Sunday, June 21, 2015

Case #1

Manusia ditakdirkan menjadi pemimpin planet ini—menjadi perantara Tuhan dalam menguasai ciptaan-Nya.
Namun, kemurnian itu hilang sejak jatuhnya Adam dalam dosa.
Dosa bawaan dan dosa-dosa yang timbul kemudian karena ego manusia, mencemari manusia itu sendiri.
Manusia seharusnya bisa naik ke derajat yang lebih tinggi.
Kembali murni, menjadi ras yang tertinggi di Bumi, memahami kesadaran semesta.
. . . . .
illust1

“…itu adalah mimpi yang akan aku wujudkan.”


Manik kelabu pria muda itu menatap gedung-gedung di luar kaca dengan sorot yang mantap. Tangannya ia lipat ke belakang. Rambut yang lebih gelap dari warna matanya terlihat serasi dengan setelan abu-abu yang ia pakai.
“Sungguh cita-cita yang mulia, Gama.”
Seorang laki-laki dengan jas laboratorium tampak duduk malas di kursi putar yang berdekatan dengan meja kerja milik Gama. Sorot matanya menunjukkan kebosanan, iris zamrudnya merunut kata demi kata yang tertulis pada lembaran kertas dalam map. Satu tangan menyangga pipinya.
“Sudah selesai dengan pidatomu?” tanyanya sambil memutar kursi itu ke arah kaca.
Gama, lelaki dengan setelan abu-abu itu berbalik dan tersenyum.
“Baiklah, aku sudah selesai dengan bagianku. Apa hal menarik yang ingin kau katakan, Willem?”
Lelaki berambut coklat kelimis itu beranjak dari kursi itu dan membenarkan kacamatanya. Terlihat dari matanya ia jarang sekali tidur. Ia menghela napas kemudian berkata, ”Cetak biru dari manusia atau DNA saat ini sudah berhasil dipetakan seluruhnya. Rekayasa genetika pada makhluk hidup pun sudah berhasil dilakukan. Kau menginginkan manusia naik ke derajat yang lebih tinggi, bukan? Homunculus, ‘divine being’ dalam diri manusia harus dibangkitkan.”
Gama mengangguk pelan, menatap rekannya itu.
“Evolusi—itulah yang kau inginkan. Kami merancang sebuah chip yang dapat memperkuat radiasi energi bioplasma tubuh manusia. Tenaga dalam? Chakra? Kau pasti tahu kaitannya dengan memahami kesadaran semesta. Energi yang diperkuat ini mampu merangsang DNA manusia hingga tingkat molekul untuk menulis ulang dirinya sendiri.”
Alis Gama terangkat sedikit, ia menemukan sebuah hal yang menarik dalam penjelasan Willem. “Menulis ulang DNA? Berarti ada resiko kita justru mengalami kemunduran?”
Willem tersenyum kemudian melanjutkan, “Chip ini telah diprogram dan memiliki peta DNA manusia seluruhnya. Sehingga ketika DNA ditulis kembali, polanya tidak berubah kecuali satu bagian yang berhubungan dengan kendali energi bioplasma manusia.”

“Jadi, dalam program tersebut, ia memerintahkan DNA untuk mengisi secara acak bagian kendali

itu?”
“Tepat. Energi bioplasma inilah yang akan menulis sendiri bagian tersebut sesuai dengan apa yang manusia kehendaki. Bukan tidak mungkin energi alam juga terlibat dalam tahapnya nanti.” Ucap Willem mengakhiri penjelasannya.
Gama tersenyum, ada harapan untuk mimpinya demi umat manusia.
“Kapan kita bisa mulai bentuk timnya?” ujar Gama sembari menunjuk ke judul eksperimen Willem pada map yang dibawanya.
Homunculus Project.
= = =

