Tuesday, June 23, 2015

Case #3

“Jadi… demikianlah.”
“Biar saya perjelas. Anda. Meminta kami. Untuk. Keamanan pekerjaanmu.”
“Ya.”
“Anda tentunya sadar, bukan?”
“... Maksudnya?”
“Kami ini kriminal. Apa Anda yakin ingin merekrut orang-orang seperti kami untuk tugas semacam itu? Yah, Anda tahu maksud saya.”
“Oh.”
“Jadi? Bagaimana?”
“Saya sudah pertimbangkan semuanya. Ini resiko yang akan saya ambil… Saya tak punya pilihan lain. Terlalu berbahaya jika saya meminta keamanan legal—saya tidak mau apa yang saya kerjakan ini bocor lebih banyak ke publik sebelum waktunya. Saya pikir kalian tentunya juga memiliki cara-cara yang demikian untuk tetap berada di bayangan dan melakukan kegiatan kalian tanpa terlacak, bukan? Itu yang saya butuhkan.”
“... Begitu. Lalu, apa—”

“Profesionalitas dan kesetiaan kalian akan kami bayar lebih.”

= = =

Variable X

Case 3: Dusk



= = =







“Sibuk di kepolisian, Surya?” ucap Venndra kepada lawan bicaranya.
Sapuan ungu disertai setitik demi setitik yang gemerlapan mulai mengisi langit. Kemilau emas redup menembus jendela kaca besar, turut menerangi meja kafe di mana Venndra dan seorang pria berkulit sawo matang yang duduk di seberangnya. Surai biru gelapnya diatur membentuk jambul, mengenakan kemeja putih bergaris dan celana kain hitam. Lengan baju pria itu digulung sampai atas siku, jas biru dongker disampirkan di sandaran sofa.
Setelah menyeruput sedikit kopinya, Surya memandang Venndra sejenak sembari tersenyum, “Kau tahu kan, bagaimana kehidupan seorang detektif.”
“Haha... Iya, banyak kasus yang perlu dipecahkan pastinya.”
Venndra meminum sedikit teh manisnya kemudian memandang keluar jendela. Simpang empat jauh di bawah sana ramai akan kendaraan berlalu-lalang, cahaya lampu seolah melayang seperti kunang-kunang.
Waktu itu 3 hari yang lalu.
.
“Bisakah kau segera menyelesaikan chip ini dan mengujicobanya pada manusia, Venndra?”
“Persiapannya mencapai 95%, Pak. Tinggal sedikit lagi. Tetapi untuk percobaan pada manusia...”
“Hm?”
“... Diperlukan ujicoba pada primata atau rodensia lebih dahulu, meminimalisir kemungkinan gagalnya chip ini pada manusia. Terutama untuk formula itu...”
.
“Venn?”
“Ah, maaf. Aku melamun ya?” ucap Venndra meringis.
Surya menghela napas, menyandarkan punggung di sofa dengan kedua tangan bertautan di atas perutnya. “Teringat pekerjaan?”
“Sebenarnya...” Venndra menggenggam erat cangkir tehnya.
.
“Venn, kita harus lakukan apa yang diminta Gama. Kau pun paham ini bukan situasi yang main-main.”
“Willem, kau sendiri tahu formula itu masih belum sempurna. Bahkan pada rodensia yang menjadi obyek eksperimen insidental kemarin
“Belum ada perubahan signifikan. Padahal sudah kumasukkan pula formula untuk mempercepat proses penulisan ulang DNA.”
.

