aku tidak melewatkan ini.” Pemilik suara itu terbahak kemudian melompat turun dari persembunyiannya. Gama dan Dana berdiri, keduanya menyadari siapa orang yang telah bangkit tadi.
Dana mengingatnya di hari kelulusan. Nico, si pirang jabrik, berisik, sombong, yang membuatnya ingin menendangnya jauh-jauh dari Adrian. Namun melihatnya sekarang rasanya Dana ingin cepat-cepat menyingkirkannya macam kecoak di lantai—hanya lebih buruk.
Lengan pemuda itu bukan lagi terdiri atas tulang dan daging yang terbungkus kulit, melainkan pipa-pipa elastis, beruas, dan berdempetan. Ujung yang seharusnya adalah tangan berubah menjadi bentuk yang lebih menjijikkan daripada sisi bawah bintang laut—kelima jari itu digantikan oleh lima tentakel berliur, tengah-tengahnya berupa lubang yang menganga-mengatup dengan lidahnya yang sesekali menjulur. Dari leher hingga sekitar pipi terpola retakan berpendar oranye. Mata pemuda itu, sepasang iris oranye menyala di tengah-tengah sklera hitam, melotot intens layaknya pemburu. Bibirnya tertarik dalam senyuman lebar yang memperlihatkan deretan gigi-giginya yang menajam.
Segaris keringat dingin menuruni dahi Dana setelah mengetahui gelombang fluktuasi energi si pirang itu yang hampir senada dengan Wira.
.
“Mereka...?” Tiba-tiba Surya merasakan bulu kuduknya berdiri. Siang terik begini?
“Benar, para penghuni dimensi keempat. Makhluk astral jika kau ingin menyebutnya.”
.
“Nicolaas—” Belum selesai Gama menyebutkan namanya, Lengan—tentakel—kiri pemuda itu tiba-tiba melesat, deretan gigi-gigi taring keluar. Gama dihantam keras ke arah samping hingga membentur tembok dan tentakel itu menahannya di sana. Hunjaman gigi-giginya menekan kuat, menembus kulit. Tenggorokan Gama tercekat menahan perih. Sedikit saja meronta, gigi-gigi itu justru menusuknya makin dalam.
“AHAHAHAHA~! Makanan enak harus disimpan terakhir,” ucap Nico menjilat ludah di sudut bibirnya.
“Keparat! Aku lawanmu!” Dana meraung, pendar merahnya merambat ke wajah, hitam yang sama membungkus skleranya. Uap tipis keluar dari sudut mulutnya.
.
“Hantu?” Surya mengangkat sebelah alisnya. “Oke, pembicaraan ini… mulai tidak masuk akal. Baik, kubuat singkat—apa kau bisa membantu kami? Jika memang kau sudah tidak percaya kepada Pak Gama dan Paramayodya, apa kau mau melawannya?”
.
“Mmmm, appetizer? Bon appetit!” Nico menjulurkan satu lengan tentakelnya ke arah Dana, dengan cepat pemuda berambut merah itu menunduk. Kuku-kuku tangan Dana lalu menajam dan memanjang seperti pisau, kemudian berlari ke arah lawannya sambil menggoreskan kesepuluh kukunya ke sepanjang tentakel Nico.
Pemuda berambut pirang itu meraung, ia memendekkan tentakelnya. Tepat ketika Dana akan menghujamkan kuku-kuku tangan kanannya ke tubuh Nico, lengan kanannya dibelit tentakel dan gigi-gigi itu menancap serta menggoresnya. Sebuah tarikan kuat, Dana terpelanting ke tembok di kanannya. Selang sedetik, kepalanya dibenturkan ke tembok seberangnya.
Dana berusaha melepaskan tentakel yang membantingnya ke kiri dan kanan, tetapi cengkeramannya terlalu kuat dan tarikan pada tubuhnya terlalu cepat. Entah berapa detik sudah pemuda berambut merah itu dibenturkan bolak-balik. Terlambat beberapa detik mungkin lengan kanan Dana akan terlepas dari sendinya—ketika sebuah dengungan keras dan cahaya terang berkilatan memenuhi koridor itu.
Tawa gila Nico berubah menjadi erangan sakit. Dana yang penglihatannya masih kabur melihat percikan-percikan listrik merambat dari tembok kiri dan kanan menyambari pemuda itu. Ia mendengar kedua tentakel Nico seperti mendesis, sinkron dengan pemiliknya yang kini terengah.
Manusia biasa dipastikan tak lagi bernyawa setelah menerima kejutan tadi.
“Sialan!” Nico mengumpat. “Mangsaku belut listrik!”
.
