Sunday, June 21, 2015

Case #2

Sebuah layar monitor menyala terang dalam kegelapan. Di depannya, seorang pemuda dengan iris coklat kayu menghantamkan jemarinya pada keyboard dengan cekatan, mengetikkan berbagai perintah. Tampilan pada layar merespon dengan cepat, kode-kode tampil berbaris rapi.
“Sial, cerdas juga...” gumam pemuda itu. Otaknya dengan segera memecahkan kode tersebut dan membalasnya.
“Akhirnya. Ini dia, pintu belakang.” Senyum pemuda itu melebar. Setelah menekan tombol enter, muncullah sebuah halaman situs.
Paramayodya, demikianlah judul yang tertera.
Matanya tertuju pada artikel teratas, rupanya ada proyek baru. Menggunakan akses dari akun retasannya, ia membaca isi artikel tersebut.
“Homunculus… Project?” Ia mengangkat satu alisnya.
Bioteknologi. Bioplasma. Manipulasi kode genetik. Implan.
Kosakata-kosakata tadi tertangkap di matanya. Tak ada informasi lain, kecuali latar belakang proyek ilmiah tersebut—itu pun hanya berisi informasi yang berputar-putar dan tak terperinci.
“Aneh. Bukankah seharusnya di situs ini secara lengkap dijabarkan proyek pemerintah kepada staf yang bersangkutan? Informasi ini terlalu mentah,” gumamnya kemudian mengunduh berkas tersebut.
Apa yang ingin organisasi ini lakukan? Homunculus alias ‘divine being’? Implan? Manipulasi kode genetik?
Pemuda itu menyisir rambut hijaunya ke belakang dengan jari-jarinya. Ia rasa cukup untuk hari ini. Pukul tiga dini hari dan kantuknya tak tertahankan. Ia hempaskan badannya di kasur tanpa mematikan PC.
Sudah kupasang sistem pengamanan, tak ada yang bisa menembusnya, pikirnya kemudian tertidur.
Tanpa ia sadari PC-nya sudah diambil alih dan lampu indikator pada webcam-nya menyala.
= = =