“Kau tahu sendiri kan, Surya. Evolusi tidak bisa berjalan secepat itu,” ujar Venndra pelan sembari mengamati donat yang tersaji di piringnya. Manik toska itu tak bisa lepas dari meises mint serta coklat yang menjadi topping donatnya.
“Um, Venn. Sebaiknya kau kembali mengingat kita ada di mana.”
“Oh, maaf.” Venndra tersenyum kemudian mengangkat donatnya dan mengamati setiap sisinya sembari bersandar.
Surya hanya dapat tersenyum simpul, ternyata sisi kekanakan Venndra masih ada.
Ia ingat ketika masih kecil, umur 8 tahun, saat Venndra baru saja pindah ke sebelah rumah Surya. Surya baru saja pulang dari berbelanja bersama ibunya, ia membawa bungkusan berisi dua buah donat. Ia melihat anak berambut hijau toska itu sedang duduk termenung di lantai teras rumahnya sendirian.
“Ibu masuk duluan Surya. Sana, temani Venndra dan ajak dia bermain.”
“Venn...dra?” Surya memandang ibunya lalu menatap Venndra yang kini berjongkok di halaman kecil rumahnya, menggambar entah apa di tanah dengan jarinya.
Ibunya hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian berlalu ke dalam rumah.
Ia perlahan menghampiri anak itu, yang masih menunduk, menulis-nulis di tanah.
Surya berkata, “Mau donat?” sambil menyodorkan bungkusan yang ia bawa.
Anak itu mengalihkan pandangannya ke Surya, “Kamu...”
“Aku Surya. Kamu Venndra kan?” katanya sambil tersenyum.
Senyuman itu dibalas dengan ekspresi meringis khas dari Venndra.
“Kamu pasti suka donat rasa coklat mint ini.”
Surya memandangi bungkusan yang ia bawa, dari aromanya sudah dapat ditebak, donat dengan gula tabur berisi selai blueberry serta donat coklat dengan meises mint.
.
“Oh ya, soal sesuatu yang kaubicarakan tadi… Bagaimana kalau kita membicarakannya saja di apartemenku?” usul Surya.
“... Apa aku boleh membawa beberapa donat coklat mint lagi?”
Mereka kemudian tertawa bersama.
===
Di dekat pelabuhan. Sebuah gudang tak terpakai.
Meja kayu digebrak keras. Tangan si penggebrak itu masih belum beranjak dari situ. Sorot matanya menatap tajam tiga orang di depannya, mengamati mereka satu per satu dengan ekspresi geram. Manik hitamnya mengamati satu per satu anak buahnya itu dengan tatapan jengah, seolah mereka hanyalah sampah tak berguna.
“Kalian ini... bisa-bisanya SALAH alamat mengirimkan paket?!” Ia mengibaskan tangan kanannya tanda kecewa. Decak bibir terdengar.
Ketiga orang itu menunduk, salah satu dari mereka menyikut yang lain. Sikutan itu dibalas dengan lirikan kesal. Keteledoran mereka adalah salah satu pesanan dikirimkan bukan kepada pemiliknya.
Lelaki berambut hitam itu berjalan mengitari meja. “Yang dikirim ke Brazil itu 30 pasang Dual Berreta, 15 buah XM1014, 20 buah P90. Tuan Jose adalah salah satu pelanggan setia kita, dan kalian mengecewakannya hanya karena salah alamat?” ia menggeram, penekanan keras ia berikan di akhir kalimat.
Tangan lelaki itu menarik kerah baju anak buahnya yang memakai beanie. Manik mata mereka beradu, hitam dan merah. Namun sorot iris segelap palung itu seakan menelan semua yang ada pada lawannya.
“MENYEDIHKAN!” Satu tangan saja ia butuhkan untuk melempar lelaki itu ke arah kotak-kotak kayu untuk menyimpan senjata. Ia terpelanting dan mengerang. Beanie-nya terlepas, memperlihatkan surai perak milik lelaki itu.