Darien termenung. “Melawan… Bukan kata yang tepat. Pak Gama memiliki tujuan yang mulia, aku tahu itu. Hanya saja, beliau mulai kehilangan jalannya. Nah, kini aku bertanya padamu Surya, sudahkah kau menemukan kebenaran dari niatmu?”
.
Udara mulai terasa sesak. Dana menoleh. Sedikit jauh di belakangnya, Gama berdiri dengan merentangkan kedua tangan, kilatan-kilatan listrik masih muncul dari sana. Pakaian pria itu sedikit terkoyak, noda darah samar terlihat di kerah kemeja di balik jas hitam panjangnya. Irisnya menyala keemasan bersama dengan pola pendaran yang merambat dari leher ke pipinya.
Pria ini tidak main-main. Hilangnya senyum harian di wajah Gama lah yang menunjukkannya.
“Nicolaas Hendriksen,” sebut Gama. “Tenangkan dirimu. Jangan—”
“AKU LAPAR!!” Kedua tentakel itu kembali dilesatkan menuju Gama, tepat ketika Gama berhasil mengeluarkan benda yang tadi ada di sakunya. Bola pejal keemasan itu kemudian berubah menjadi tongkat dalam sekian detik. Kilatan-kilatan listrik mengalir dari tangan Gama ke bola tersebut dan memercik ke segala arah dalam lingkup yang cukup luas untuk melindungi pemiliknya dari serangan Nico.
Tentakel-tentakel tadi terjatuh ke lantai dengan suara yang memuakkan dan mendesis lemah. Perlahan benda elastis itu memendek kembali, namun tidak cukup cepat untuk melindungi pemiliknya dari lesatan kaki Dana yang menghantam kepala. Pemuda itu kehilangan keseimbangan, Dana lanjutkan dengan kombinasi pukulan yang diakhiri serangan telak berupa tendangan ke ulu hati tanpa sempat bagi Nico memberi perlawanan.
Tubuh pemuda itu terpental hingga ke ujung koridor, kemudian terduduk di lantai bersama kedua lengan tentakelnya yang terkulai lemas.
.
Kini Surya yang terdiam, mencoba meneliti batinnya. Sudahkah ia di pihak yang benar? Sudahkah ia di jalan takdir? Apakah ia sanggup untuk menerima jalannya seberat apapun itu?
Pria itu menggigit bibirnya, berpikir keras.
.
“Gagal… Memburu… Makanan… Lapar...” Nico meracau dan tertawa pendek di antara napasnya yang tersengal. Dana berjongkok dan mengancam leher Nico dengan kuku-kuku kirinya.
“Menggerakkan benda menjijikkan milikmu itu sedikit saja, kugorok lehermu.”
“Cukup, Dana.”
Dana melepaskan tangannya, mundur. Gama kini mendekat, ujung tongkatnya diarahkan ke dada Nico. Dua piringan oranye memandang ke arah Gama. Pria itu tahu sejak awal, yang ada di dalam diri pemuda itu sekarang bukanlah dirinya yang sebenarnya.
“Makanan... Makanan…”
“Tenanglah,” Gama menyambarkan listriknya lagi ke tubuh pemuda itu melalui tongkatnya, cukup lama untuk Nico kembali meraung kesakitan. Dana mengamati selama beberapa saat, pendaran Nico perlahan menutup, menyisakan nyala oranye pada iris yang juga mulai meredup.
Pemuda itu tersengal, Gama mengetahui sesuatu. Sekarang ia tahu apa yang harus ia lakukan. “Dengarkan aku.”
Kembali Nico mengerang dan dengungan listrik menggema di koridor itu.
Berantakan…
.
“Melihat diriku yang sekarang, mungkin aku belum sanggup meniti jalan yang kau maksud. Tetapi, mundur sebelum mencoba, bukan caraku,” ungkap Surya.
“Jika kau sudah meyakini yang menjadi jalanmu, maukah kau membantuku menyadarkan mereka?” tanya Darien.
.
Bunyi nyaring alarm pun padam, cahaya merah mereda. Lorong kini gelap, hanya berbekal cahaya dari mulut lorong jauh di balik punggung Gama. Lampu-lampunya telah rusak akibat deru gelombang elektromagnetik yang tadi melanda.
Dana menyaksikan bagaimana tentakel-tentakel di kedua lengan Nico mulai memendek, menyatu satu sama lain, menyembunyikan geriginya dan mulai menyusut kembali menjadi sepasang tangan manusia.
“Apa yang kau lakukan—”
… Satu demi satu bagian lalu bergerak...
Gama tidak menggubrisnya. Ia masih mengacungkan ujung tongkat itu di depan Nico. “Nicolaas Hendriksen... Kau di sana, kan?”