Variable X

Case 2: Knowledge



= = =


“Sudah ketemu?”
Fokus Adrian dari barisan referensi berpindah ke sumber suara berat nan pelan di sebelahnya, kepada si pemuda berkacamata bersurai merah bermata senada yang tangannya menenteng dua buah buku lawas. “Oh, belum. Sebentar—Itu buku apa, Dana?” balasnya.
Dana menyodorkan kedua buku itu, membiarkan Adrian membaca sendiri sampul depannya. Nampak raut muka Adrian sedikit berkerut.
“Ini... tentang pemasaran? Bukankah kurang sinkron?”
“Memang,” kata Dana. “Tapi industri bukan perkara teknisnya saja. Hasilnya harus bisa dinikmati banyak orang.”
Adrian menghela napas. “Masa’ kita harus ubah judul laporannya…”
“Tambah saja kata-kata ‘Pemasaran’ bla bla bla di belakang. Lalu kita tinggal menambah isinya. Kurasa itu mudah,” tangkal Dana enteng, masih dengan ekspresi datar yang tidak menunjukkan sedikit perubahan.
“Huh, terserah apa katamu, lah… Jurnalnya kemana pula—rasanya kemarin masih ada di sekitar sini…” Adrian bergumam, meniti satu demi satu judul, sesekali berjongkok memeriksa rak bawah.
Adrian dan Dana bertemu pertama kali saat menghadiri sebuah seminar internal universitas. Keduanya duduk bersebelahan, Adrian melihat pemuda yang cenderung pendiam itu mencatat isi seminar dengan garis-garis, grafik dan simbol yang mungkin hanya dimengerti penciptanya sendiri. Tak dipungkiri Adrian merasa terintimidasi dengan dua manik menusuk semerah darah ketika dirinya hendak menanyakan itu pada Dana—apalagi setelah ia mendapati ada luka bersilangan di dahinya.
Adrian pun menyadari sesuatu: Jangan menilai sebuah buku dari sampulnya. Dibalik tampang Dana yang menyeramkan, pemuda itu mau menanggapi hampir semua pertanyaan Adrian yang ditujukan padanya.
Mungkin hanya perasaan Adrian jika Dana melakukannya sedikit berbeda dengan orang lain...
Meski berbeda grup kelas, dengan dosen yang sama membuat peristiwa dikejar deadline sudah menjadi makanan utama kedua mahasiswa ini. Berkutat mencari referensi di perpustakaan kampus yang luas dan lengkap kemudian menyusun laporan di salah satu meja yang ada di deretan dekat jendela.
“Hei, Adrian.”
“Hm?” yang disebut menghentikan tangannya yang sedang mengetik di laptopnya.
“Apa kau mendengar rumor, Paramayodya memiliki proyek yang berhubungan dengan rekayasa genetika pada manusia?” Iris merah itu menatap Adrian tajam.
“Rekayasa genetika...? Tunggu—dari mana kau dengar rumor itu?”
“Reza, anak teknik informatika. Kau tahu kan, sahabat sekaligus rival Kirana yang itu? Rambut pantat bebek, warna hijau,” jawab Dana dengan ekspresi datar.
“Oh, Reza. Apa? Dia pamer kemampuan hacking-nya lagi dengan membobol sistem informasi perusahaan itu, kah?”
“Ya, ia sempat menunjukkan berkasnya padaku tadi siang. Nampaknya… ada sesuatu yang besar akan terjadi.” Dana memicingkan mata.
Adrian menatap rekannya itu kemudian mengangkat bahunya, “Entahlah. Yang aku tahu Paramayodya adalah organisasi riset terbesar di negeri ini, itu saja.”
Beberapa menit mereka lalui dalam keheningan, sesekali bicara saling menanyakan poin demi poin penting untuk disusun. Adrian yang fokus ke layar laptopnya tiba-tiba merasakan dirinya ada yang memperhatikan.
“Oi. Adrian.”
Adrian menghela napas. “Apa?”
“Ritsletingmu, belum tertutup sepenuhnya.” Dana tersenyum nakal.
Dengan canggung Adrian merapikan bagian celananya itu, pipinya menghangat.
“Lain kali hati-hati habis keluar dari kamar kecil.”
“T-terserah.”
===
Satu per satu paragraf tergulung naik, alis Kirana terangkat sebelah sampai di titik terakhir halamannya. Ia menghela napas, menoleh pada pemuda bersurai hijau yang duduk bersebelahan, berkata, “Cuma ini?”
Koridor jurusan cukup lenggang sore itu—tentu karena ini sudah jam akhir kuliah. Kesempatan ini cepat-cepat mereka manfaatkan segera sebelum pulang sehingga mampu mendapatkan bangku panjang dekat jendela kaca untuk melihat hasil jarahan Reza sebelum subuh tadi.
“Iya, cuma itu.”
“Huh. Yang katanya punya trik baru. Padahal aku berharap lebih dari Reza.” Gadis itu tersenyum mengejek sambil memalingkan muka, kedua tangan disilangkan angkuh di dada.
Wajah Reza memanas, emosi. “Eee?! Kamu meragukanku?! Kamu nggak tahu ya, seberapa susah membobol sistem keamanannya! Jam tiga pagi tadi baru bisa masuk, tahu!”
“Tapi masa’ benar-benar hanya itu?” Kirana kembali menghadapkan wajah ke lawan bicaranya. “Bentuknya macam artikel abal-abal dari internet begini ini?”
“Aaargh, serius! Terus kamu mau aku balik lagi cuma buat ngebuktiin ke kamu? Sori. Aku ogah membobol sana lagi. Lelah mental,” balas Reza kesal sambil meraih smartphone dari sakunya dan membuka aplikasi media sosial.
“Ciee update status,” celetuk Kirana.
“Enak aja,” balas Reza.
Kirana melirik ke layar smartphone milik Reza. Ia terlihat sedang memilih foto makanan untuk diunggah, kemudian membuat tagar untuk foto tersebut.
“Pfft. Hacker lelah mental, pelampiasannya update foto makanan.”
Kirana terkekeh dan dibalas Reza dengan pukulan pelan pada pundaknya.
“Itu foto makan siangku kemarin, by the way. Karena mahal, makanya aku upload.”
Kirana terbahak mendengar pernyataan konyol dari temannya itu.
===
“Bagaimana perkembangan chip-nya?” tanya Gama sambil melihat ke arah monitor.
Peta sekuens DNA manusia sedang dimasukkan oleh Venndra. Manik hijau toska-nya tak lepas dari layar monitor yang menampilkan grafik demi grafik beserta barisan kolom tabel. “85% data sudah dimasukkan, Pak. Selain itu formula pengaturan energi bioplasma sudah dienkripsi(1) dan disimpan dalam database chip,” jawabnya.
Gama mengangguk kemudian berbalik dan menatap seorang pria kaukasian muda berambut pirang dengan setelan jas lengkap yang sedang duduk santai di sofa ruang kerja Venndra. Kaki jenjangnya menjulur bersilangan, menunjukkan postur aslinya yang jangkung. Gama hampiri pria itu dan duduk bersebelahan.
“Menjanjikan, bukan? Aku akan sangat berterima kasih jika kau mau terlibat dalam proyek ini,” ucap Gama sembari mengaitkan jemarinya.
Iris keemasan itu memandang ke arah Gama. “Yah… Tentu saja aku tidak keberatan membantumu, kawan lama. Selain itu, demi kebaikan umat manusia, kan?”
Gama tersenyum lebar, tangan kanannya memberikan isyarat untuk berjabat tangan. “Jadi, Daniel… Kau ikut?”
“IO Technologies, dengan senang hati ikut ambil bagian dalam Homunculus Project.” Tangan Gama digenggam erat.
Rasanya lega. Gama tak perlu pusing lagi memikirkan uang yang harus keluar dari kantong sendiri untuk pet project(2) pribadi (dan rahasia. Pemerintah apalagi khalayak belum boleh tahu tentang ini. Urusannya bisa repot, pikirnya) dari organisasi riset yang dipimpinnya. Setelah bercakap-cakap sejenak, mereka beranjak dari sofa. Daniel menawarkan diri untuk membukakan pintu, justru disambut oleh seorang pria berbadan tegap, mengenakan setelan seragam berwarna hitam beraksen krem pada kancing dan tepian jahitannya, dasi abu-abu terpakai rapi di lehernya.
Buku jari pria itu berada dalam posisi hendak mengetuk pintu. Cepat-cepat ia turunkan kemudian sedikit membungkuk, tanda hormat. “O-oh. Maaf. Saya ke sini karena ada sesuatu yang penting, harus segera disampaikan ke Pak Gama,” ucapnya.
“Oke, Gam. Aku duluan.” Tangan Daniel memberikan isyarat perpisahan.
Gama tersenyum tipis membalasnya. Setelah punggung sahabatnya itu menghilang di tikungan koridor, laki-laki bermata kelabu itu menatap pada si petugas.
“Ada apa?”
“Pak Ganesha meminta Bapak untuk menemuinya di ruang server sekarang.”
Sorot mata Gama berubah. Melangkah dengan cepat bersama dengan petugas itu ia menuju ke ruang di mana Ganesha berada. Setelah menunggu lift turun hingga ke lantai dasar, pintu lift terbuka. Ia mendapati di dalam ruang server orang-orang sedang berlalu lalang. Beberapa yang menyadari kehadiran Gama kemudian membungkuk sedikit, ada pula yang juga disambung sapaan sopan.
Gama hanya membalas dengan senyuman sementara derap langkahnya tak berhenti hingga mencapai sebuah komputer dengan layar yang besar hampir memenuhi tembok. Di balik layar monitor tersebut terdapat ruangan kaca dengan puluhan container(3) berisi server Paramayodya. Seorang lelaki berambut pirang tengah duduk di depan super-computer tersebut dan mengetikkan sesuatu pada layar, kemudian terpampang foto seorang mahasiswa dengan rambut hijau, beserta rentetan informasi tentangnya.
Laki-laki itu memutar balik kursinya dan kini berdiri menghadap Gama yang diam menatap layar monitor besar itu.
“Kau pasti sudah dapat menduga apa yang ingin aku sampaikan.”
“Mahasiswa teknik informatika… Jangan-jangan...?”
“Ya. Sialnya, mahasiswa ini cukup cerdas untuk membobol keamanan database web internal kita. Informasi mengenai pet project-mu berhasil dia unduh. Untung saja informasinya masih sangat mentah.”
“Tapi, bukankah sangat berbahaya jika ia sampai berhasil membobol keamanan kita, Ganes?” ucap Gama sedikit geram.
“Untung yang kedua, bocah ini ternyata tidak cukup cerdas dalam membuat keamanan PC-nya sendiri. Kuperoleh semua identitas dirinya, termasuk alamat apartemen bahkan jadwal kuliahnya.”
Ganesha membenarkan kacamatanya, matanya menajam, seringai tipis terukir di bibirnya. “Anak ini berpotensi, Gama.”
Rezaditya Garuda. 18 Januari. Usia 18 tahun. Baru memasuki tahun kedua di universitas sebulan lalu. Lulusan salah satu SMA favorit, masuk sepuluh besar terbaik seangkatan. Meraih dua kali juara pertama di olimpiade Teknologi Informasi tingkat internasional, pernah beberapa kali memenangkan kompetisi overclocking(4) nasional, satu kali internasional. Aktif di sosial media.