Variable X

Case 1: Genesis


= = =
“Oi, Theo! Berikan padaku!” Seorang pemuda berambut coklat berkata kepada temannya yang gondrong dikucir kuda.
“Yo, Rico!”
Bola basket dilemparkannya, Rico menerima bola itu kemudian berteriak kepada kawannya yang lain di pinggir lapangan, “Aldo! Lihat ini!”
Satu pemuda pirang bermata biru di pojok lapangan melihat ke arah Rico yang mengambil posisi untuk menembak. Bola oranye itu dilesatkan ke ring. Three-point shoot.
“Iya deh, iya. Iya, yang masuk tim inti universitas,” Aldo tertawa renyah, berjalan pada bola yang memantul-mantul di bawah ring dan diambilnya. “Istirahat sebentar?”
“Kasih lihat aku teknik lay-up, baru boleh istirahat,” Rico tersenyum lebar. Theo nyengir ke arah pemuda berambut pirang itu.
Aldo menghela napas, “Baiklah, baiklah. Kalian jangan terkesima.”
Aldo berjalan ke garis luar lingkaran scoring area sambil memantul-mantulkan bola. Kini ia memegangnya erat dengan kedua tangan, sorot matanya tajam ke arah ring. Satu helaan napas, Aldo melesat menuju ring sambil mendribel bolanya. Ketika sudah dekat, dijejakkan satu kakinya dan dengan satu tangan dimasukkanlah bola tersebut. Rantai - rantai di ring bergemerincing begitu bola melewatinya.
Rico bertepuk tangan meriah, senyuman lebar terukir di wajahnya. “Sip, sip! Nanti aku coba!” ucapnya.
Sore yang segar ini memang tepat untuk menghabiskan harimu. Setelah pagi yang sibuk memperhatikan ceramah dosen dan mencemari catatan dengan coretan tangan, tiga sekawan ini memilih untuk menghibur diri dengan memanfaatkan lapangan basket kampus. Canda tawa selama permainan seolah tak menyurutkan semangat meski tubuh sudah cukup lelah dengan kegiatan di jam-jam sebelumnya.
“Mereka ini tak ada bosannya ya.” Seorang gadis berambut merah jambu mengamati ketiga temannya dari luar pagar kawat. Satu tangannya membawa tiga botol air mineral di dalam sebuah tas plastik putih.
“Mau bagaimana lagi, Kirana. Mereka kan sebentar lagi ikut kejuaraan.” Pemuda bermata biru di sebelahnya membenarkan kacamata.
“Lagipula, kau pasti ke sini untuk menunggu Rico kan?” Pemuda itu menyenggol lengan Kirana dengan sikunya. Pipi gadis itu merona.
“E-enggak! Seenaknya saja kau, Adrian!” Kirana memalingkan wajahnya. Adrian terkekeh melihat sahabatnya itu salah tingkah. “Sisi lain, kamu tidak pulang?”
“Nanti. Aku ada janji sama Dana di perpus. Kita mau mencari referensi sekalian mengerjakan tugas. Deadline besok, pula,” Adrian menghela napas lelah di akhir kalimatnya.
Kini ganti Kirana yang menyikut Adrian, bersama dengan satu alis terangkat dan senyuman yang menyiratkan pesan terselubung.
“A-apa?” Adrian sedikit terbata. Satu kali lagi sikutan dari Kirana. “Apa-apaan pula ekspresimu itu?!”
“Semakin ke sini kalian semakin dekat saja,” goda Kirana.
Adrian buru-buru membenarkan letak kacamatanya. “Maksudmu? Itu wajar, kan?”
“Iya, sih… Wajahmu merah, ngomong-ngomong,” Kirana masih enggan melepas senyumnya.
“A-ah! Sudahlah. Aku duluan. Sampai besok,” dengan langkah cepat, Adrian berjalan menjauh menyusuri lorong dan menghilang di balik tembok persimpangan. Kirana terkekeh pelan sebelum memanggil ketiga pemuda di lapangan tadi dan menghampiri mereka.
===
Willem membuka pintu ruang kerjanya, seorang lain yang berkulit pucat dengan rambut berwarna hijau toska menyadari kehadirannya dan menyapa, “Selamat malam, Will