“Kalian agaknya masih beruntung. Aku masih belum meluapkan semuanya.” Matanya masih membara dengan amarah. Ia mendekati anak buahnya yang lain yang memakai hoodie biru tua. Perlahan ia turunkan hoodie itu dan berbisik pada telinga pemiliknya,
“Apa kau mau jadi yang berikutnya?” Kepalan tangan lelaki itu semakin menguat.
“Cukup, Wira.” Seorang lain masuk ke gudang itu melalui pintu belakang. Ia melepas kacamatanya. Iris merah itu menatap kepada Wira yang sedang menarik kerah lelaki ber-hoodie itu dan hampir melepaskan pukulannya ke wajah lelaki bertampang timur tengah itu.
Wira mendecakkan bibirnya. “Kenapa, Dana? Sudah seharusnya aku memberikan pelajaran kepada kutu-kutu ini,” ujarnya kemudian melepaskan lelaki ber-hoodie itu dengan sebuah dorongan. Lelaki itu terhuyung dan hampir jatuh, untung saja saudaranya yang ber-kefyeh menahan tubuhnya.
Dana membenarkan kerah jaket kulitnya kemudian datang mendekati Wira yang juga mendekatinya.
“Kau, tunggulah di luar bersama Arya. Ada hal yang lebih penting untuk dibicarakan. Biar aku urus dahulu yang di sini.”
Gigi Wira bergemeletuk masih menahan amarah. Otot rahangnya menegang. “Terserah,” ujarnya sambil berlalu.
Dana mendekati lelaki berambut perak dengan setengah wajah terbalut kefyeh kotak-kotak itu. Iris merah mereka beradu.
“Raihan.”
“Dana, maaf. Kami tahu, kami—”
Dari luar kefyeh Raihan, Dana tarik dagu pemuda yang lebih tinggi darinya itu perlahan hingga tepat menghadap wajahnya. “Ke kantorku. Satu jam lagi,” ucapnya dengan suara dalam. Piringan semerah darah itu menajam, sebuah seringai kecil menyusul, lalu berkata, “Sekarang aku ada urusan sejenak. Tapi nanti, kita harus bicara. Jelas?”
Karena Wira diminta Si Bos untuk menerima laporan pengiriman hari itu (yang diakibatkan oleh Si Kupluk salah menuliskan nomor ‘rumah’ klien dan berakhir di bangunan tua tak berpenghuni beberapa meter dari tujuan… untungnya. Namun tetap saja), Arya sudah menduga hal ini akan terjadi. Entah beberapa kali tadi ia berjengit tajam mendengar suara Wira yang menembus pembatas ruangan termasuk suara reruntuhan kotak-kotak kayu yang dihantam benda keras atau apapun itu. Telinganya terasa panas.
“Anak baru sudah berani marah-marah,” sindir Arya, seorang lelaki pendek berambut kelabu yang bersandar di dinding luar gudang itu.  Iris oranyenya melirik ke arah Wira yang baru saja keluar.
“...Mau cari gara-gara?” Urat di pelipis Wira semakin jelas, namun matanya memandang ke arah lain.
Arya mendekat kemudian menepuk pundak Wira. Sorot matanya menjadi tajam. “Yakin bisa mengungguliku? Lagipula, buat apa kau marahi mereka sampai segitunya? Toh, selisih waktu kamu dan mereka mulai masuk bisnis ini tidak jauh. Mentang-mentang kamu muridnya si Setan Merah bukan berarti kau lebih senior, bocah.”
“Sekali lagi kau panggil aku dengan sebutan itu—”
“Kubilang cukup, Wira.” Bos mereka baru saja keluar kembali dari gudang tersebut.
Brengsek, umpat Wira dalam hati. Arya terkekeh kemudian menghampiri Dana.
“Lihat, Dan. Murid barumu ini sudah berani macam-macam.”
“Jaga mulutmu, Arya!” Wira semakin geram.