“Hahaha! Bahkan prestasinya hampir menyamaiku. Aku senang kalau kamu mau seret dia di sini, jadikan anak itu muridku,” sambung Ganes bangga, menyandarkan punggungnya di kursi putarnya dengan kedua lengan disilangkan.
Tawa kecil terselip diantara bibir Gama yang mengatup. Sudah diputuskan.
“Santai, Ganes,” Gama membalas. “Bisa diatur.”


# # # Continued in the Next Chapter # # #


  1. Enkripsi: Proses mengamankan suatu informasi dengan membuat informasi itu tak bisa dibaca dengan cara biasa sehingga butuh cara tertentu untuk membacanya. Semacam… dikode.
  2. Pet project: Proyek sampingan.
  3. Container: Bentuknya mirip container truk, bedanya yang ini buat wadah komputer server ( komputer khusus untuk menyimpan data tertentu (umumnya untuk jumlah yang sangat besar) dan didistribusikan untuk diolah).
  4. Overclock: Memaksa komponen komputer agar bergerak lebih cepat dari kecepatan aslinya.
A/N:
Okesip, case 2 selesai. Mulai terlihat bibit-bibitnya. Siap dipupuk dan disiram (lho). Intriknya mulai kelihatan.
Sekali lagi, PAF hanya milik Mimin Beruang seorang, kita hanya minjem mereka buat jadiin aktor di sebuah AU (?)
Kritik/Saran boleh sekali~


@F_Crosser | @agonps

No comments:

Post a Comment