“Merepotkan.” Willem memotong sapaan rekannya itu kemudian menghempaskan badannya pada sofa. Matanya sejenak memperhatikan rak berisi barisan arsip di satu sisi ruangan ber-AC itu sebelum mengarah pada sang asisten yang berdiri di samping meja kerjanya sendiri.
Helaan napas lalu menjadi balasan, “Kau ini selalu malas ya kalau diminta menghadap atasan?”
“Aku paling malas diminta presentasi kepada kawan lama, bertemu calon investor, pengawasan ke bagian riset fisika kuantum, dan sebagainya. Omong-omong, bagaimana perkembangan database(1) chip-nya?” Ilmuwan itu melepas kacamatanya dan menaruhnya di meja.
“65% peta DNA sudah berhasil dimasukkan. Sekuens perintah untuk penulisan ulang juga sudah kulengkapi. Oh iya, bagaimana formula pengaturan energi bioplasma untuk penulisan ulang?”
“Sudah. Venn, kau tahu kan aku ini hanya pemikir. Kau bisa mengambilnya pada tumpukan dokumen terbaru di mejaku.” Willem menengadahkan kepalanya, menatap lampu yang menerangi ruangan mereka. Letih, capai, ingin rasanya segera pulang, namun tubuhnya malas beranjak pula dari ruangan tersebut.
Venndra beranjak dari kursinya menuju meja kerja rekannya. Ia mengambil map pada tumpukan teratas, dibukanya map tersebut dan mulai membaca. Sejenak ia tertegun.
“Willem, apa kau yakin dengan formula ini?” Iris hijaunya menatap lelaki yang lebih tua darinya itu dengan sorot keraguan. “Hanya 75% kemungkinan sukses?”
Willem menghela napas, “Ya. Ada faktor yang tidak bisa sepenuhnya aku masukkan dalam formula tersebut. Kau ingat dengan eksperimen manipulasi DNA dengan energi bioplasma pada monyet?”
Venn mengangguk. Ia ingat saat mereka berdua beserta tim riset merekayasa genetik primata tersebut. Mengerikan, mutasi yang terjadi pada makhluk itu sungguh di luar dugaan. Jika hasil eksperimen mereka sampai bocor ke orang-orang, mungkin mereka pantas diberi julukan ‘perusak ciptaan’.
“Risiko sebesar itu dan kau masih mau mengujinya pada manusia? Willem kita masih bisa hentikan ini sebelum
“Tidak. DNA kita berbeda dengan primata itu. Kita lebih kompleks. Bukankah kau juga sudah mengetahui bahwa ada bagian dari kode DNA kita yang memberikan kemampuan memperbaiki diri sendiri?”
Venn kembali menatap formulanya, bibir tak tahu hendak membalas apa.
“Merepotkan, memang. Tapi… Sebagai ilmuwan, tidakkah kau penasaran dengan hasil akhirnya? Mumpung ada yang mau mendanai.” Venn seolah bisa melihat senyum dari kalimat Willem barusan.
Venn menatap gemerlap cahaya kota di jendela, berharap semuanya akan baik-baik saja.
===
“Eh, mau tahu sesuatu? (Seruput) Kemarin aku jalan lewat depan koridor Student Center, kan… Aulanya kebuka, dari situ kedengeran lagu-lagu dance… atau techno? Ah apalah itu namanya pokoknya yang jedag-jedug itu, lahAku iseng tengok ke dalem, ternyata anak-anak cheerleading.” Senyuman merona dari pemuda ini lalu merekah, “Dan kamu tahu aku nemu apa di sana?”
Alis Rico terangkat sedikit menanggapi pemuda pirang jabrikkakaknyayang duduk semeja di seberangnya. “Apa?”
“Uhh, indah. Cantik jelita! Jujur, baru kali ini nemu cewek yangastaga, malaikat! Gerakannya lincah, danoh, kamu harus lihat waktu rambut ungu panjangnya menyapu udara
“... Kak, biasa aja…” Rico tersenyum kecil, menghela napas sebelum melahap sebatang kentang goreng. “Sebentar, rasanya aku pernah lihat cewek itu juga… Oh iya! Itu...”
Nico menghentikan gerakan tangannya yang hendak membawa burger ke depan mulutnya, menunggu lanjutan kalimat sang adik. “Eh? Siapa?”