Warna perak telah kembali pada sepasang mata pemuda itu, akan tetapi Dana seolah melihat tak setitikpun cahaya terpantul di sana. Nico menatap Gama dengan tatapan lurus, kosong. Iris Gama yang masih berpendar keemasan seolah berusaha menarik kembali diri pemuda itu dari kegelapan yang baru saja menguasainya.
“Kau sungguh orang yang beruntung, Nicolaas. Kau salah satu dari yang terpilih sekarang.”
Pemuda itu memicingkan mata dan bergumam lemah, “...terpilih?”
“Ya. Homunculus dalam dirimu telah bangkit, Nicolaas. Walau begitu, kau jatuh terlalu mudah dalam hasratmu… Sehingga mereka yang menguasai dirimu tadi.”
… Saling menyatukan diri...
Piringan perak itu lalu mengamati sekitarnya. Lorong bermandikan darah dan kekacauan memenuhi pemandangannya. “A-apa... Apa yang… aku...?” tanyanya lirih.
.
“... Hah?”
“Dari awal aku melihatmu… Kau membawa sebuah misi. Betul, kan?”
Tentu Surya tidak bisa mengelak. “Iya,” jawabnya tegas. “Misiku sendiri. Juga permintaan Venndra.”
.
Selipan tawa kecil. “Bukan kau, Nicolaas. Mereka,” ucap Gama dengan menatap dalam pada lawan bicaranya. “Kaulah seharusnya yang menguasai mereka. Bukan sebaliknya. Kau yang seharusnya mengendalikannya. Mereka adalah perwujudan keinginan besar yang terpendam dalam jiwamu. Mereka adalah impianmu.”
“Impian…? Bagaimana…?” Nico berkedip sekali. “T-tapi… impian itu seharusnya—”
Impian memang kejam, Nicolaas,” sela Gama cepat. “Mereka egois, jauh, sombong. Harta karun yang memberi pemburunya jalan terjal penuh lubang supaya dia dijemput di tengah-tengah dataran mungil yang dikelilingi kawah berlava. Tapi kau takut. Maka dari itu, kau mengambil jalan memutar yang rupanya seperti yang kau lihat.”
“Jadi… aku salah?” Nico bertanya.
Gama menggeleng sambil tersenyum. “Tidak. Tentu saja tidak, Nicolaas. Ini pilihanmu sendiri. Tapi sepertinya... kau tampak menyesal.”
Cahaya mata Nico yang redup itu lalu menatap lantai. “S-seharusnya… harusnya ini…”
“Aku juga menanam chip pada diriku sendiri, Nicolaas. Aku sangat memahami perasaanmu saat ini.”
Nico kembali mengangkat wajahnya. Pria itu menatapnya kembali masih dengan mata hitam-emasnya dan senyuman lembut. Tongkat yang tadinya diacungkan kini diberdirikan di atas lantai, kedua tangan pria itu diletakkan di atas bola pejal emasnya.
.
Darien mengangguk. “Venndra juga menceritakan kekhawatirannya… Mungkin, satu saran saja sebelum kau maju.”
“Apa?”
.
Derap langkah sepatu-sepatu bot berat terdengar dari mulut lorong, orang-orang yang menenteng senjata itu memanggili nama ketua mereka. Sesekali mengomentari betapa mengerikannya suasana di tempat kejadian perkara.
“Lho?! Pak Gama ngapain di sini?!” ucap salah satu dari mereka, kaget.
“Ke mana saja kalian, ha? Pestanya selesai!” ujar Dana.
… Dan kembali utuh...
“Nicolaas, aku bisa membantumu,” ucap Gama. “Dan ada banyak sekali hal yang ingin aku sampaikan untukmu. Maaf jika tadi aku memperlakukanmu dengan keras, aku tak punya pilihan lain...
… dengan bentuk yang baru.
“Kau percaya padaku kan, Nicolaas?”
.
“Tolong jangan melihat segala sesuatunya secara hitam dan putih.”
Surya merasakan dadanya yang mendadak sesak. Orang ini sangat tepat sasaran. “... Akan kucoba,” ucapnya lirih.
.
“Bahkan setelah aku melakukan ini semua?” Nico membalik pertanyaan.
Gama menggeleng. “Sekali lagi, itu, bukan, kau.”
Nico, disela mengatur napasnya, menjawab, “Tolong… Aku nggak mau merasa begini lagi…”
“Baiklah. Sekarang... Dengarkan aku.”
Level 3. Merepotkan. Tapi sangat menarik.