Dana selalu berusaha tak acuh dengan kelakuan dua partnernya ini, namun kali ini ia mulai tak tahan. “Sekali lagi kalian berdua beradu mulut, beradu pukul atau apapun itu. Aku tidak akan segan-segan menarik dua bilah pisau dari balik jaketku... dan menancapkannya di kepala kalian,” desisnya.
Aura membunuh muncul dari sosok lelaki bersurai merah itu. Wira memalingkan wajahnya, pembalasan pada Arya bisa ia lakukan lain kali. Arya setelah mendengar itu menghela napas kemudian melangkah menjauh.
“Jadi… Dan, kita jadi membicarakan soal proyek yang akan datang?” tanya Arya sembari menendang kerikil di depannya supaya tidak terlihat canggung.
“Ya.”
===
Sebuah ketukan terdengar pada pintu apartemen Reza. Sayang suara itu tak sampai—pemuda berambut hijau itu sedang bermain game online dengan headphone terpasang di kedua telinganya. Jemarinya bersiaga di atas keyboard sementara tangan kanannya memainkan mouse. Sesekali ia berbicara kepada kawan di seberang sana melalui mikrofon.
“Ayo. Siap war, mid-lane. War initiator?”
Ketukan pada pintu tersebut makin keras dan intens. Reza sayup-sayup mendengar, mungkin cleaning service, pikirnya. Sementara game yang dimainkan semakin seru, hampir semua karakter tim lawan berhasil dilumpuhkan sejenak dan Reza bersama kawan-kawannya sedang membantai salah satu karakter lawan.
“SIP! AYO HABISI CARRY-NYA DULU!!”
“Reza?” Terdengar suara laki-laki memanggil pemuda itu, diiringi dengan ketukan yang makin intens. Kali ini Reza mendengarnya, ia mendecakkan bibirnya, satu karakter tim lawan berhasil dibunuh.
“Bentar guys, ada tamu,” ucapnya pada mikrofon. Reza melepaskan headphone-nya kemudian beranjak dengan malas ke arah pintu yang semakin sering digedor. Ia meraih daun pintu dan membukanya.
“Aku lagi main, kena—” Ekspresi Reza berubah, ia mengira yang datang adalah salah satu temannya dari kampus. Di depannya kini berdiri dua orang dengan jaket kulit dan kacamata hitam, yang satu pendek dengan jambul kelabu dan yang satu cukup tinggi dengan rambut gelap.
“Ikut kami,” ujar si lelaki pendek berambut kelabu.
“K-kalian siapa? Lagipula untuk apa aku harus mengikuti kalian?” Reza bingung, dua orang asing tiba-tiba menyuruhnya untuk mengikuti mereka. Apalagi dengan dandanan mencurigakan.
Lelaki berambut gelap itu merogoh saku dalam jaketnya kemudian menunjukkan sebuah lencana. “Polisi. Sebaiknya kau ikut kami, Rezaditya Garuda. Ada hal yang harus kau pertanggungjawabkan.”
Reza menelan ludah, otaknya berpikir cepat kepada salah satu kemungkinan: polisi akan menangkapnya karena membobol salah satu web pemerintah. Ah ya, cepat atau lambat mereka pasti menyadari database mereka sudah dibobol, pikir Reza.
Paramayodya.
Reza menggaruk kepalanya yang tidak gatal kemudian memberikan isyarat, “Baiklah, baik. Boleh aku ganti baju dahulu dan mematikan PC-ku? Soalnya—”
Tangan kanan lelaki itu menggenggam pergelangan tangan Reza dengan kuat, ia meringis sedikit. “Tidak, tidak ada alasan untuk pura-pura kabur.”
“O-oke! Oke! Aku ikut kalian sekarang… Apa aku tidak diborgol sekalian?”
Lelaki pendek yang mendengar itu terkekeh, “Tidak, tidak perlu. Kami hanya ingin membawamu ke kantor dan menanyakan beberapa hal saja.”