“Eee, Y-yah…” Rico mengedikkan bahu. “Dia sudah ada yang punya, sih. Stella, kan? Anak cheerleader? Pacar sobatku Theo, itu. Hehe.”
Pundak Nico seketika melemas, lenguhan kecewa menyusul. Namun ia angkat lagi kepalanya dengan sorotan mata kobalt yang mantap. “Terserah. Belum jadi istri, kan? Masih bisa disikat kalau gitu!” Ujarnya dengan senyum lebar.
“Kakak ini… Aku bakal memihak ke Theo lah!” Rico terkekeh.
Nico cemberut. “Jahat kamu ya, sama kakak sendiri.”
“Salah sendiri, hehe.”
Sebuah kebetulan membawa kedua kakak-beradik ini untuk bertemu makan siang di restoran cepat saji dekat kampus. Rico sebenarnya ogah-ogahan masuk ke restoran initapi kesempatan Nico untuk mentraktirnya makan tidak datang sekali-dua kali. Maka, ia cukup memesan semangkuk krim sup dan kentang goreng sementara kakaknya menikmati burger komplitnya yang kedua.
“Omong-omong, gimana kamu sama cewek rambut pink itu?” selidik Nico setelah menelan makanannya.
“Eee, itu...” Pipi Rico merona ketika mendengar pertanyaan dari kakaknya.
“Hayo, kalian kemarin ketemuan kan habis main basket?” Nico mengangkat satu alisnya.
“Heh?! S-siapa yang beritahu kakak?!”
Nico memasang ekspresi sok menyembunyikan rahasia dengan memutar bola matanya. Senyum nakal terulas di bibirnya.
“Kak! Beritahu woi!” Rico mengguncang tangan kakaknya yang memegang burger. “Beritahu atau kakak nggak boleh lihat pertandinganku tiga hari lagi.”
“I-iya, iya iya!”
===
Gama termenung di meja kerjanya. Jemarinya memutar-mutar pena yang sebenarnya tidak ia gunakan. Manik kelabunya merunut kata demi kata yang tertulis di lembar teratas map proyek riset Willem.
“Jadi… Bagaimana, Pak?” Venndra yang duduk di hadapan Gama bertanya dengan keraguan.
“Untuk formula energi ini… Ada masalah, ya?”
“Ya. Kans keberhasilan hanya sekitar tujuh puluh lima persen.”
“Namun WIllem memberi catatan di sini, ‘Struktur DNA manusia yang lebih kompleks dan terdapatnya sekuens kode yang dapat memberi kemampuan memperbaiki diri sendiri menjadi salah satu kunci penting dalam proses penulisan ulang DNA.’ Apa artinya?”
“Dengan adanya sekuens tersebut diharapkan dapat membuat kans keberhasilan meningkat atau menjadi jaminan keamanan prosedur penulisan ulang DNA, Pak.” Venn menjelaskan dengan suara lirih.
“Jika menjadi jaminan, apa ada faktor lain yang mendukung formula ini berhasil?”
“Faktor X inilah yang masih kami teliti, jadi… Kami masih belum bisa memberi kepastian.”
Gama menghela napas, ia sandarkan punggungnya di kursi. Sejenak keraguan juga muncul dalam cahaya matanya.
Tapi sekarang bukan saatnya untuk menyerah.
“Lanjutkan.”
Venn mengangkat kepalanya, menatap iris kelabu bosnya yang menatap balik dengan tegas.
“Saya harap ‘Faktor X’ ini bisa ditemukan secepatnya. Kita hadapi apapun resikonya... Demi umat manusia.”

# # # Continued in the Next Chapter # # #


  1. Database: File berisi record data-data mentah yang siap diolah.
A/N:
… Entah pingin ngomong apa yang jelas yes, makasih buat Agon atas idenya yang brilian. Akhirnya kesampaian juga bikin AU ini :D
AU ini kolaborasi kami berdua dan diramu dengan berbagai macam ide dan imajinasi di dalamnya. Soon we’ll reveal more ;)
PAF hanya milik Mimin Beruang seorang, kita hanya minjem mereka buat jadiin aktor di sebuah AU (?)
Kritik/Saran boleh sekali~
@F_Crosser | @agonps

No comments:

Post a Comment