= = =

Pemuda beriris kobalt itu duduk terdiam di atas tempat tidurnya. Malam semakin larut dan ia sengaja matikan lampu kamarnya.
Gelap. Kosong. Cahaya di matanya seolah hilang, menatap lurus ke sudut kamarnya.
Tidak.
Perih untuk mengingat setiap ‘siksa’ yang ia alami setiap harinya.
Paramayodya tidak akan menyia-nyiakan ‘peserta istimewa’ mereka. Entah itu injeksi serum, simulasi bawah sadar, pengukuran energi bioplasma—
Merah.
Seringai.
Iris emas.
Rasa sakit seketika menjalar ke seluruh tubuh Adrian. Ia sendirian di ruangan ini, namun saraf perasanya seperti sedang digerayangi panas yang menusuk-nusuk seperti jarum. Merinding.
Aneh, jantungnya mulai berdegup kencang. Ruangan itu mulai terasa panas, seharusnya ini menjadi malam yang dingin.
Dua suara yang begitu familiar memanggil namanya, membuat pikirnya semakin kacau.
Membingungkan. Menggema.
Satu suara yang menyulut amarah dalam dirinya.
Yang satu, merusak akal sehat dan segala imaji Adrian.
Pemuda itu mulai mengerang dan berguling di atas tempat tidurnya.
Panas.
Panas! Panas! Panas!
Ia daraskan kata itu lirih hingga tidak ada maknanya lagi. Pandangannya mulai kacau, ruang gelap itu mulai terlihat terang. Entah dari mana asal cahaya itu. Putih. Menyala. Membara.
Keluar kalian dari pikiranku.
Ini salah.
Salah!
Bohong! Tabu! Keji!
KUBAKAR SEMUANYA!


# # # Continued in The Next Chapter # # # .


(A/N)
Fay: Akhirnya bisa update. Para author udah mulai masuk mahasiswa tingkat akhir nih, hahaha
Agon: Maaf update telat (lagi)..
Fay: And, in case you are confused, cara tata penulisan chapter ini terinspirasi dari novel Brave New World (1932) karangan Aldous Huxley di chapter 3. Unik, bisa meliput dua kejadian dalam satu waktu.

No comments:

Post a Comment