Reza mengangkat bahu kemudian menutup pintu apartemennya. Ia mengikuti kedua orang asing yang mengaku polisi itu hingga ke sebuah gang kecil di samping apartemennya.
“Jadi… di mana kantor kalian? Apakah kalian tidak membawa mobil?”
“Kami intelijen, Nak.” lelaki yang menunjukkan lencana tadi berkata.
“Nak? Hellooo? Kau bahkan tidak nampak lebih tua dariku?”
Lelaki itu mendecakkan bibir kemudian berkata kepada rekannya, “Kapan penjemput datang ke sini?”
Lelaki berjambul kelabu itu kemudian merogoh sakunya. Ia memencet keypad handphone dan menaruh speaker handphone model candybar itu pada telinganya.
“Pffft, jaman gini masih pake’ keypad. Ganti smartphone kek.” Reza berkomentar kemudian tertawa mengejek.
Samar-samar terlihat alis si lelaki pendek itu berkedut naik, bibirnya menyunggingkan senyum yang berat sebelah. “Haha. Ha.”
Ingin sekali dirinya menjegal kaki bocah ini. Tapi dia harus sabar, bukan? Sementara itu rekannya terlihat seperti menahan tawa. Sialan, umpat lelaki berpostur pendek itu dalam hati.
Sebuah mobil sedan hitam berhenti di ujung gang yang satu. Lelaki yang baru saja menggunakan telepon genggamnya menunjukkan ekspresi ingin melemparkan ponsel pada sedan itu.
“Sudah untung dia datang tepat waktu,” komentar rekannya sambil tertawa pendek menyindir.
“Jadi kita pergi sekarang?” Reza berucap. Lelaki berambut hitam itu memberikan isyarat kepada rekannya untuk ke menghampiri mobil itu. Si pendek dengan rambut kelabu itu kemudian berlari kecil ke ujung gang.
“Ya. Ayo.” Lelaki itu berjalan akan menyusul rekannya.
Momen ini dimanfaatkan Reza, seketika ia berbalik arah dan akan berlari kembali ke apartemennya. Segera lelaki bersurai hitam itu berbalik pula.
“O-oi!! Wira! Jangan sampai lolos!” teriak si pendek.
“Tidak akan,” gumam Wira kemudian menyeringai. Saat Reza hampir mencapai ujung gang, kerah kaosnya ditarik oleh Wira hingga badannya menghadap ke pengejarnya itu. Sebuah pukulan dilancarkan ke arah wajah Reza namun ia berhasil menghindar dengan menundukkan kepala.
“Kalian pikir aku lemah?” Kaki kanan Reza dengan cepat berusaha menyapu kaki lawannya namun Wira melompat menghindar. Sebuah tendangan mengarah ke kepala pemuda berambut hijau itu, lengan Reza menangkisnya.
“Lumayan juga, bocah.” Wira menyeringai kemudian memegang erat kedua pundak Reza, lututnya ia lesatkan ke arah dagu. Gigi-gigi Reza beradu akibat rahang bawahnya dihentak oleh lutut Wira.
“K-kk-aahh..!!” Erang Reza kemudian terpelanting ke ujung gang. Ia berusaha bangkit namun ia rasakan kerah bajunya ditarik kasar dan terlemparlah tubuhnya hingga ke tengah gang.
“Mana gayamu yang tadi? HA?!” Wira melepas kacamata hitamnya, sorot matanya berubah seakan menemukan sesuatu yang menarik. Reza bangkit dan menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya dengan punggung tangan.
“Kalian ini sebenarnya siapa?!”
Reza geram, dengan cepat ia berlari ke arah Wira dan menjejak tanah. Saat melayang ia lepaskan tendangan ke arah kepala Wira, namun tangan lawan lebih cepat. Betisnya digenggam, tubuh pemuda berambut hijau itu pun terlempar ke tembok. Erangan kembali terdengar saat punggung Reza terbentur keras.
“Kau tidak perlu tahu siapa kami, Reza.” Wira mendekati tubuh Reza yang tergeletak menyamping, napas berat dan terengah-engah. Tangan kiri Wira mencekik leher Reza dan mengangkat tubuhnya, Reza berusaha melawan dengan mencengkeram erat tangan yang mencekiknya.
“S-sialan..!” Reza menjejak-jejakkan kakinya namun percuma. Napasnya semakin sesak, apalagi setelah terbentur tadi.
“Tidurlah.” Sebuah pukulan keras mendarat di ulu hati Reza.
Gelap.
===
“... Wah...”
“Repot… aku…”
“...Sebaiknya… maaf… setelah ia—”
“...Dia kabur… Tak ada pilihan—”
“...Wira… untung saja… setidaknya dia masih hidup.”
“Kalian ini… Baiklah, aku saja yang bicara padanya.”
Sebuah cahaya terang terasa menusuk mata Reza. Ia mengedipkan mata beberapa kali. Suara-suara samar tadi pun menghilang. Lengannya yang lemas ia coba gerakkan dan berhasil menopang tubuhnya di posisi setengah duduk. Satu tangan lalu bergerak memegang sisi kepalanya yang berdenyut-denyut. Pandangannya pun masih agak kabur.
Di sisi kirinya berdiri dua sosok familiar—ah, iya. Itu dua orang yang menangkapnya tadi, sekarang kacamata hitam itu sudah tak lagi menutupi mata mereka. Terutama dia yang berambut hitam cepak. Ketika pandangannya lanjut memindai penghuni lain ruangan itu, dia melihat sosok yang begitu familiar. Beberapa kali lagi ia kedipkan mata untuk mengembalikan fokus.
Rasanya pernah melihatnya di suatu tempat… iya. Di kampus.
Merah.
“D-Dana…?” gumam Reza. “Tunggu. Kamu ngapain di sini…?”
Pemuda berambut merah yang berdiri di depan ranjang tempat Reza berbaring hanya tersenyum, kacamatanya berkilat memantulkan cahaya.
Reza merasakan ada satu orang lagi yang menepuk-nepuk pundaknya. Refleks ia menoleh, bertatap muka dengan lelaki pirang dengan sepasang piringan zamrud di balik kacamatanya—ia menyeringai.
“Maaf, ya. Wira ini memang agak sedikit… bersemangat,” ucap lelaki itu, sunggingan senyumnya berubah sedikit masam.
Reza terperangah. “Bersemangat, bersemangat apaan—hampir saja dia membunuhku! Lagian, ini di mana?”
“Yaah… Kau ini cukup hebat juga ya, dapat membobol database kami dengan keamanan serumit itu.”
Database? Entah mengapa perasaan Reza tidak nyaman. “Hei, aku kan tadi tanya aku ada di mana! Keluarkan aku dari sini!” selanya, panik.
“Hei, hei. Tenanglah. Kami ‘menculikmu’ bukan untuk menghukum bahkan membunuhmu. Di sini, aku—bukan, kami membutuhkanmu.”
Reza mengerutkan dahinya, bingung.
Tangan kanan lelaki itu diulurkan maju, mengajak berjabat tangan. “Aku Aldino Ganesha, ketua Departemen IT dan Pengembangan Sistem Informasi di sini. Selamat datang di Paramayodya,” ucapnya.

Jantung Reza berdenyut kencang mendengar nama itu.

# # # Continued in the Next Chapter # # #


A/N:
Yisss panjang sekaleeee~ Agon is a genius dan sepertinya sedang bersemangat menulis.
Terima kasih untuk mbak Fay yang membantu mengoreksi dan memberikan detail-detail.
Agon: One of my favorite scene is when Dela got his as(ry kicked. Those actions, well, sudah lama rasanya gak menulis genre seperti ini. Another one is when Venndra and Surya’s “on date”. Such a fuwa-fuwa //ngga.
Fay: MWAHAHAHAHAHAHAH HAJAAAA(ry
Sekali lagi, PAF hanya milik Mimin Beruang seorang, kita hanya minjem mereka buat jadiin aktor di sebuah AU (?)
Kritik/Saran boleh sekali~
@F_Crosser | @agonps

No comments:

Post a Comment